Dan jejentik jam telah menyentuh angka delapan. Ini malam kedua setelah kemarin bergemuruh oleh takbir. Kue-kue mulai dihidangkan. Cigarette telah sedia empat bungkus dengan berbagai merek. Dan kopi?, ah hampir saja lupa, lalu bergegaslah kawan yang satu itu menyeduh tujuh kopi hitam. Lampu-lampu yang menyala di teras rumah cahayanya temaram, seperti hendak menyembunyikan tujuh orang laki-laki yang tengah duduk dan mulai membicarakan konsep buletin. Ya, buletin remaja mesjid. Bau petasan masih tersisa di udara, setelah sebelumnya saling serang dengan bunyi-bunyian yang dihasilkah dari mesiu mini itu. Ini kemarau kawan, dan angin berhembus kencang, dingin sampai ke tulang. Maka lihat kawan yang satu itu, nikmat betul dia menghisap cigarette berlogo jarum. Aku mengenal dengan baik wajah-wajah dalam cahaya temaram itu. Merekalah kawan-kawan masa kecilku sewaktu aku belum pergi jauh, sebelum aku berjudi dengan nasib di rantau orang. Tak ada saling tukar kartu nama. Kami hanya nikmat betul menghisap cigarette, menghirup kopi, dan mulai membicarakan buletin.
Kawanku yang berjenggot tipis angkat bicara, dia duduk tepat di sebelahku, "Nah, sekarang sudah kumpul semua, aku mulai saja. Kawan-kawan, bung ini (sambil menepuk bahuku), seperti yang kita ketahui bersama, memang tidak menetap di kampung, tapi baru-baru aku tahu, dia rupanya punya minat yang besar kepada dunia buku dan menulis." Aku diam saja mendengarkan pak ustadz (jenggotnya rapi betul, tipikal ustadz-ustadz muda diperkotaan) yang satu ini.
Mula-mula, aku mendengarkan kondisi remaja mesjid, kegiatannya, dan juga konflik yang ada di dalamnya. Standar. Di mana-mana, organisasi mesti tidak pernah sepi dari yang namanya konflik. Bagaimanapun juga, pemikiran tiap orang itu tidak pernah benar-benar seragam. Sementara kawanku yang jenggotnya mirip ustadz itu berbicara, kawan-kawan yang lain sedap betul menghisap cigarette. Pak ustadz tak ketinggalan, dia bakar batang pertamanya. Lihatlah, asap rerak berhamburan, dan pergi ditipu angin kemarau yang dingin.
Kawanku yang berjenggot tipis angkat bicara, dia duduk tepat di sebelahku, "Nah, sekarang sudah kumpul semua, aku mulai saja. Kawan-kawan, bung ini (sambil menepuk bahuku), seperti yang kita ketahui bersama, memang tidak menetap di kampung, tapi baru-baru aku tahu, dia rupanya punya minat yang besar kepada dunia buku dan menulis." Aku diam saja mendengarkan pak ustadz (jenggotnya rapi betul, tipikal ustadz-ustadz muda diperkotaan) yang satu ini.
Mula-mula, aku mendengarkan kondisi remaja mesjid, kegiatannya, dan juga konflik yang ada di dalamnya. Standar. Di mana-mana, organisasi mesti tidak pernah sepi dari yang namanya konflik. Bagaimanapun juga, pemikiran tiap orang itu tidak pernah benar-benar seragam. Sementara kawanku yang jenggotnya mirip ustadz itu berbicara, kawan-kawan yang lain sedap betul menghisap cigarette. Pak ustadz tak ketinggalan, dia bakar batang pertamanya. Lihatlah, asap rerak berhamburan, dan pergi ditipu angin kemarau yang dingin.
No comments:
Post a Comment