22 July 2021

Kisah Petrokimia Putra Mewarnai Sepakbola Gresik


Menit ke-76 menjadi yang paling ingin dilupakan oleh para pendukung Petrokimia Putra. Sementara menit ke-30 mungkin yang paling disesali selamanya.

Jacksen F. Tiago mencetak gol pada menit ke-30 tapi dianulir oleh wasit Zulkifli Chaniago. Sedangkan gol Sutiono Lamso (pemain Persib Bandung) pada menit ke-76 disahkan. Gelar juara Liga Indonesia yang sudah di depan mata, akhirnya menjauh. Mereka takluk oleh kesebelasan yang tidak diperkuat pemain asing. Itu terjadi pada 30 Juli 1995 di Stadion Utama Senayan Jakarta yang bergemuruh.

Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995 yang meleburkan tim-tim eks Galatama dan eks Perserikatan barangkali menjadi musim yang paling ingin mereka lupakan.

Diikuti 34 peserta yang terbagi ke dalam dua wilayah, Liga Indonesia pertama memang tak mudah untuk ditempuh oleh kesebelasan mana pun. Namun, berkat bantuan dua pemain asing andalan, Jacksen F. Tiago dan Carlos De Mello, serta Widodo Cahyono Putro sebagai pemain top nasional, Petrokimia Putra akhirnya bisa masuk ke fase delapan besar.

Di babak ini, Petrokimia Putra tergabung dengan Persib Bandung, Assyabaab Salim Group, dan Medan Jaya. Finish di urutan kedua, mereka ditantang Pupuk Kaltim di semifinal. Pada 28 Juli 1995 mereka berhasil menekuk kesebelasan dari Kalimantan Timur tersebut. Sementara pertandingan semifinal yang mempertemukan Persib Bandung melawan Barito Putra dimenangkan anak-anak Maung Bandung.

Barangkali begitu salah satu tabiat kesedihan dalam sepakbola: gilang-gemilang dalam kompetisi dan fase delapan besar, tapi dipungkas oleh kekalahan yang menyakitkan di partai final.

Keputusan wasit yang dianggap merugikan Petrokimia Putra menimbulkan kemarahan dan melahirkan slogan: “Gembuk, lek wani rene!” (Lemah, sini kalau berani!)

Aqwam Fiazmi Hanifan & Novan Herfiyana dalam Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan (2014) mencatat kisah-kisah yang beredar seputar partai final Persib Bandung vs Petrokimia Putra. Sebelum pertandingan digelar, pengurus klub asal Gresik itu berpesan kepada para pemain untuk menerima saja apa pun yang terjadi, dan mereka dilarang banyak protes ke wasit.

Jacksen F. Tiago bahkan berkata ia dan Widodo C. Putro dipanggil oleh pengurus dan dipaksa untuk mengalah. Itu terjadi pada malam sebelum pertandingan. Setelah itu sebagian pengurus klub langsung pulang ke Gresik.

Umpan pelan Yusuf Bachtiar kepada Sutiono Lamso dan diakhiri gol kemenangan Persib dalam laga keesokan hari menyempurnakan kenangan buruk publik Gresik.

Bagaimana Petrokimia Putra Bermula?

Ingatan sepakbola di Jawa Timur sejak awal telah dipenuhi oleh narasi tentang Persebaya. Klub yang berdiri pada 1927 itu lekat dengan Jawa Timur. Walaupun di kota-kota lain seperti Pasuruan, Blitar, Madiun, Bojonegoro, dll, terdapat kesebelasan sepakbola, akan tetapi gaungnya tak pernah terasa.

Di Gresik—meski telah ada Persegres yang didirikan pada 2 November 1963, tetapi situasi sepakbola kota tersebut kurang bergairah. Memasuki akhir 1970-an, kebangkitan sepakbola di salah satu kota di pesisir utara Jawa Timur itu mulai dihidupkan kembali.

Iksan Agung Nugroho dalam Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra Gresik Tahun 1988-2005 (Jurnal Avatara Vol. 4 No. 3, Oktober 2016) mencatat yang menghidupkan iklim sepakbola Gresik adalah PT. Petrokimia Gresik, perusahaan pupuk pelat merah.

Akhir tahun 1970-an dibentuk tim bernama Petrogres yang diprakarsai oleh jajaran direksi seperti Ir. Sidharta dan J. Tehupeiorij, untuk mengikuti kompetisi antarperusahaan di Surabaya. Ternyata dalam kompetisi ini ada banyak pemain asal Gresik yang memperkuat tim-tim Surabaya. Dari sana muncul ide untuk membuat kompetisi sendiri guna menghidupkan sepakbola Gresik.

Dalam laporan Jawa Pos edisi 25 Mei 1985, seperti dikutip Iksan, Petrogres betul-betul serius dalam membangun tim. Selain merekrut para pemain asal tim Kertago (Kertas Gowa) Sulawesi Selatan seperti Daniel Uyo, Abdul Muis, Hasanudin Baso, Sanusi Rachman, dan Abdul Hamid, mereka juga mengirim dua orang pelatihnya untuk belajar di Jerman, yaitu Imam Muchsan dan Bambang Purwanto.

“Di Jerman, kedua pelatih tersebut melakukan studi banding untuk melihat fasilitas dan program pelatihan yang dilakukan klub Hamburg SV,” tulisnya.

Tak lama kemudian Petrogres bergabung dalam kompetisi yang dijalankan di bawah naungan Persegres yang diikuti antara lain oleh PS. Varia Usaha, PS. Morada, PS. Kebomas, PS. Gapura, PS. Samudra, PS. Pelangi, PS. Giri, PS. Indonesia Muda, dll. Pertandingan-pertandingan digelar di Alun-alun Gresik, lapangan Telogo Dendo, dan Stadion Semen Gresik.

“Dari kompetisi tersebut dijaring pemain-pemain yang akan memperkuat Persegres di kompetisi Perserikatan,” tambah Iksan.

Kompetisi internal itu berhasil mendongkrak prestasi Persegres yang berhasil masuk kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1988 (sebelumnya hanya menghuni Divisi II dan Divisi III). Sementara dalam Galatama (Liga Sepakbola Utama)—kompetisi semiprofesional, Gresik belum ada wakil. Maka, pada 20 Mei 1988, Persatuan Sepakbola Petrokimia Putra didirikan, yang akan diproyeksikan untuk bertarung di Galatama.

Sebelum dan Sesudah Malam Kelam 1995 di Senayan

Galatama yang berlangsung sampai tahun 1994 tak sekali pun dimenangi oleh Petrokimia Putra. Prestasi terbaik mereka hanya menduduki peringkat empat. Namun, ketika kompetisi Galatama dilebur dengan Perserikatan untuk pertama kalinya, mereka langsung tancap gas sebelum akhirnya dilibas di laga final.

