“Malam kesepuluh saya teraweh beratap langit dan
bersajadah tanah. Tak sempat menuntaskan Keluarga Imran Bung. Amboi sedap betul
meroko..”.
Itu adalah sms yang masuk ke ponselku, dari seorang kawan
yang tengah memeras keringat di hutan, di pedalaman Kalimantan. Selalu tipikal.
Selalu dengan diksi yang dengan cepat aku tahu bahwa dia dengan pertimbangan
apapun bukanlah seorang yang berkepala kelinci. Aku percaya itu. Dan calon
istrinya---karena sekarang selum sah---suatu saat nanti insyaAllah akan menjadi
perempuan yang beruntung karena telah mendapatkannya. Itu semacam do’aku
untuknya.
Dalam langit imajinasiku, aku pernah membayangkan,
kawanku yang bekerja di hutan itu suatu saat nanti, beberapa hari setelah
kontrak seumur hidup diresmikan, pada sebuah malam, akan terduduk di teras
depan sambil memainkan gitar dan mulai menyanyikan sebuah lagu dari The
Panasdalam. Dengan sedikit gaya kocak yang pahit dia akan mengeksekusinya
dengan suara agak sengau :
Malam yang sedang bagus
Kududuk di serambi depan
Memandang langit ada bulan, kapal terbang, dan
bintang-bintang
Sejauh mata memandang lautan lampu warna-warni
Udara bergerak pintu terkuak
Istri menyuruh masuk rumah
Ya ampun aku lupa
Ternyata sudah punya istri
Yang dulu aku kejar hingga kumiliki
Kini kubiar nonton tv sendiri
***
Ihsan Hadi namanya. Dia entah datang dari mana, yang
jelas pernah hadir dalam mimpiku. Dia datang dengan Wangihujan, dan memperkenalkan
diri sebagai calon suaminya. Calon suami Wangihujanku. Aku terdiam tentu saja. Antara
cemburu dan rasa tenang yang aneh. Jelas di mimpi itu dia telah merebut
Wangihujanku, tapi jauh di pedalaman batinku ada suara yang berbisik, yang
memberitahu bahwa laki-laki ini adalah orang baik yang akan menyayangi dan
membahagiakan Wangihujanku. Ketika terbangun dari tidur dengan rasa cemburu
yang membakar, aku langsung menulis nama laki-laki itu di buku catatan harian.
Kubaca berulang-ulang, dan entah kenapa tiba-tiba saja aku menjadi tenang.......[bersambung]
No comments:
Post a Comment