09 July 2015

POLBAN dari Kacamata Seorang Lulusan Paria


Membaca mojok.co tentang kampus-kampus, kok ya rasa-rasanya tidak ada yang menulis tentang kehidupan kampus di Bandung. Padahal jelas di Bandung juga banyak sekali ruang untuk para mahasiswa belajar. Tapi entah kemana catatan itu, teks seperti hilang di ruang hampa. Seolah anak-anak Bandung tak biasa menulis, ga doyan berlarat-larat dengan aksara. Astaghfirullah, ini adalah bahaya laten. Kondisi ini bakal menegaskan stereotif tentang Bandung yang cuma terkenal konsumtif. Iya jelas, memproduksi tulisan saja ga becus kok. Maka sebagai anak kandung kampus Bandung, saya tergerak untuk ancrub ke medan ini. Berjihad di ruang publik yang selo ini.

Saya katakan jihad sebab memang tak mudah bagi saya, yang lulus dari kampus dengan kondisi setengah alien. Memangnya Bung dan Nona tahu POLBAN? Apa coba? Tak jarang orang menyebut bahwa POLBAN adalah singkatan dari Polisi Bandung. Dan banyak lagi yang mengkerutkan kening, sebab bagi mereka nama tersebut barangkali seperti rima-rima zaman Orba.

Kondisi ini mewajibkan saya untuk bergerak taktis layaknya Menteri Penerangan, menyuluh masyarakat dengan informasi-informasi yang benar tentang kampus tercinta itu, walaupun sedikit pahit. Tak apa, toh obat juga pahit namun pada akhirnya bisa menyembuhkan. Aih, klasik sekali!

Terlahir sebagai Anak Gajah Duduk Beraroma Tentara

Ketika pemerintah dan industri merasa ada jarak yang begitu jomplang antara lulusan S1 dengan lulusan Sekolah Menengah Atas, maka lahirlah Politeknik. Lembaga pendidikan ini terutama dibentuk untuk menjadi semacam kawah candradimuka bagi para calon buruh berkualitas nomor wahid. Bagaimana tidak, pada mula kelahirannya calon mahasiswa baru ditempa dengan ospek semimiliter lengkap dengan seragam dan kepala botak khas tentara. Kemudian jam perkuliahan dibuat sangat ketat. Dari pagi sampai sore mahasiswa bertungkuslumus di bengkel-bengkel, lab-lab ujicoba, dan ruang-ruang praktek. Semuanya ikhlas demi memenuhi kebutuhan dunia industri.

Konon, lulusan POLBAN gampang diserap oleh pabrik-pabrik. Para pemilik modal tertarik dengan alumninya sebab tampil dengan wajah peranakan. Setengah gajah duduk setengah tentara. Begini penjelasannya : pada awalnya politeknik-politeknik negeri belum mampu berdiri sendiri, sebab infrastruktur dan sistem belum memadai. Maka mereka dititipkan di kampus-kampus besar yang usianya sudah bangkotan. Dan begitulah pada akhirnya, di Bandung hadir sebuah politeknik dengan nama Politeknik ITB, ya Politeknik Gajah Duduk.

Para Aktivis HMSC

POLBAN berdiri di desa Ciwaruga, sebuah desa yang terletak di perbatasan tiga wilayah; Kota Bandung, Kab. Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Posisinya sebagai salahsatu jalan perlintasan para wisatawan yang hendak indehoy di Lembang dan di sekujur Bandung Utara yang adem-adem. Jam delapan malam angkutan kota sudah tidak bisa mengangkut warganya yang hendak pulang.

Kampus paling banter hidup sampai maghrib, setelah itu mati. Sisa mahasiswa yang masih berkeliaran bisa dihitung dengan jari. Mereka adalah para aktivis HMSC (Himpunan Mahasiswa Student Centre) yang sangat guyub dan selo. Ngobrol, main gitar, diskusi, makan, mandi, main domino, dan tidur di kampus. Pagi-pagi ketika hari baru datang, dan para mahasiswa serta mahasiswi tengah harum-harumnya, mereka para pejuang HMSC ini kadang masih asyik sarungan sambil ngorehan singkong yang mereka masukan ke bara sisa pembakaran tadi malam.