Tujuh tahun usai laga tersebut, mereka akhirnya berhasil keluar sebagai kampiun setelah mengalahkan Persita Tangerang 2-1. Publik Gresik berpesta, dan pamor Petrokimia Putra meninggalkan Persegres yang prestasinya terseok-seok. Namun, euforia itu tak lama, sebab setahun kemudian klub kebanggaan warga Gresik itu menlucur ke jurang degradasi.

Tak betah berlama-lama di liga kasta dua, setahun kemudian Petrokimia Putra kembali ke Divisi Utama. Hal itu tak lepas berkat perubahan format liga yang kembali menggunakan sistem dua wilayah.

“Sayonara Kebo Giras”, tulis Jawa Pos edisi 20 Oktober 2005. Laporan ini berisi tentang Petrokimia Putra yang memutuskan untuk cuti dari kompetisi Liga Indonesia. Keputusan ini diambil karena tim tersebut lagi-lagi tersungkur ke jurang degradasi karena persiapan dan materi pemain yang minim.

Pada tahun yang sama, klub yang pernah melahirkan para pemain seperti Derryl Sinnerine, Eri Irianto, dan Suwandi H.S. ini—seperti dilansir dari 
bola.com, melakukan merger dengan Persegres alias Gresik United. Nama klub pun berganti menjadi Persegres Gresik United. (irf)

19 July 2021

10 Kasidah Nasida Ria untuk Kampret yang Durhaka


Nasida Ria berdiri di Semarang pada tahun 1975. Grup musik ini membawakan lagu-lagu kasidah, lantunan syair dalam syiar keagamaan. Meski sudah terbilang tua, namun Nasida Ria pernah tampil pada gelaran Synchronize Festival tahun 2018 dan 2019. Anak-anak muda kiwari menyambutnya penuh antusias.

Saya kira, mereka—para penonton itu—setidaknya terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, mereka yang masa kecilnya pernah mendengar lagu-lagu Nasida Ria dari karet milik ibu atau bapaknya, atau lewat pengeras suara di majelis-majelis pengajian. Kedua, mereka yang sama sekali belum pernah mendengar, tetapi merasa harus tetap relevan.

Dua golongan ini adalah juga yang barangkali membelah Didi Kempot dan penyanyi-penyanyi “gaek” lainnya yang tampil di Synchronize Festival.

Meski saya tak pernah sekalipun hadir dalam festival “edgy” itu, tapi saya masuk ke dalam kelompok yang pertama. Saya mendengarnya, dulu, setiap kali perayaan Maulid Nabi dan Isra Mikraj di majelis pengajian kampung.

Kiwari, jika sesekali memutarnya di Youtube, teringat lagi saat-saat itu. Selain saya, seorang sepupu juga hafal beberapa lagu Nasida Ria. Dia malah amat menggandrungi, karena dulu orang tuanya rajin membeli kaset Nasida Ria dan memutarnya setiap pagi.

Nasida Ria telah mengeluarkan 35 album dan tak kurang dari 350 lagu. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Tentu saya tak hafal sebanyak itu. Dalam redup remang ingatan, inilah 10 kasidah terbaik Nasida Ria untuk para kampret yang durhaka:


1. Anakku

Nasihat klasik orang tua kepada anaknya tentang zaman yang berubah dan tantangan yang menanti di depan. Si anak dituntut menjadi manusia sakti yang "cerdas, tabah, dan kreatif" serta "siap menghadapi tantangan zamannya walau berbahaya". Jika dilihat dari kacamata Orde Baru, manusia sakti ini meliputi imtaq (iman dan taqwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi): jargon lawas yang pernah jadi andalan kelas menengah Indonesia.   


2. Lingkungan Hidup

Ode terhadap alam desa yang permai, juga seruan agar tidak merusaknya. Ya, tema yang digarap Nasida Ria memang luas, termasuk isu lingkungan hidup. Meskipun selalu dikaitkan dengan sisi keagamaan, kiranya usaha mereka menggarap tema patut diapresisasi. Dan memang sepatutnya demikian, karena agama tak sekadar "lirik keluh kesah" atau "senandung hijrah", tapi sejatinya mencakup semua lini kehidupan.  


3. Dunia dalam Berita

Sejak tahun 1978, "Dunia dalam Berita" adalah salah satu program berita andalan TVRI yang tayang setiap hari mulai pukul 21.00. Sebagaimana namanya, program berita ini banyak menyiarkan kabar-kabar dari luar negeri seperti perang, kelaparan, pertemuan internasional para kepala negara, dan lain-lain. Nah, apakah Nasida Ria terinspirasi dari program berita itu atau sebaliknya? Yang jelas kasidah ini juga mengabarkan kejadian-kejadian di luar negeri. Simak salah satu penggalan liriknya: 

"Australia kebanjian, Afrika kekeringan

ASEAN perdamaian, Persia pertikaian

Sungguh asyik dunia dalam berita"  



4. Jilbab Putih

Saya membayangkan kasidah ini dibuat pada tahun-tahun saat jilbab dilarang oleh Orde Baru, atau setidaknya belum leluasa seperti sekarang. Juga teringat puisi Emha Ainun Nadjib berjudul "Lautan Jilbab". Ya, memang ada suatu masa saat para muslimah di Indonesia melewati masa-masa getir. Dan Nasida Ria "mengibarkan" budaya yang kian populer itu lewat kasidah yang santai dan ceria.    



5. Matahari Dunia

Ini adalah salah satu kasidah Nasida Ria yang paling populer. Beberapa tahun ke belakang, terutama pada Subuh di bulan puasa, salah satu stasiun televisi sering memutarnya. Ajakan bersalawat kepada nabi dan pujian kepadanya: 

"Nabi Muhammad bagai purnama

Cahaya di atas cahaya"



6. Perdamaian

Hingga kiwari, saya kira tak ada yang lebih populer daripada kasidah ini. Setelah dibawakan Gigi dalam album religinya, lagu "Perdamaian" terus melambung dan terngiang-ngiang di benak para pendengarnya. Liriknya cerdas, menunjukkan ironi, menghantam para maniak perang, atau para kepala negara yang buntu di meja-meja perundingan.

"Banyak yang cinta damai

Tapi perang makin ramai"     



7. Keadilan

Kali ini Nasida Ria merambah wilayah hukum. Mengisahkan tentang seseorang yang melanggar hukum dan keluarga terlibat dalam persidangannya. Adik, kakak, paman, ayah, dan ibu mempunyai perannya masing-masing yang berseberangan. Namun pada akhirnya, sebagaimana lirik kasidah tersebut, "yang salah diputus salah". Kemudian bait berikutnya:

"Itulah keadilan 

Tak kenal sistem famili

Itulah kebenaran

yang harus dijunjung tinggi"

Kiwari, kita bisa tersenyum atau tertawa karena lirik itu terasa terlalu "mimpi" dan "berkhayal", sebab hukum hanya mampu dibeli orang-orang berduit. Langit runtuh berderak-derak, keadilan hanya omong kosong di negeri para bedebah ini. 


