Ketika dunia yang melibatkan perasaan purba menampakkan
dirinya dalam wujud rasi bintang pari, maka aku semakin yakin bahwa obsesiku
adalah membeli tiga box plastik berukuran medium untuk merapikan buku-buku, koran
bekas, kepingan film, dan beberapa pakaian usang. Manusia dalam orbit venus dan
mars terhubung oleh garis-garis virtual, kenyataan ini hanya membuatku tertawa
pahit. Ya, pahit sekali. Ini semacam tragicomedy yang membuatku semakin yakin
bahwa cara-cara mainstream dalam membangun relationship semakin kehilangan daya
pikatnya. Barangkali benar Ronald Frank adalah seorang pemasar relasi merah
jambu yang brilian, tapi percayalah aku tidak tertarik dengan barang
dagangannya. Ya, manusia adalah akumulasi rahasia, maka jangan mencoba
menggiringku ke titik moderat, karena itu semua akan aku larung dengan asap
tembakau dan aksara yang rapuh.
Sekaya apapun pengalaman seseorang dalam meresapi setiap
ceruk dan jenak dunia indah pelangi, pada akhirnya yang tersisa adalah dua hal
: ampas dan kesejatian. Jangan tanya tentang mayoritas, sebab di mana-mana
sampah telah menjadi komoditi hampir setiap pribadi. Dari dulu aku selalu
tertarik dengan hal-hal yang beraroma kiri, minoritas. Gelombang yang melawan
arus bagiku begitu heroik dan mencerahkan. Maka para pengkhotbah itu sebaiknya
balik kanan dan ucapkan selamat tinggal, sebab aku telah ditempa waktu untuk
menjadi seorang yang keras dan berkepala batu.
Tapi tentu saja aku bukan robot, sebab langit jiwaku sering
juga hujan gerimis, atau bahkan gemuruh badai. Teman hidup yang mengabadi
adalah seorang ratu yang aku simpan dalam nampan. Kuperlakukan dia dengan
hati-hati, penuh kasih sayang, dan aku cukupi kebutuhannya dengan aktivitas
peras keringat yang menjelma menjadi romantic dan melodrama. Aku tidak ingin
menghamburkan retorika dengan ratuku, karena memang tidak perlu. Ilmu dan
pengalaman menjinakkan hati venus hanya akan menjadi bumerang ketika semuanya
berjalan dengan tulus. Percayalah, ketika tulang rusuk atau imam itu telah ditemukan,
semua perjalanan dan cerita tentang menyinggahi banyak jiwa tidak akan ada gunanya
lagi, kecuali hanya sebagai duri usang yang nyangkut di tenggorokan.
Manusia dalam gelap pencariannya hanya membutuhkan
kejujuran, bukan kamuflase interaksi ataupun setumpuk teori cinta. Air mata dan sakit hati
telah menjadi dagangan laris layar televisi, jadi buat apa lagi dibawa-bawa ke
dunia nyata?. Setiap orang tahu bahwa memori manusia lebih canggih daripada PC,
tapi tidak setiap orang pandai memperlakukan kenangan. Maka lagu-lagu nostalgia
dari dulu selalu laris manis seperti pisang goreng. Kalau ada yang menyangka
bahwa jarak tempuh dan jam terbang adalah segalanya, maka cobalah untuk
berpikir ulang.
Jangan paranoid dengan yang namanya usia, karena siapa pun
pada akhirnya akan membuang jasad usang itu ke liang gelap kuburan. Tali itu
telah sangat jelas, maka berpegang teguhlah pada-Nya. Ini memang tidak mudah, karena
siapa sesungguhnya yang tidak pernah terperosok ke dalam jurang gelap laku
empiris dan fantasi?. Tapi ingatlah sosok Bung Anwar, si penyair bohemian itu
yang sudah lama terbaring di Karet. Bahkan dia pun pernah merintih, “Tuhanku,
aku hilang bentuk, remuk. Tuhanku, aku mengembara di negeri asing. Tuhanku, di
pintu-Mu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.”
Langit merah jambu telah kelabu oleh hujan meteor, tapi aku
tidak akan merayakannya. Aku hanya akan berjalan. Ya, Inilah setapak kecilku.
Setapak kecil yang tidak akan pernah membawaku kemana-mana, sebab ini adalah
perjalanan ke dalam jiwa. [ ]
No comments:
Post a Comment