Mereka, anak-anak HMSC itu layaknya kaum oposan bagi ritme hidup yang kaku di kampus dengan jadwal mirip di barak tentara; dapat E satu saja bisa bikin DO. Atau nilai D melebihi tujuh biji dalam satu semester, siap-siap ditendang. SKS dipaket, dan mesti lulus tepat tiga tahun, tak boleh lebih jika nama ingin tetap harum. Toleransi setahun bagi para pemalas dan kaum lemah iman, lebih dari itu jangan harap masih bisa kuliah di sini!

Anak-anak Ndeso Calon Mesin

Diberkahi letak geografis yang posisinya di pinggiran kota, POLBAN betul-betul pas untuk menempa para peserta didiknya. Ciwaruga, sebuah desa yang dikepung oleh sawah dan kuburan, juga akses transportasi publik yang sangat minim, cocok untuk melatih mahasiswa agar tidak konsumtif. Ah sodara, bukankah Bandung yang gemerlap ini kerap menggoda tunas-tunas penerus bangsa? Maka menjauhkan bibit-bibit unggul ini dari pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan adalah langkah mulia.

Anak-anak dicetak ndeso dari pergaulan hedonisme, yang kelak akan mereka panen jika sudah bergaji besar di pabrik-pabrik raksasa nan terkenal. Untuk sekadar tetap menjadikannya manusia, di kampus hadir beberapa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), dan Organisani Intra Kampus macam BEM, Himpunan, dan lain-lain. Sementara KAMMI, HMI, LMND, dan antek-antek kepentingan politik yang lain ditentang habis-habisan. Apa perlunya mereka? Toh, arahnya sudah jelas, begitu lulus mesin-mesin industri sudah siap untuk menampung mereka. Buat apa pula ikut-ikutan politik? Maaf ga ada waktu!

***

Dari kampus inilah saya lulus beberapa tahun ke belakang sebelum tahun 2015. Tiga tahun pas, ga kurang ga lebih, dengan IPK ga jelek-jelek amat. Lumayanlah sebagai balasan bagi kuliah yang tidak terlalu serius, alias asal lulus. Beberapakali sempat bekerja di tempat oranglain, namun nganggur juga ga sebentar, sisanya menghabiskan waktu dengan menulis hal-hal yang saya sukai. Kawan-kawan telah moncer di pabrik-pabrik besar dan lembaga-lembaga pemerintah dengan tingkat kesejahteraan yang bikin calon mertua keras hati lumer pendiriannya. Saya memang tidak suka penyeragaman, jadi menempuh jalan hidup yang berbeda.

Bagi almamater, saya barangkali seorang lulusan paria. Kacingcalang kalau kata orang Sunda, alias penerus tradisi yang tidak diharapkan kehadirannya karena terkena cacat bawaan. Tak apa, toh saya juga tetap punya kontribusi dengan menuliskan ini. Menyuarakan almamater agar orang-orang tak salah lagi dengan menyebutnya sebagai Polisi Bandung. [ ]      

Ingatan yang Berarak di Pujasera POLBAN

08 July 2015

Kisah Babi-babi Keblinger

Di sebuah ladang peternakan, seekor babi tua penuh pengalaman mengorganisasi massa untuk melawan dan menggulingkan kesemena-menaan manusia, yaitu seorang tua pemilik ladang dan para pegawainya. Dalam sekali serbu, sang pemilik yang suka mabuk dan para pegawainya lari kocar-kacir. Rezim manusia seketika tumbang.

Setelah kembali mengusai massa dan keadaan, sang babi tua menyerukan tentang pentingnya kerja keras, solidaritas, kebersamaan, dan kesetaraan. Hal itu kemudian mengejawantah ke dalam sebuah kesepakatan yang berisi tujuh poin yang berisi semacam aturan dan pandangan hidup berbangsa. Para binatang yang ikut serta dalam pertempuran melawan manusia, di antaranya biri-biri, sapi, kuda, angsa, burung, kucing, keledai, dan masih banyak lagi, tanpa banyak interupsi kemudian menyetujui kesepakatan tersebut.