8. Kota Santri

Pasangan Anang dan Krisdayanti yang kini telah ambyar pernah membawakan kasidah ini. Kota santri banyak tersebar hampir di seluruh pelosok Jawa, baik dalam lingkungan salaf (tradisional) maupun modern. Lembaga pendidikan ini kerap menjadi benteng, baik moral maupun pergolakan fisik, dari ekonomi sampai politik.   



9. Siapa Bilang

Jangan pukul rata. Demikian Nasida Ria menyampaikan. Apalagi saat berkomunikasi dengan para remaja yang berdarah panas. Mereka tak menyangkal jika terdapat remaja yang durhaka, merosot akhlaknya, penuh noda, dan malas, namun mereka juga menegaskan bahwa tidak semuanya demikian. Ibu-ibu ini bahkan memakai kata "budak manja" dan "ganja" dalam liriknya. Sungguh pendekatan yang luar biasa.  



10. Wajah Ayu untuk Siapa

Inilah asal-usul istilah "kampret yang durhaka". Saat kasidah ini dibawakan dalam gelaran Synchronize Festival, banyak penonton yang tertarik akan liriknya. Dalam konstelasi politik kiwari, kata "kampret" juga "cebong" mucul sebagai anak kandung polarisasi politik yang kian tajam. Padahal dulu, saat Nasida Ria membuat lagu ini, lema "kampret" digunakan secara harfiah sekaligus metafora sebagai perusak buah-buahan dan perusak kesucian perempuan. Dan Nasida Ria menegaskan bahwa "wajah ayu, tubuh seksi" yang "bagai buah mangga ranum" itu " tidak akan kuserahkan pada kampret yang durhaka".  


18 July 2021

Perang Saudara Berakhir, Darah Abraham Lincoln Mengalir


Letus kepala.

Sang presiden di ujung

nasib celaka.

Perseteruan antara kubu Selatan (Konfederasi) dan kubu Utara (Union) dalam Perang Saudara Amerika Serikat baru saja berakhir. Pasukan Konfederasi yang dipimpin Robert E. Lee menyerah di Gedung Pengadilan Appomatox, Virginia, pada 9 April 1865.

Perang Saudara yang berlangsung selama empat tahun tersebut memakan banyak korban di kedua pihak. Lima hari setelah Konfederasi menyerah, kebengisan perang yang melahirkan dendam rupanya masih meminta tumbal.

Malam itu, beserta istri dan beberapa kolega, 
Abraham Lincoln tengah menyaksikan pertunjukan teater di Ford’s Theatre, Washington. Jenderal Ulysses Grant, mantan pemimpin pasukan Union dalam Perang Saudara dikabarkan akan hadir juga di acara tersebut. Namun ia terlambat datang.

Ruangan disesaki penonton yang antusias. Dalam jeda pertunjukan, terdengar letusan senapan. Itu hanya mengundang perhatian sesaat, tapi tak benar-benar menimbulkan tanggapan serius dari para penonton.

Tiba-tiba seorang pria melompat ke depan tempat Lincoln berada sembari mengacungkan sebilah belati panjang dan berseru, ”Sic semper tyrannis!" (begitulah nasib tiran!). Ia lalu melompat ke panggung dan melarikan diri menggunakan kuda.

Hadirin terkesima. Sementara Lincoln telah terkulai. Darah mengucur dari kepalanya yang retak dihajar peluru. Istri Lincoln berteriak histeris melihat suaminya terkapar. Setelah sadar bahwa telah terjadi pembunuhan, hadirin bergegas menuju panggung dan berusaha mengejar pelaku. Sebagian berteriak, “Gantung dia! Gantung dia!”


Aktor Teater Pendukung Konfederasi

John Wilkes Booth, pria yang menembak Lincoln, dilahirkan di Maryland pada 1838. Selama Perang Saudara berkobar, ia tinggal di utara, tapi mendukung kubu Konfederasi yang berada di selatan.

Ia adalah seorang aktor. Pada 1860, lima tahun sebelum ia menembak Lincoln, John Wilkes Booth penah menulis sebuah naskah 21 halaman yang menunjukkan kefanatikan dan simpatinya terhadap kubu Selatan.

Naskah itu ia tulis di Philadelphia dan dimaksudkan sebagai pidato. Namun sampai Lincoln ditembak, naskah tersebut tidak pernah sampai ke publik, baik dalam bentuk pidato maupun terbitan. Baru tahun 1990-an naskah itu ditemukan di salah satu arsip pemain teater di 16 Gramercy Park South, Manhattan.

Rumah tersebut adalah bekas kediaman Edwin Booth, kakak John Wilkes Booth, seotang aktor terkenal di masanya.

“Seandainya sentimen-sentimen ini diketahui oleh para pejabat yang bertanggung jawab menjaga Presiden, mungkin Booth tidak akan memiliki akses yang mudah untuk hadir di teater Washington pada 14 April 1865,” tulis 
Herbert Mitgang.

Menanggapi naskah tersebut, David Herbert Donald—sejarawan Harvard yang menulis biografi Lincoln—menyebut naskah itu adalah dokumen menarik yang mengungkap pandangan-pandangan John Wilkes Booth tentang krisis pemisahan diri dan keadaan pikirannya yang kacau balau. Juga menggambarkan jalan pikirannya yang tidak koheren dalam masa gejolak emosional yang hebat.

Robert Giroux, editor penerbit 
Farrar Straus Giroux, menemukan naskah itu saat ia menyisir dokumen pemain teater. Ia duduk di belakang meja Edwin Booth dalam sebuah penelitian di sekitar Gramercy Park.

“Saya sedikit terkejut ketika menyadari bahwa inisial JWB adalah singkatan dari John Wilkes Booth,” ungkapnya.

Naskah tersebut ditulis dengan tinta hitam tebal, dengan tulisan tangan yang sedikit kacau, kata-kata yang rentan disalahartikan, salah ejaan, dan tata bahasa yang rancu. John Wilkes Booth menulisnya di rumah saudara perempuannya, Asia Booth Clarke, di Philadelphia, saat ia dan ibunya menghabiskan liburan Natal.

Herbert Mitgang menambahkan, dalam naskah yang bertele-tele, penembak Lincoln tersebut menyebut dirinya sebagai “seorang pria Utara” yang hendak “bertarung dengan segenap hati dan jiwa—bahkan jika tidak ada seorang pun yang mendukungnya”—untuk persamaan hak dan keadilan bagi Selatan dan Utara.

