Orang-orang telah pergi tadi pagi. Mereka berduyun-duyun berjalan ke barat, ke arah pekuburan di perbatasan kampung. Lebaran memang selalu begitu, selalu ramai oleh para peziarah. Ini seperti batas antara sakral dan profan. Kemarau telah membuat jalanan menjadi lautan debu. Matahari bersinar garang, dan bunyi angin di rumpun bambu menemani suara orang-orang yang mengaji surat Yasin. Tapi aku tidak pergi ke sana pagi itu. Aku memilih sore.
Aku tidak memilih jalan desa yang sudah rusak parah, tapi
lewat pematang sawah dan jalan setapak yang membelah hutan kecil. Matahari
mulai reda, cahayanya berlesatan lewat celah-celah pohon rambutan di pinggir
pekuburan. Ada dua orang yang sedang duduk di sisi pusara, tangannya menengadah
seperti sedang berdo’a. Dan ratusan nisan membisu, hanya tulisan-tulisan
tentang nama, tanggal lahir, dan tanggal wafat.
Sunyi. Matahari yang semakin tergelincir ke barat membuat
suasana menjadi hampir temaram. Angin bergerak pelan, dan suara burung terdengar
di kejauhan. Aku duduk di sisi pusara ibu. Diam. Sunyi semakin menekan. Lalu aku
cabuti rumput liar kering yang tumbuh di atas pusara, dan debu yang menempel di
batu nisan aku bersihkan. Dua orang peziarah telah pulang, tinggal aku
sendirian. Sepi, menekan mendesak.
Aku tidak membaca surat Yasin, tapi meneruskan sisa-sisa
kekalahan di bulan Ramadan. Tadarusku terhenti di Yusuf, maka aku meneruskannya
di sini, di sisi pusara ibu yang kering dan dihiasi rumput-rumput mati. Aku
duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada pohon kamboja. Setelah menutup
kitab mukjizat, doa kemudian lamat-lamat berloncatan. Lalu diam. Diam. Sunyi
kembali. Tiba-tiba aku teringat seseorang yang dulu memintaku untuk berjanji di
sisi pusara orangtuanya. Tapi dia malah menyerah. Dia sendiri tidak berani
untuk berjanji. Tak sadar, aku tersenyum pahit mengingat itu semua.
Dan ketika hari hampir gelap, ketika malam bersiap menjemput
senja, aku tinggalkan pusara ibu. Aku kembali menyusuri jalan setapak dan
pematang sawah. Udara mulai dingin. Di kejauhan adzan telah berkumandang.
Suaranya membelah langit yang kelabu dan udara yang berdebu. Aku berjalan agak
pelan sambil mengingat hal-hal yang telah lewat di belakang. Begini rupa hidup
telah aku kontaminasi dengan lumpur pekat, telah aku tukar dengan debu tebal.
Tak terasa pandanganku mulai kabur. Mataku sedikit panas, ada air yang
menghalangi retina. Sepertinya aku menangis. Bukan kisah prematur yang aku
tangisi, tapi aku sadar, aku belum bisa menjadi anak laki-laki baik
seperti yang pernah ibu harapkan. [irf]
No comments:
Post a Comment