Selang beberapa waktu setelah kemenangan gilang-gemilang, sang babi tua mati. Tampuk pimpinan kemudian diteruskan oleh dua ekor babi muda yang keduanya sama pintar. Golongan babi dikisahkan sebagai kelompok binatang yang paling pintar dan secara kepemimpinan paling bisa diandalkan. Maka bergulirlah kehidupan baru, sebuah tatanan hidup para binatang yang telah terbebas dari penjajahan manusia.

Dengan penuh semangat dan harapan yang bergelombang, para binatang bahu-membahu bekerja keras untuk membangun ladang dan demi kesejahteraan hidup yang lebih baik. Usaha ini tak perlu menunggu waktu lama sudah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Kesejahteraan meningkat dan kemakmuran ladang sebuah tatanan bangsa baru mulai mencuat.

Namun pada perjalanannya, tidak seperti pendahulunya--yaitu si babi tua, kedua babi pemegang tampuk kepemimpinan mulai menunjukkan sikapnya yang asli. Watak haus kuasa dan otoriter perlahan mulai dijalankan. Kondisi binatang lain yang berperan sebagai rakyat ladang--yaitu pekerja keras dan setia, mereka manfaatkan untuk kepentingan golongannya, yaitu golongan babi, dan juga golongan para penjaga atau militer, peran militer ini diemban oleh para anjing.

Hasil bumi yang mereka panen untuk lumbung nasional malah ditumpuk untuk kesejahteraan dua golongan ini. Rakyat dikurangi jatahnya, siapa pun yang mencoba kritis dan melawan harus bersiap dengan hukuman yang kejam. Korban bergelimpangan, dan kebanyakan rakyat tak berani melawan. Cita-cita agung kolektif yang semula murni, kemudian melenceng jauh dari niatnya.

Rakyat hanya “kenyang” dengan simbol-simbol keagungan bangsa yang semu, yang diciptakan oleh para penguasa. Di mana-mana slogan dan semboyan. Lagu-lagu pemujaan terhadap bangsa diciptakan. Proyek-proyek yang ditujukan untuk membuai rakyat dan politik mercusuar dikembangkan. Banyak yang muak namun tak berani dan tak mampu melawan. Beberapa pemberontakan kecil dapat dengan mudah dipatahkan rezim dua babi ini.

Jiwa serakah dan haus kuasa ternyata juga membuat kedua babi ini pecah kongsi. Antara yang satu dengan yang lain saling adu kuat, yang pada akhirnya membuat salahsatu dari babi itu tersingkir dari lingkar kekuasaan. Setekah berhasil disingkirkan, babi yang kalah ini dihinakan oleh kampanye-kampanye yang menggiring rakyat untuk berpihak kepada si babi pemenang. Ejekan, fitnah, dan tekanan yang terus-menerus membuat si babi kalah akhirnya meninggalkan ladang para binatang. Namun namanya tetap hadir dalam bentuk cerita-cerita tentang pengkhianatan.

Dalam kekuasan tunggal yang absolut, si babi pemenang semakin leluasa sekehendak hatinya ketika menjalankan roda pemerintahan di peternakan binatang. Lama-kelamaan kondisi ini akhirnya membuat sadar para binatang, bahwa ternyata antara babi dan manusia tak ada bedanya, dua-duanya adalah para penindas!

***

Orwell begitu lihai dalam menyusun cerita alegorinya. Kisah para babi keblinger yang mengkhianati dan menindas rakyat binatang ini adalah sindiran keras terhadap system kekuasaan Uni Soviet yang tengah berkuasa. Bagaimana pemerintahan komunis ini yang semula dibangun oleh semangat kesetaraan, ternyata pada akhirnya hanya memunculkan penguasa yang diktator.