Naskah yang mengungkap pikiran-pikiran John Wilkes Booth itu tersimpan dan tak terungkap selama seabad lebih. Ia masuk ke Ford’s Theatre di malam jahanam itu, dan penembakan pun terjadi.


Dua Kali Percobaan Pembunuhan

Usaha untuk mencelakan Lincoln sebetulnya sempat direncanakan lebih awal sebelum kejadian di Ford’s Theatre. Pada 20 Maret 1865, John Wilkes Booth serta beberapa rekannya berencana untuk menculik Lincoln dan membawanya ke Richmond, ibukota Konfederasi. Namun rencana tersebut gagal.

Percobaan kedua akhirnya berhasil. Pada 14 April 1865, setelah menyelinap, ia mengarahkan moncong senapan ke arah kepala Lincoln dan Presiden AS ke-16 itu terkapar.

Dalam situasi panik, Lincoln dibawa ke sebuah 
rumah pribadi milik William A. Petersen, seorang penjahit keturunan Jerman, yang berada di seberang Ford’s Theatre. Para ahli bedah dikerahkan untuk memeriksa kondisinya. Pasukan militer berjaga di sekitar rumah yang dipakai untuk mengevakuasi Lincoln.

Sementara massa berkerumun di sekitar rumah tersebut. Meski telah disampaikan bahwa luka yang diderita Lincoln sangat serius dan mematikan, tapi mereka tetap ingin mengetahui kondisi terkini dan berharap sang presiden dapat diselamatkan.

Setelah situasi di Ford’s Theatre cukup kondusif, petugas melakukan pemeriksaan di tempat Lincoln ditembak. Petugas menemukan ceceran darah di kursi, partisi, dan lantai. Sebuah pistol saku berlaras tunggal tergeletak di lantai.

Lincoln meninggal keesokan harinya pada 15 April dalam usia 56. Rumah tempat ia meninggal dijadikan museum sejak 1930-an.
(irf)

13 July 2021

10 Lagu Mocca untuk Ciwaruga


Barangkali kala itu pengujung 2002. Saat saya tengah mendengarkan Mocca album My Diary di kamar, kawan kosan sekaligus kakak kelas di kampus bilang, “band si Ceplok éta mah.”

Ceplok adalah Ardiansyah, peniup trombon di Mocca. Juga senior saya di kampus Politeknik Gajah Duduk. Dia sering main ke kosan kawannya. Kosan semenjana yang sebetulnya berbahaya karena menempel pada tebing yang menghubungkan jalan raya dan persawahan. Kini kosan itu telah rata dengan tanah.

Demikianlah, album pertama Mocca menemani hari-hari saya yang biasa-biasa saja. Tape pemutar kaset yang dilengkapi radio itu milik si Asep, kawan saya orang Tangerang. Kecil dan warnanya norak. Tapi biar begitu, jika sesekali si Asep membawa barangnya, saya kesepian.

Dua tahun setelah album pertamanya saya hapal di luar kepala, Mocca baru meluncurkan albumnya yang kedua: Friends (2004). Seperti My Diary (2002), album kedua juga saya beli di Borma Setiabudi, di kawasan Bandung Utara yang tidak terlalu sejuk. Tentu saja kaset pita, waktu itu belum ada CD-nya, atau barangkali saya tidak mampu membeli.

Album kedua ini saya habiskan di kosan baru, tapi masih di Ciwaruga. Saya pindah ke kosan si Asep, maksudnya satu kosan tapi beda kamar. Di sini jauh lebih sepi daripada kosan tebing. Isinya hanya bertiga: saya, si Asep, dan Ine anak Akuntansi.

Saya sudah naik ke tingkat dua, komposisi kawan sekelas telah berubah, artinya yang main ke kosan pun mengalami pergantian pemain. Faisal namanya, dipanggil Isal, sementara saya dan kawan-kawan sekelas kerap memanggilnya Iblis Molor. Ya, dia memang jago tidur.

Dia juga hapal lagu-lagu Mocca. Saya pernah berduet dengannya menyanyikan lagu “Swing It Bob!” dari album Friends. Tentu saja sambil menari Samba, Tango, dan Cha cha. Sebuah kegembiraan masa muda yang buru-buru diringkus waktu. Kini dia tetap botak dan masih mendukung Arsenal.

Kemudian tahun ketiga alias tahun terakhir kuliah pun datang. Sementara Mocca tak kunjung mengeluarkan album baru. Saya telah selesai menulis Tugas Akhir alias skripsi, lalu sidang dan lulus. Tak lama kemudian wisuda dan berpisah dengan kawan-kawan.

Dua tahun setelah saya lulus, Mocca mengeluarkan album baru: Colours (2007). Waktu itu saya telah bekerja di Jakarta. Itulah antusisme terakhirnya saya terhadap Mocca, maksudnya setelah itu saya tak lagi mengikuti album-albumnya.

Lalu Arina pergi ke Amerika dan ternyata kembali lagi. Sama seperti saya yang kadang-kadang mendengarkan kembali lagu-lagu Mocca.

Kejayaan masa muda tak akan bisa kembali lagi. Sebagian kawan telah pergi mendahului. Sebagian lagi telah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Meski demikian, 10 lagu ini kiranya dapat mengobati kerinduan kepada Ciwaruga dan kemesraan persahabatan.

Jangan heran jika 6 dari 10 lagu pilihan saya berasal dari album My Diary (2002), karena album pertamalah yang begitu istimewa berarak di lereng ingatan. 


1. Telephone


2. Secret Admirer


3. Dream


4. What If


5. And Rain Will Fall



6. Me and My Boyfriend


7. This Conversation


8. Swing It Bob!



9. The Object of My Affection



10. Let Me Go


09 July 2021

10 Lagu Gigi untuk Masa Pandemi

Aria Baron meninggal dunia di pengujung Juni 2021. Mantan gitaris sekaligus manajer Gigi itu menjadi salah satu dari jutaan umat manusia yang menjadi korban pandemi Covid-19. Kabar kematian itu mengingatkan kembali kepada karya-karya Gigi yang telah eksis selama 27 tahun.

Saya tak banyak membeli kaset Gigi, hanya album The Best of Gigi (2002), Raihlah Kemenangan (2004), dan Ost. Brownies (2005): semuanya menemani pada periode kuliah di Ciwaruga. Meski demikian, sejak SMA saya telah mendengar lagu-lagu Gigi.

Belakangan, saya mendengarkan kembali lagu-lagu Gigi. Hari-hari panjang di masa pandemi, membuat orang sempat menengok kembali apa-apa yang pernah menemaninya. Untuk hari-hari seperti itulah saya memilih 10 lagu Gigi yang kiranya cocok didengarkan di kamar dengan jendela lebar, cahaya bagus, pohon mangga mulai berbunga, dan kucing berjemur di jalan beraspal.

