22 January 2009

3 F

Food. Identitas makanan sekarang sudah mengalami pergeseran, dari sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, sekarang telah menjadi life style. Di mana-mana ada variasi kuliner dengan semesta wisatanya. Acara makan jadi lomba ajang gengsi. Tempat-tempat makan nomor wahid jadi buruan para pencinta atau lebih tepatnya para pencari gaya hidup. Lihat saja di mana ada shooting acara makan-makan, maka tidak lama kemudian tempat itu jadi ngetop. Di sector industri lebih membabi-buta lagi, saat ini sangat sulit untuk mengingat ada berapa merek mie instant, kopi, minuman ringan, susu bubuk dan cair, permen, coklat, roti bahkan teh celup. Maka kalau pergi ke retail-retail modern, bersiaplah untuk memilih beragam merek tersebut. Pasar makanan sudah jenuh, sehingga sulit mencari konsumen yang loyal pada satu merek. Saya tidak percaya dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan loyalitas pada satu merek makanan, apalagi hasil penelitian para mahasiswa, biasnya luar biasa. Cara menikmati makanan pun kini banyak perubahan. Warung makan cepat saji jadi banyak digemari. Makanan yang konon junkfood itu sangat menarik minat para pencari makanan, apalagi hampir semuanya warung impor, maka makan di sana bukan lagi sekedar membantai lapar tapi juga sebagai tempat nongkrong. Bukankah masyarakat Indonesia masih menganggap keren segala hal yang berbau luar?!, oh kolonialisme, sampai begini rupanya engkau membuat prilaku rakyat Indonesia. Yang paling baru adalah warung kopi, orang-orang senang berkumpul bukan hanya di kedai kopi tapi juga di warung-warung kopi modern yang ada hot spotnya. Maklum saja kedai kopi biasa yang serumah sama mie rebus dan teh manis tidak bisa bikin laptop kelihatan mantap. Saya tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang dengan laptop itu, mungkin chatting, mungkin nulis, mungkin browsing atau mungkin juga main solitare. Di akhir pekan banyak keluarga yang bingung menentukan untuk makan dimana dan makan apa yang enak, tapi mudah-mudahan tidak berpikir hari ini makan siapa. Semahal apa pun makanan itu kita beli, ujung-ujungnya pasti akan berakhir di pembuangan, baik di kloset duduk, kloset jongkok, sungai keruh atau pun di celana dalam karena kita tak kuat nahan.

Fun. Hiburan di mana-mana. Dugem ramai sekali pengunjungnya. Musik dan sinetron seperti dua mata uang yang tidak bisa lepas dari mata dan telinga. Band-band baru yang kebanyakan kampring bermunculan. Sinetron sambung-menyambung tak ada habisnya, sayang komedi cabul malam-malam sekarang sudah tidak ada. Belum lagi sinetron yang menjiplak film sukses, garingnya bukan main. Film komedi cabul marak di layar lebar, akhir-akhir ini saya dengar mereka berseteru dengan LSF. Para sineas muda yang konon idealis itu kokoh dengan pendiriannya bahwa pendidikan seks adalah penting. Dan lonjakan libido pun harus di visualkan demi misi luhur tersebut. Maka lihatlah para pemuka agama berseteru dengan mereka. Hiburan dan hiburan, sangat mengesankan masyarakat Indonesia yang haus akan itu, atau mungkin ada yang berpikir bahwa terlalu banyak masalah jadi rakyat harus dihibur. Media hiburan mengepung semua pojok rumah. Ada televisi, DVD, PS dan tak ketinggalan blue film untuk kemudian dipraktekkan di rumah, di hotel dan kost-kostan. Orang kere pun tidak ketinggalan, mereka bisa nonton goyang erotis yang gratis di sudut-sudut kampung. Yang berbau-bau indie juga lagi ngetrend, ada film indie, musik indie dan komik indie. Lihat itu myspace jadi ramai sekali. Industri olah raga pun sudah jadi industri hiburan, di mana-mana ada fans club tim-tim besar, mereka berkomunitas mencintai club luar yang berada jauh di seberang laut lepas. Lama-lama negeri ini jadi republik hiburan.

Fashion. Ada celana pendek di atas lutut yang lagi ngetrend, ada celana “demi waktu” yang mirip kaki burung, ada celana panjang super ketat yang ditutup kain menyerupai gorden, ada baju pameran pusar dan masih banyak lagi. Mode pakaian terus berubah dari waktu ke waktu, sangat cepat malah. Kebanyakan yang jadi targetnya adalah perempuan, tapi tak sedikit juga laki-laki yang berani tampil banci dengan gaya-gaya tersebut. Pakaian sudah jadi salah satu barang koleksi sekarang, ada kolektor baju bekas, ada kolektor t-shirt bertema musik bahkan ada juga kolektor daleman. Industri aksen juga jadi ramai, ada kalung, gelang, anting dan pin. Belum lagi budaya tato dan tindik-menindik, bahkan ada juga yang menindik hidung laku orang menyerupai kerbau di tengah lumpur sawah. Sementara kebanyakan orang berlari mengikuti revolusi mode, ada juga yang terjebak di masa lalu, tenggelam di masa 60, 70, 80 dan 90-an. Banyak sekali baju usang di lemari, tapi sangat sayang jika di kasih sama orang lain, apalagi di buang.

Ketiga F tersebut perlahan-lahan membuat kita menjadi tong sampah raksasa. Maka mari kita mendaftar di MURI untuk hal ini. Siapa tahu nanti ada olimpiade tong sampah dan kita menjadi yang termewah. Ada perbedaan besar antara kebutuhan dan keinginan. Kita sepertinya sedang berproses menjadi veses komsumerisme global. [ ]

2 comments:

rhefee said...

tulisan anda ini sama seperti apa yang ada dalam benak saya. Hanya saja saya susah mengungkapkannya. he...
ya,,, tong sampah yang termewah lucu juga kalau diadakan. Mungkin mereka yang menjadikan makanan itu sebagai lifestyle merasa tidak sia-sia telah mengeluarkan banyak uang...

Irfan Teguh said...

Itulah yang harus dipikirkan, ketika tekhnik dan strategi pemasaran berhasil menciptakan pasar yang segmented (salah satunya konsumen "lifestyle"), lalu apa langkah selanjutnya untuk mengklarifikasi bahwa strategi pemasaran tidak identik dengan menciptakan masyarakat konsumtif??, atau apakah memang kegiatan pemasaran bertujuan menciptakan masyarakat konsumtif??