Jika kita menelusuri setiap karakter perumpamaan binatang, maka kita akan terkagum-kagum, sebab Orwell begitu presisi dalam menulisnya. Kekaisaran Rusia, pemimpin komunis, para rakyat, negara sahabat, si babi kalah, dan peletak dasar atau sang ideolog komunisme; semuanya dibangun oleh tokoh para binatang tadi dengan karakter yang serupa. Sehingga jika para binatang ini diumpamakan sebuah system kekuasaan lain di luar Uni Soviet namun memiliki corak yang sama, maka niscaya akan tetap relevan. Seperti misalnya mengaitkan para binatang ini dengan rezim Kim Jong Un di Korea Utara, dan bahkan rezim Orba di Indonesia!

Inilah kisah alegori yang nyaris sempurna! Tak heran jika Animal Farm berhasil melejitkan nama Orwell di kancah sastra dunia. [ ]


Foto : histoforum.net

Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut


“Kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”
--Asma Nadia

Meskipun pada mulanya lahir dari rahim sejarah kota, namun pada perjalanannya Aleut berkembang menjadi wadah yang bukan hanya belajar tentang sejarah dan masa lalu. Sebagaimana kelahirannya, komunitas ini turut dibidani oleh buku. Beberapa buku Haryoto Kunto--Sang Kuncen Bandung, seolah menjadi batu tapal. Berangkat dari sana, buku atau lebih luasnya lagi teks, mau tidak mau menjadi teman, pengiring, dan pembimbing yang setia. Laku membaca dan menulis kemudian bergulir dengan sendirinya, meskipun memang alirannya tidak selalu deras, kadang kemarau datang dan kanal menjadi kerontang.

Di ruang privat, para pegiat Aleut tentu tidak hanya membaca buku-buku yang terkait dengan sejarah, terutama sejarah lokal Bandung dan Jawa Barat. Tapi barangkali porsinya masih kurang proporsional antara buku sejarah dan non sejarah. Sementara dalam pergaulan hidup sehari-hari, sudut pandang tidak melulu dibentuk oleh sejarah, namun lebih luas dan beragam. Juga karena pada perjalanannya, komunitas ini kian besar dan makin luas jejaringnya, maka tentu perspektif pun menjadi lebih rumit.   

Dari kesadaran ini maka ditempuhlah sebuah cara sederhana untuk lebih memperkaya sudut pandang tersebut, yaitu dengan membaca, membaca, dan menulis!

Pembacaan terhadap teks bagi sebagian orang mungkin bermula sebagai laku rekreatif, terutama misalnya jika yang dibaca tersebut kisah fiktif. Hal ini tentu adalah pengalaman personal. Dari sudut personal kemudian dibawa ke ranah publik, yaitu komunitas. Di titik ini berbagi hasil pembacaan pribadi akan menjadi menarik sebab akan dilempar ke “jalanan umum” yang berkarakter khas; multi tafsir, adanya ruang komentar, dan mungkin sulit diduga. Pengayaan perspektif ini pada prosesnya tentu juga melahirkan diskusi, adu pendapat, atau bahkan debat. Dari sana dimungkinkan akan tercipta dialektika sebagai bahan belajar bersama.  

Di ruang belajar bersama, praktek meresensi buku tentu mesti dikawal oleh pemahaman dan teori tentang bagaimana cara merensi buku yang benar. Hal ini penting sebagai pijakan atau dasar sebelum “melangkah” ke fase berikutnya. Apa fase berikutnya tersebut? Karena pada mulanya diniatkan sebagai wadah penggodokan intern komunitas, maka pada prakteknya riungan resensi ini kerap membicarakan hal-hal lain yang lebih luas.    

Kelas Resensi Buku Aleut, atau saya lebih senang menyebutnya sebagai Riungan Buku Aleut, kurang lebih dimaksudkan untuk mencapai hal-hal tersebut di atas. Muaranya tak kurang, sejalan dengan esensi Aleut; adalah wadah belajar bersama dan sarana pengembangan individu para pegiatnya.

Scripta Manent Verba Volant! 