Rebahlah, dan atur volumenya sesuai selera:

 

1. Tanpamu Sepi

Lagu ini diambil dari album Baik (1999), tapi sempat diaransemen ulang dalam album Ost. Brownies (2005), dan saya lebih suka yang versi terakhir. Petikan gitar Budjana begitu jernih.



2. 11 Januari

Meski liriknya terbilang biasa saja dan cenderung klise, tapi lagu ini tetap manis. Oh ya, lagu ini diambil dari album Peace, Love & Respect (2007).



3. Kuingin

Diambil dari album perdana, Angan (1994), konon lagu ini salah satu karya yang tercipta ketika para personel Gigi formasi awal mulai kumpul dan bikin lagu.



4. Janji

Menjadi nomor pertama dalam album Dunia (1995), jelas menerangkan bahwa lagu ini menjadi andalan. Salah satu lagu Gigi yang ikonis.



5. Selamat Datang Asmara

Lagi-lagi diaransemen ulang pada album Ost. Brownies (2004). Mulanya masuk dalam album Untuk Semua Umur (2001). Cocok didengarkan oleh mereka yang tengah jatuh cinta, baik untuk yang pertama kali maupun yang sudah berkali-kali. Percayalah, jatuh cinta itu indah.


6. Terbang

Setelah album 2x2 (1997) gagal di pasaran, lagu ini berhasil mendongkrak album berikutnya: Kilas Balik (1998). Kesuksesan Gigi setelah ditinggal Thomas Ramdhan yang kecanduan narkoba dan Ronald Fristianto yang konon kehilangan partner in crime-nya, yaitu Thomas.



7. Damainya Cinta

Nomor dua setelah lagu “Oo..Oo..Oo” di album 3/4 (1996). Cukup romantis.



8. Cinta Terakhir

Tentu saja dari album Ost. Brownies (2005). Mengiringi adu peran antara Bucek Depp dan Marcella Zalianty. Sebuah cerita sederhana dari sutradara Hanung Bramantyo.  


 

9. Andai

Lagu baru yang muncul pada album The Best of Gigi (2002). Lagu pop biasa tentang perselingkuhan dan penyesalan.



10. Yang T’lah Berlalu (Nirwana)

Lagu Gigi yang paling ikonis. Diambil dari album Dunia (1995). Jika seluruh lagu Gigi diperas atau harus memilih satu saja, maka lagu ini layak menjadi pilihan. 


08 July 2021

Ada Sejarah Memilukan di Balik Keindahan Lembah Anai

 Kerja paksa, bencana Alam, pertempuran, dan kecelakaan kereta api menjadi bagian dari riwayat panjang Lembah Anai.

Hampir dua pekan ke belakang, hujan deras yang mengguyur sejumlah wilayah di Sumatra Barat menyebabkan beberapa kerusakan dan banjir. Pada Selasa (11/12/2018) sebuah jembatan di ruas Jalan Lintas Sumatra yang menghubungkan Padang-Bukittinggi ambruk, tepatnya di daerah Kayutanam, Kabupaten Padangpariaman.

Sementara air terjun Lembah Anai yang berada di pinggir ruas jalan tersebut meluap dan membanjiri badan jalan sehingga menghambat laju kendaraan. Sejumlah pengendara motor bahkan hampir hanyut terseret derasnya arus air.

Sebuah video memperlihatkan kejadian tersebut. Air terjun yang biasanya terlihat cantik berubah jadi 
mengerikan. Debit air yang bertambah memenuhi Sungai Batang Suluh yang berhulu di Gunung Singgalang menjadikan air terjun itu mengamuk.

Air terjun Lembah Anai, yang biasanya menjadi salah satu tujuan wisata di Sumatra Barat, terletak di wilayah Nagari Singgalang, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Kira-kira 60 kilometer dari Kota Padang. Pada musim hujan, air terjun ini memang mesti diwaspadai karena letaknya yang sangat dekat dengan ruas Jalan Lintas Sumatra.

Sejak dulu, Cagar Alam Lembah Anai yang ditetapkan pemerintah kolonial lewat surat keputusan No. 25 Stbl No. 756 tanggal 18 Desember 1922 ini menjadi kawasan favorit pelancong yang hendak menikmati keindahan alam pergunungan. Air terjun Lembah Anai hanyalah salah satu dari tujuh air terjun yang ada di kawasan tersebut.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, ulama cum sastrawan terpandang asal Sumatra Barat, sempat menjadikan kawasan ini sebagai salah satu latar dalam novel Di Bawah Lindungan Kabah (1938) yang diterbitkan Balai Pustaka.

Dalam cerita yang menyedihkan itu, saat Hamid (tokoh utama) belajar di Padang Panjang, ia sempat bermain ke kawasan ini. Namun keindahan alam hanya merawankan hatinya. Ia teringat kepada Zainab, perempuan yang dicintainya.

“Jika dengan teman-teman sama sekolah saya pergi melihat keindahan air terjun di Batang Anai atau mendaki Bukit Tuai, atau Gua Batu Sungai Anduk, bila masa saya melihat keindahan ciptaan alam itu, saya ingat alangkah senang hati Zainab jika ia turut melihat pula,” tulisnya.

Namun, kawasan ini sejatinya tak hanya berupa narasi keindahan. Dalam lintasan sejarah kolonial, kawasan ini juga menghamparkan sejumlah kisah memilukan.


Dari Kerja Paksa hingga Basis Perlawanan

Saat membangun Jalan Lintas Sumatra yang menghubungkan Padang dan Padang Panjang melalui Lembah Anai, menurut Elizabeth E. Graves dalam Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (2007), masyarakat dikenai kerja paksa dan para pekerja kerap harus menempuh waktu berhari-hari menuju proyek pembangunan jalan tersebut.

“[Jalan tersebut] menghubungkan Padang dengan dataran tinggi di Padangpanjang, melalui Lembah Anai, sebuah jalan sempit melewati aliran Batang Anai. Jalan tersebut akan memungkinkan transportasi barang-barang dalam jumlah yang besar dan membantu menghemat ongkos pemerintah dalam bersaing dengan pedagang pribumi,” tulis Graves.

Panjang proyek jalan Anai sekitar 10 mil atau sekitar 17 kilometer. Di banyak tempat, para pekerja harus menyingkirkan batu-batu besar yang menghalangi arah jalan. Para pekerja memang dikerahkan dari sejumlah daerah di sekitar kawasan itu, sebab penduduk setempat jumlahnya tak seberapa. Pada masa itu tidak ada lahan yang cocok untuk pertanian sehingga tak ada kampung atau nagari.