Salam Olahraga! [irf]  

03 July 2015

Pendidikan Menjadi Miskin Ala Ramadhan dan Lebaran


Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan.  Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif--bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.

Masyarakat yang “membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah salahsatu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat.

Barangkali semangatnya hanyalah semacam pemberian reward kepada karyawan yang kerjanya bagus. Lalu diadopsi menjadi bunga-bunga penyemangat anak-anak dalam rangka latihan beribadah. Hal seperti ini—dalam kerangka Ramadhan dan Lebaran tentu saja-- saya yakin banyak dialami anak-anak, atau mereka yang pernah menjadi anak-anak. Saya pun pernah mengalaminya. Artinya lembaran uang baru itu adalah bunga yang dipanen anak-anak di tengah kegembiraan yang khas. Dunia yang penuh toleransi dan acap dirayakan dengan riang, sebagaimana kecenderungan tulisan Ramadhan yang mengaitkan masjid dengan playground akhir-akhir ini.

Tapi tunggu dulu, ternyata ga se-selo itu, setidaknya dari beberapa potong kutipan berikut. Adalah Rahmat Abdullah (alm), mantan pegiat salahsatu partai politik di Indonesia, dalam bukunya menulis begini :

“Ajaib, bulan yang seharusnya semua orang kurang makan, minum, dan belanja, ternyata malah defisit besar, keranjang sampah selalu penuh dengan makanan lebih. Makanan orang-orang miskin yang malang, yang selalu merasa kurang. Selalu tegang bila lebaran tak pamer kekayaan, pakaian baru, makanan mahal yang membosankan dan lemparan uang logam yang diperebutkan anak-anak, sekolah sempurna untuk jadi miskin berkepanjangan, dengan belajar meminta-minta sejak usia dalam ayunan.”

Ya tepat, poinnya seperti yang saya hitamkan tersebut. Meskipun redaksinya “uang logam” namun intinya sama, beliau menyoroti ihwal budaya meminta-minta. Kurang gahar apa sengatan ini “sekolah sempurna untuk jadi miskin berkepanjangan”. Luar biasa!

Satu hal lagi dari kutipan di atas, di luar yang saya hitamkan, rupanya itu serangan kepada ibu-ibu dan bapak-bapak yang doyan belanja. Coba cek lagi, benar ga porsi untuk belanja makan, minum, dan laku konsumsi lain justru membengkak di bulan yang dituntut banyak menahan ini? Dan apakah betul keranjang sampah selalu penuh dengan makanan lebih yang dibuang karena tak tertampung perut? Kalau benar, maka ibu-ibu dan bapak-bapak masuk kepada golongan--yang seperti kata beliau—“orang-orang miskin yang malang, yang selalu merasa kurang.”

Ibu-ibu, bapak-bapak, mas, mbak, akang, teteh, dan siapa pun mungkin akan berkata dengan setengah gumam, “ah, itu mah dianya aja yang ga selo, kurang piknik, terlampau serius! Ini kan bulan festival, sasih karnaval, semuanya bisa jungkir balik, sah-sah saja toh namanya juga merayakan, lagian datangnya juga setahun sekali, jadi wajar toh berlebihan sedikit mah.

Betul, siapa pun boleh berpendapat. Namun dari sini mencuatkan satu—setidaknya buat saya—kesadaran baru, bahwa Ramadhan dan Lebaran ternyata bisa juga menjadi sekolah, madrasah yang mendidik bagaimana caranya menjadi miskin, miskin secara mental meskipun dengan kelimpahan materi. Padahal kalau mau menengok sedikit tentang kewajiban zakat fitrah, bulan ini justru bulannya memberi, bulan ketika setiap jiwa menjadi kaya, karena hampir semuanya menjadi muzakki (pemberi zakat) dengan mengeluarkan zakat fitrah.

Kondisi ini, mental menjadi miskin ini, barangkali karena terlalu banyak yang melewatkan waktu berbuka dengan hanya yang manis-manis saja. Padahal salah satu ustadz kekiri-kirian di Kota Bandung pernah memberi tausiyah pendek penuh hikmah ihwal berbuka. “Berbukalah dengan yang kuminis-kuminis”, demikian nasihatnya.