Belanda mengeluarkan perintah yang mewajibkan semua penduduk untuk ikut kerja paksa, kecuali perempuan, orang jompo, dan pemuka agama. Kepala Nagari dan Angku Lareh (pemimpin wilayah dalam era tanam paksa), bekerja melalui penghulu suku mengurus tenaga kerja ini. Setiap orang membawa makanannya sendiri-sendiri. Mereka juga harus menyiapkan sendiri peralatan kerja dan transportasi menuju tempat kerja.

Seperti peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi, sejak dulu jalan di kawasan ini sering mengalami masalah karena hujan besar menyebabkan tanah longsor yang menutupi badan jalan. Untuk menutupi biaya ini, Belanda mengeluarkan peraturan kepada para pengguna jalan untuk membayar retribusi sebesar f6 setiap tahun yang dikenal sebagai kloofgelden (uang lewat).

Selain proyek jalan raya, kawasan ini juga dilintasi jaringan transportasi kereta api. Dan pembangunannya lagi-lagi sangat bergantung kepada para pekerja yang berada di nagari yang berada di dataran tinggi. Pada masa kekuasaan Jepang, terjadi kecelakaan kereta api di Lembah Anai yang banyak memakan korban.

Sementara di masa Revolusi, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, kawasan ini menjadi basis perlawanan para pejuang Republik untuk menghambat laju pasukan Belanda yang hendak menuju Padang Panjang dan Bukitinggi.

“19 Desember 1948, mereka mengepung garis pertahanan utama Indonesia di Lembah Anai, yang terletak antara Kayutanam dan Padangpanjang […] Tetapi, mereka menemukan perlawanan sengit, karena pasukan utama Republik dipusatkan di bukit-bukit di atas celah Anai yang terjal dan sempit,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005).

Para pejuang Republik juga menghancurkan jembatan-jembatan dan menumbangkan pepohonan untuk menghambat gerak maju pasukan Belanda di lembah tersebut. Tak hanya itu, sambil perlahan mundur, mereka juga menghambat pasukan Belanda lewat para penembak yang bersembunyi di celah-celah perbukitan.


Seringnya Kecelakaan Kereta

Pada masa sekarang, terjadi beberapa kali kecelakaan kereta api di kawasan dataran tinggi yang indah ini. Jumlah korbannya pun cukup banyak. Kompas edisi 29 Juni 2000 melaporkan lima gerbong kereta api pengangkut batu bara terlepas dari rangkaiannya dan jatuh di Lembah Anai. Peristiwa ini menewaskan belasan orang dan sembilan luka berat.

“Karena calon penumpang tidak sabar menunggu kereta api angkutan penumpang pukul 12.00, mereka naik kereta api yang khusus mengangkut batu bara. Kereta api tersebut berangkat sekitar pukul 10.30 dari Stasiun Padang Panjang menuju Padang,” tulis Kompas.

Tujuh gerbong yang masing-masing bermuatan 25 ton batu bara itu kehilangan kendali saat melalui turunan tajam. Dua gerbong yang tertinggal di belakang lima rangkaian menabrak gerbong di depannya dan terpental ke luar rel, lalu terjungkal dan menghantam dinding cadas.

“Meski rel peninggalan zaman Belanda ini menerobos beberapa terowongan di bawah bukit [untuk] menghindari tanjakan, tapi masih berbahaya,” tulis Gatra.
(irf)

04 July 2021

Cinta Terakhir Baba Dunja: Bertahan Hidup di Wilayah Terpapar Radiasi Nuklir


Baba Dunja panggilannya. Sementara nama di paspornya tertulis Evdokija Anatoljewna. Dia pernah bekerja sebagai asisten perawat di Malyschi. Setelah pensiun, dia kembali ke kampung halamannya di Tschernowo atau Chernovo, tak jauh dari lokasi bencana Chernobyl tahun 1986, di Uni Soviet (kini masuk daerah Ukraina)—kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah.  

Sejak bencana itu, kampungnya kosong. Orang-orang mengungsi dan tak ada yang berani pulang karena dianggap memasuki zona kematian. Namun Baba Dunja tak gentar. Dia kembali meski Irina, anaknya yang menjadi dokter bedah dan bekerja di Jerman, melarangnya berkali-kali.  

“Aku sudah tua, tak ada lagi yang bisa membuatku terpapar radiasi, dan kalau pun terpapar, itu bukan akhir dunia,” ujarnya kepada Irina.

“Aku tak akan mengunjungi Ibu di sana.”

“Aku tahu,” ujar Baba Dunja, “tapi kau memang jarang berkunjung.”

“Apakah ini teguran?”

“Bukan. Menurutku itu sesuatu yang baik. Untuk apa seseorang selalu berada di dekat orangtua mereka?” jawab Baba Dunja.

Pada bulan-bulan pertama tinggal di Tschernowo, dia benar-benar hidup sendirian. Lalu beberapa bulan berikutnya datang Sidorow, lelaki sangat tua yang juga sendirian. Sejak itu, perlahan tetangga baru berdatangan dan lampu rumah satu-persatu mulai menyala.

Baba Dunja punya anak dua: Irina tinggal di Jerman, dan Alexej bermukim di Amerika. Cucunya, anak Irina, bernama Laura. Suami Baba Dunja bernama Jagor, telah lama meninggal. Tapi memang dia lebih baik mati, sebab sewaktu masih hidup pun Jagor hampir tak berguna: kerap mabuk dan menghilang dari rumah, meninggalkan Baba Dunja yang kerepotan menjalankan rutinitas harian.

“Aku pergi ke dapur dan minum segelas air keran. Rasanya asin karena air mataku menetes ke dalam gelas. Aku hanya seorang wanita, sama seperti jutaan wanita lainnya, tapi tetap saja sangat tidak bahagia. Aku benar-benar tolol,” keluh Baba Dunja sekali waktu saat dia benar-benar repot dan kecapaian mengurus dua anaknya, kerja di rumah sakit, dan menyelesaikan pekerjaan harian di rumah.

Maka, saat dia melihat foto menantunya—suami Irina—yang botak dan berhidung besar, Baba Dunja berucap, “Suami tak perlu berwajah tampan. Jagor tampan, tapi apa guna ketampanannya bagiku?”

Tetangga Baba Dunja yang lain adalah Marja. Perempuan gemuk dan banyak minum obat, janda yang juga ditinggal mati oleh suaminya yang brengsek.

“Pria itu (suami Marja) baru ditemukan setelah meninggal, dan sekarang Marja menghukum diri dengan mengenang masa lalu bagai lukisan terindah,” kata Baba Dunja.

Mereka cukup dekat, meski suatu hari, Konstantin—ayam jantan milik Marja—mati ketika hendak dibunuh Baba Dunja. Soalnya satu, ayam itu tak berguna dan suka mengacau. Marja sedih dan menangis, persis seperti saat ditinggalkan suaminya. Namun setelah menjadi sup dan berkaldu, dia makan juga ayam itu.

Petrow juga tetangga Baba Dunja. Lelaki tua yang penyakitan dan keranjingan membaca. Waktu tiba di Tschernowo, pada bulan-bulan pertama dia mengetuk semua pintu tetangga untuk meminta bahan bacaan, dan itu mengesalkan. Perbekalannya saat datang amat sedikit, hanya sebuah kantong berisi pakaian dalam dan satu buku tulis.

“Dia (Petrow) pria yang membutuhkan buku layaknya alkoholik membutuhkan minuman beralkohol. Dia merana saat tidak memiliki cukup buku untuk dibaca. Dan tidak pernah tersedia cukup buku untuk dia baca. Tschernowo tidak memiliki perpustakaan umum, dan dia sudah membaca buku yang ada di sini, bahkan buku manual yang usianya lebih tua darinya pun sudah,” kata Baba Dunja.

Selain Sidorow, Marja, dan Petrow, tetangga Baba Dunja yang lain adalah Lenotschka yang biasa saja, dan pasangan Gavrilow yang usianya lebih muda dari baba Dunja dan tak pernah mengerti bagaiman rasanya hidup sendirian. Ya, merekalah satu-satunya pasangan di desa itu.     

Para penghuni desa “berbahaya” ini hidup dari berkebun sayur-sayuran dan buah-buahan. Sesekali pergi ke Malyschi—kota terdekat dari Tschernowo—untuk membeli sejumlah kebutuhan dengan cara saling titip, kecuali pasangan Gavrilow.

Untuk sampai ke Malyschi, Baba Dunja harus berjalan dua sampai tiga jam ke halte bus. Kendaraan ini hanya melewati halte itu sehari sekali. Sopirnya bernama Boris, kerap bercakap dengan Baba Dunja.

“Halte bus dicat hijau dan bersih. Tidak ada yang mau pergi sampai sejauh ini hanya untuk mencoret-coret dinding. Wilayah ini dianggap menakutkan. Pabrik berada di wilayah yang dianggap orang sebagai zona kematian. Tschernowo terletak lebih jauh di dalam zona itu. Halte bus ini penanda perbatasan,” ucap Baba Dunja.

Meski tinggal di daerah berbahaya, Baba Dunja selalu menjawab siapa saja yang mempertanyakan keputusannya untuk hidup di daerah yang rawan terpapar radiasi nuklir:

“Aku sudah menyaksikan semuanya dan tak lagi memiliki rasa takut. Kematian boleh datang menjemput, tapi tolong, datanglah dengan anggun.”

Sekali waktu, ketenteraman desa ini terusik oleh kedatangan orang asing: laki-laki beserta anak perempuannya yang sehat. Baba Dunja dan seluruh tetangganya terseret kasus hukum yang mencerabut mereka dari kehidupannya.

Meski demikian, Baba Dunja, juga para tetangganya, tetap tak bisa dipisahkan dari desa yang berbahaya itu. Bencana Cherbnobyl yang dahsyat tak mampu mengusir mereka selama-lamanya.

Kampung halaman, bagi banyak orang bukan sekadar wilayah geografis, tapi juga semesta sejarah yang menggurat riwayat hidup tiap jiwa yang menghuninya. Maka itu, meski berbahaya, Baba Dunja dan orang-orang tua lainnya, kembali ke desa itu, bertahan hidup, berbagi kisah, dan bersama-sama menyongsong detik akhir.

“Desa ini memiliki sejarah yang berkaitan dengan sejarahku, seperti dua helai rambut dalam kepang yang sama. Kami melewati separuh perjalanan bersama-sama,” pungkas Baba Dunja. (irf)

03 July 2021

Kisah Suka Duka Sukarno di Bogor

Bogor menjadi saksi kisah percintaan Sukarno dengan Hartini, persahabatan dengan Nikita Khrushchev, dan terjungkal dari kekuasaan.

Dari tujuh presiden yang silih berganti memimpin Indonesia, kiranya tak ada yang paling banyak punya warna warni kehidupan melebihi Sukarno. Proklamator kemerdekaan ini kenyang keluar masuk penjara dan tempat pengasingan. Sosoknya yang energik, ekspresif, dan flamboyan, membuat dirinya hampir selalu melahirkan cerita yang menarik, termasuk di beberapa kota yang sempat disinggahi dan ditinggali, termasuk Bogor: tentang cinta, persahabatan, dan saat-saat menjelang lengser.

“Aku mencintaimu, ini adalah takdir”

Setelah menceraikan Siti Oetari dan Inggit Garnasih dan menikahi Fatmawati, serta dikaruniai sejumlah keturunan, Sukarno masih ingin punya istri lagi. Dan dalam catatan sejarah, sampai akhir hayatnya ia mempunyai sembilan istri.

Istri keempatnya bernama Hartini. Perempuan kelahiran Ponorogo ini telah memikat hatinya. Mula-mula mereka bertemu di Salatiga. Hartini yang saat itu telah mempunyai hubungan dengan Dr. Soewondo juga kepincut dengan Sukarno yang kharismatik.

“Tuhan telah mempertemukan kita Tin, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir,” tulis Sukarno dalam suratnya kepada Hartini seperti dikutip Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi (2014).

Mereka memakai nama samaran, imbuh Kasenda. Sukarno memakai nama Srihana, dan Hartini memakai nama Srihani. Hal itu dilakukan keduanya karena percintaan mereka dilakukan secara diam-diam, atau Kasenda menyebutnya “jalan belakang”. Hal ini kemudian mendorong Ali Sastroamidjojo menegur Sukarno untuk segera menyelesaikan gosip percintaan itu dengan secepatnya menikahi Hartini.

Sukarno pun menikahi Hartini di Istana Cipanas, Cianjur. Selanjutnya Hartini tinggal di paviliun Istana Bogor. Di situlah dua sejoli ini menorehkan kisah percintaan. Dari Hartini, Sukarno mempunyai dua orang anak, yakni Taufan dan Bayu.

Sebuah fragmen sempat ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007) tentang Sukarno dan Hartini saat berada di paviliun Istana Bogor ketika menerima tamu, yaitu Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones dan istrinya.

"Ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang tidak formal. Aku pakai baju sport dan tanpa alas kaki. Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu keluarga Jones sangat gemar nasi goreng ayam dan aku makan mempergunakan tangan. Kami duduk mengelilingi meja menikmati suasana santai dan menyenangkan," ucap Sukarno.

Sukarno seperti ditulis Cindy Adams mengaku bahwa paviliun tempat ia dan Hartini tinggal, tidak seperti dugaan banyak orang yang mengira memiliki kran-kran dari emas murni seperti para pemimpin dunia di negara lain.