Mulanya saya tak percaya, namun kemudian menemukan isyarat yang sangat hakikat dari seorang penulis kuminis--demikian seperti yang dituduhkan banyak orang—terkenal di negeri ini. Begini kata Pramoedya Ananta Toer sekali waktu, “Saya hanya percaya pada diri saya sendiri. Dan dengan berjalannya waktu, saya tahu bahwa saya hanya bisa bergantung pada diri saya sendiri. Saya ditahan oleh Orde baru selama 34 tahun di penjara dan kamp konsentrasi, dan Tuhan tidak pernah menolong saya. Orang-orang datang kepada Tuhan untuk mengemis. Menurut saya berdoa itu sama dengan mengemis!”

Kiranya sidang pembaca bisa menafsirkan sendiri kata-katanya. Saya sudahi dulu sampai di sini, sebab saya hendak ngabuburit. Barangkali nanti sore ada yang kebetulah melintas di Jl. Braga dengan memakai kendaraan, tengoklah di sebelah kiri jalan, mudah-mudahan bisa melihat deretan para “penjual” uang itu. [ ]         


01 July 2015

Sapeuting di Hotěl Homann


Mondok di hotěl gedě nu munggaran těh baheula basa diajakan ku jenatna lanceuk nu panggeděna, harita meuting těh di Hotěl Hyatt nu di Jl. Sumatěra. Ari kitu těa mah lanceuk geus apal, yěn kuring mah apan satadina gě urang lembur, jadi bororaah sok mondok di hotel gedě, dalah di hotěl leutik gě can kungsi. Nyak atuh basa dina waktuna kuring kacida bungahna. Loba alak-ilik, nempoan naon waě nu ceuk paněnjo sorangan karasa aněh. Tapi kajadian ěta těh geus heubeul, geus aya kira tujuh taun ka tukang. Pleng wěh ti harita mah can kungsi deui mondok di hotěl gedě.

Kamari pisan, kira pukul opat sorě aya babaturan nga sms, eusina ngajakan ulin ka Hotěl Savoy Homann. Kabeneran maněhna keur kapapancěnan tugas ti kantorna, nya ku tempat gawěna diperenahkeun pikeun mondok těh di Hotěl Homann. “Hayu bisi rěk milu sarě di dieu, tong poho mawa kaměra sakalian popotoan, kapan tempat bersejarah ieu těh,” kitu pokna dina sms. Aya jalan komo meuntas, keur mah geus lila teu sarě di hotěl gedě, jeung deuih kuring hayang apal sejarahna, katurug-turug aya nu ngajakan, nya sanggeus mandi sagebrus dua gebrus, kira geus magrib beleyeng weh kuring ka Hotěl Homann.

Barang panggih jeung babaturan nya der wě pancakaki, ngomongkeun ngeunaan sejarah Hotěl Homann nu kungsi dipakě ku Prěsiden Sukarno saparakanca basa acara Konpěrěnsi Asia Afrika taun 1955. Rada peuting babaturan indit da rěk nganteur baturna sapagawean, cenah rěk leuleumpangan di sabudeureun alun-alun. “Sok wě, kuring mah moal milu, rěk kukulibekan di dieu sabari popotoan.”

Ceuk itungan mah moal pati capě kukulibekan di jero hotěl těh, da puguh gě ngan tilu lantě, kitu implengan kuring. Kamar nu ditempatan ku kuring jeung babaturan těh nomer 104, ayana di lantě hiji. Sabari ngagigiwing kaměra nu aya talian kuring tuluy naěk ka lantě dua make tětěan, da horěam makě lift mah. Barang těrěkěl tuluy nepi di lantě dua, kuring rada merod. Tětěla kayaanna jempling pisan, matak ting sariak bulu punduk.  

Gusti Nu Agung, ěta hotěl těh geuningan keueung pisan. Kamar ngajajar panjang, sabari kayaanna jempling naker. Ambekkan gě paribasana kaděngě ku sorangan. Karpět ngabakutet satungtung lantě, panto kamar narutup ngajarega. Mending di leuweung asana, sora tongěrět atawa manuk waě mah aya, itung-itung ngabaturan, da ieu mah nu disebut gang katincak těh leuwih-leuwing. Lampu teu pati caraang teuing, remang-remang ceuk basa Malayuna mah. Teu mikir panjang deui, kuring langsung ngabelecet balik deui ka handap, ka kamar sorangan.

Barang geus ampir tengah peuting, babaturan nu ulin těh tungtungna balik. “Enggeus kukurilingan těh?” kitu pokna. Nya derekdek wě ku kuring dicaritakeun kaayaanna. Sihorěng maněhna gě ngarasakeun nu ku kuring kaalam tadi. “Enya puguh gě, babaturan kuring mah komo tatanya sual jurig sagala, naha di dieu kungsi aya carita-carita nu matak pikeueungeun teu, cenah,” kitu manehna neruskeun.

Tapi da niatna gě hayang nyaho jeung rěk miceun kapanasaran, nya tungtungna kuring jeung babaturan kukurilingan těh paduduaan. Moal keueung teuing meureun mun aya batur mah, kitu pamanggih těh. Wanci janari leutik bral wěh kuring jeung babaturan mimiti nguriling. Nya Alhamdulillah, sok sanajan sieun mah aya kěněh saeutik, tapi ari dikeureuyeuh mah tungtungna bisa nyaho patempatan atawa kamar-kamar nu baheula kungsi dipakě ku Persiden Soekarno saparakanca basa KAA taun 1955.

Sanggeus seubeuh kukurilingan di luhur, tuluy turun rěk nempo kolam renang. Harita pědah geus tengah peuting, malah mah geus deukeut ka isuk, nya euweuh hiji-hiji acan nu ngojay, kolam renangna gě dikubeng ku rantě baradag. Teu jauh ti kolam renang aya hiji papan nu majang sagala rupa parabot jeung piala nu baheula kungsi dipakě basa KAA taun 55, dina ěta papan těh aya sababaraha gambar heubeul. Nu paling alus mah nyaěta gambar basa Hotěl Homann keur dirěhab, kuriak meureun pibasaeunna.

Kuirng jeung babaturan nangtung hareupeun ěta papan sabari ngilikan gambar. Barang keur kitu jol aya hiji pagawě hotěl nu keur mancěn tugas, nya ku kuring ditanya sugan maněhna apaleun ngeunaan sajarah ieu hotěl. “Aduh, saya mah ga banyak tahu pak, saya panggil ajah ya menejernya,” kitu pokna. Kusabab kuring teu ngeunah ari ngabělaan kudu ngageroan dununganna mah, nya ku kuring dicarěk. “Wios a, ěnjing deui wě, teu raos tos wengi anyeuna mah.” Maněhna unggeuk tuluy ngalěos.


Isukna kusabab kuring kudu nganteurkeun alo indit ka sakola, nya teu kaburu tunyu-tanya ka si měnějer těh. Pukul genep isuk gě kuring mah geus amit ka babaturan rěk balik ka Buahbatu. Sajajalan ka imahkeun, nu kainget ku kuring lain sajarah hotělna, tapi kalahkah keueungna. Jadol těh! [ ]    


Jejalin Luka di Jenak Hidup Manusia


Kira-kira di penghujung tahun 2008, saya pernah mereka-reka satu teori hidup. Dengan pandangan kaca jendela tembus ke kebun singkong dan komplek kuburan, saya menyimpulkan bahwa hidup manusia bergerak dari satu gerbong menuju-mencapai kebahagiaan ke gerbong selanjutnya. Semua usaha dan kehendak manusia semata untuk memenuhi harapan kebahagiaan. Misal; orang lapar pasti makan, haus ya minum, bodoh ya belajar, jomblo ya cari pacar, dan seterusnya.

Tapi tunggu, pada buku Puthut ini teori saya sedikit retak. Terutama pada bagian pemenuhan pasangan. Apakah benar mempunyai pasangan akan menggenapi pundi-pundi kebahagiaan?