“Aku dan istriku Hartini di paviliun kecil kami di Istana Bogor. […] Di kompleks istana itu kami memiliki sebuah bungalow kecil yang memiliki sepasang kamar tidur. Bungalow itu tidak mewah. Sederhana sekali. Tetapi menyenangkan dan itulah rumahku,” katanya.

Menjamu Nikita Khrushchev

Sekali waktu pada 1960, pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, berkunjung ke Indonesia. Oleh Sukarno ia dibawa ke beberapa kota, salah satunya Bogor. Perjalanan dan pengalaman di Bogor ditulis Khrushchev dalam Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953-1964) dengan penuh kegembiraan sekaligus agak muram.

Menurutnya, dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor yang hanya 50 kilometer, menyajikan pemandangan indah. Ia terkesan dengan buah-buahan yang dijajakan pedagang di pasar yang dilewatinya, yang bukan saja belum pernah dinikmati oleh orang-orang Uni Soviet, bahkan melihatnya pun mereka belum pernah.

Lantas ia mengagumi Istana Bogor. Ia terkesan dengan bangunannya dan rumput luas yang terhampar di halaman. Khrushchev teringat masa kecilnya, saat musim semi ketika para petani merayakan Paskah dan semuanya nampak hijau.
Di sekitar Istana Bogor, ia melihat benda-benda hitam besar tergantung di dahan pohon. Saat ditanyakan, ternyata benda-benda itu adalah rubah terbang yang merupakan sejenis kelelawar.

“Sebelum senja, mereka bersiap pergi, lalu semuanya terbang seperti burung hitam musim semi di Rusia. Hewan itu terbang membuat lingkaran di sekitar tempat mereka menghabiskan hari, kemudian terbang jauh mencari makanan. Di pagi hari hewan nokturnal ini kembali,” tulisnya.

Khrushchev ditemani Sukarno berjalan-jalan ke Kebun Raya Bogor yang menurutnya memberi kesan suram, karena matahari tidak menembus kanopi daun di bagian atas. Di bawahnya basah, dan batang-batang pohon ditutupi lumut dengan air yang menetes dari dedaunan.

Ia melihat dua orangutan yang dirantai di dalam kebun raya tersebut. Menurut Khrushchev, kedua orangutan itu dirantai dan hanya terduduk sedih.

“Mengapa Anda membiarkan mereka dirantai? Itu membuat kesan buruk,” tanyanya kepada Sukarno. Namun Sukarno tak menjawabnya.

Museum Zoologi yang letaknya tidak jauh dari Istana Bogor turut dikunjungi Khrushchev. Pelbagai macam kupu-kupu dengan aneka pola dan warna mengejutkan imajinasinya. Seryozha yang biasa dipanggil Sergei, anaknya, yang turut dalam perjalanan itu mempunyai hobi mengoleksi kupu-kupu. Anak itu selalu meminta dibawakan spesimen kupu-kupu setiap kali ayahnya pergi ke luar negeri.

Para pengawal Sukarno mencoba menangkap kupu-kupu untuk memenuhi permintaan Sergei. Dan ketika Sukarno mengetahui bahwa anak sahabatnya gemar mengoleksi kupu-kupu, ia pun ikut menangkap kupu-kupu, mereka berlari-lari dan tertawa lepas.

Sukarno lalu menjamu makan malam. Pelbagai makanan dihidangkan termasuk camilan dan buah-buahan. Dengan memanggil “Kamerad Khrushchev”, Sukarno meminta sahabatnya itu untuk mencicipi durian.

“Saya mengambil sendok, mencedok daging buahnya, dan mengangkatnya ke mulut. Saya langsung kewalahan dengan bau busuk yang menjijikkan. Presiden bersikeras untuk merasakan buah itu. Dia sendiri senang memakannya, dan bagiku sepertinya tidak sopan untuk menolak,” tulis Khrushchev.

Sukarno juga membawanya berjalan-jalan memakai mobil ke perdesaan di Bogor. Khrushchev melihat orang-orang bertelanjang dada dan gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Baginya, pemandangan itu tidak menyenangkan. Dua hari Sukarno menemani Khrushchev di Bogor, setelah itu mereka kembali ke Jakarta.

Senjakala Putra Sang Fajar

Beberapa tahun kemudian, kenangan manis di Bogor saat bersama Hartini dan persahabatan mesra dengan Nikita Khrushchev berubah drastis. Peristiwa G30S membawa Sukarno ke tubir keruntuhan kekuasaan.

Saat peristiwa itu terjadi, Sukarno berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara pasukan yang dipimpin Soeharto akan segera mengepung pasukan yang menguasai Halim. Demi keamanan, Sukarno pun terbang ke Istana Bogor. Lalu beberapa hari kemudian ia memimpin sidang kabinet.

Setelah itu, demonstrasi mahasiswa yang dimotori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menghebat. Mereka menyerukan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura yang satu satu isinya adalah menuntut pembubaran PKI, yang dianggap sebagai dalang pembunuhan para perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya.

Karena aksi mahasiswa kian bergelombang, akhirnya mereka diundang untuk hadir dalam sidang paripurna kabinet di Istana Bogor pada 15 Januari 1966. Salah seorang eksponen gerakan mahasiswa saat itu, yakni Cosmas Batubara, menceritakan peristiwa itu dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik (2007).

“Kedatangan delegasi KAMI Pusat, KAMI Jaya, dan KAMI UI ke Bogor disambut oleh mahasiswa Bogor dan mahasiswa Bandung yang telah lebih dulu berada di sana. Jalan di sekeliling Istana Bogor melimpah dengan mahasiswa,” tulisnya.

Menurutnya, mahasiswa yang muak dengan pemerintahan Orde Lama menyerang mobil para menteri yang hendak masuk ke Istana Bogor dan meneriakinya “menteri goblok”. Mahasiswa juga menggoyang-goyangkan mobil-mobil itu sehingga para menteri ketakutan.

Karena Sukarno tidak sepatah pun menyinggung Tritura, semua mahasiswa yang datang dari Jakarta kecewa dan tidak bersedia kembali ke Jakarta. Mereka yang berada di sekeliling Istana Bogor itu lebih memilih untuk bertahan di sana.

Situasi semakin gawat, sampai akhirnya Sukarno—meski kontroversial dan menjadi perdebatan di kalangan sejarawan—di Istana Bogor menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret pada 1966, yang kemudian menjadi senjata yang justru meredupkan kekuasaannya. Putra Sang Fajar pun jatuh dan beberapa tahun kemudian hayatnya pungkas.

Bogor, yang letaknya tidak terlampau jauh dari Jakarta itu, menghiasi riwayat Sukarno dalam senang dan duka. Dalam sedih dan tawa. (irf)