Dari 15 cerita yang disajikan di buku ini, pasangan justru—setidaknya menurut Puthut—adalah pangkal dan muara luka. Dalam jenak hidup manusia, terutama yang sadar betul akan identitasnya sebagai makhluk sosial, mempunyai pasangan tentu bukan perkara aneh. Lumrah bahkan. Namun serupa barang pecah belah, hubungan antar manusia yang kerap didominasi oleh perasaan ini pada perjalanannya acapkali rumit. Di sini, di tempatnya yang paling dalam, perasaan mampu mengoyak tanpa robek, dan melukai tanpa darah.

Pada cerita “Hujan yang Sebentar”—saya random membacanya--, terdapat satu paragraph yang lirih, tentang satu pasangan yang bertemu justru untuk saling melupakan. Bagaimana lelaki itu bertemu perempuannya di stasiun kereta api dengan percakapan yang tertahan. Mereka bertemu bukan untuk saling menegaskan hubungan, namun sebaliknya. Pertemuan yang justru melahirkan luka baru :

“Tapi kepastian itu datang juga, akhirnya. Telah aku terima undangan pernikahan dengan namamu di sana, beberapa bulan yang lalu. Aku memandang ke jendela, senja, dan hujan. Pertemuan itu tidak membuka apa-apa, tertemuan itu telah menutup segalanya.”          

Dengan gaya bertutur yang minim dialog—“Obrolan Sederhana” sebagai pengecualian, Puthut bereksperimen tentang kemungkinan-kemungkinan cerita. Pada satu nomor, bagaimana dia menceritakan pertemuan dua orang lelaki yang baru kenal, namun berbicara tentang hal-hal yang sebetulnya hanya layak diceritakan kepada orang-orang terdekat.

Dalam “pengasingan” dari kehidupan yang penuh residu, kedua lelaki itu bertemu dalam sebuah ruang bercakap yang cukup karib. Ditemani rokok, kopi, dan kemudian arak, mereka berbicara tentang hidup yang tak bahagia. Ketika obrolan sampai pada tema pasangan hidup, salahsatu dari mereka mengutarakan hal ini, “Pasangan yang terlalu membuatmu banyak berpikir, apalagi sampai mengasingkan diri, kurasa bukan pasangan yang tepat.” Lagi-lagi ihwal pasangan!

Membaca sekujur cerita yang disajikan Puthut di buku ini, dalam lereng ingatan saya hadir kembali sosok-sosok dalam “Orang-orang Bloomington”-nya Budi Darma, dan dua tokoh dalam film “Lost in Translation”-nya Sofia Coppola. Hidup yang terasing, orang asing, pasangan, dan bagaimana cara pereka cerita begitu tega membangun karakter-karakternya, saya kira itu benang merahnya.

Dalam cerita kedua yang berjudul “Kisah Asing”, aroma Budi Darma dan Sofia Coppola begitu kentara. Dua insan beda jenis kelamin, sama-sama mempunyai latar kisah cinta yang tak ideal; bertemu di sebuah apartemen, dalam pertemuan yang mula-mula cukup dingin. Namun pada perjalanannya kedua orang itu bisa saling mengisi, seolah masing-masing menemukan potongan mozaik yang selama ini mereka cari.


Dalam pengantarnya di buku ini, Arman Dhani—penyunting-- menegaskan, bahwa meskipun cerita-cerita yang terhimpun di sini adalah tentang cinta yang kandas, hubungan yang terselubung, atau kasih yang terlarang, namun akan terburu-buru jika menyetarakannya dengan sinetron-sinetron kelas dua yang kerap mengusai kanal televisi nasional. Memang di titik inilah Puthut sebagai si pengolah kisah patut diapresiasi. Dia berhasil menggabungkan kisah yang sebetulnya banal, dengan kepiawaian meramu sudut pandang, plus pilihan diksi yang kuat, sehingga bangunan-bangunan cerita tidak senorak opera sabun. [ ]