Sempat juga, dulu, entah kapan tepatnya saya lupa lagi, seorang kawan
sempat bertanya tentang perempuan cantik, saya jawab saja Leigh Nash. Mantan
vocalis Sixpence None The Richer itu memang cantik, terutama waktu bawain Kiss
Me. Gigi kelincinya menebar aroma innocent. Tapi sekarang dia sudah tua, lagi
pula Sixpence sudah bubar, dan kawan saya yang bertanya itu entah di mana,
kabar terakhir posisi dia di Medan, jualan Bakpao katanya. Tapi saya masih
ingat, dia dulu terlambat lulus alias pending gara-gara tugas akhirnya
tersendat. Maka ketika saya dan kawan-kawan yang lain di wisuda di Sabuga ITB
dan berhias toga macam pakaian Rama Aipama, dia hanya jadi penonton, ceria saja
pembawaannya, entah perasaannya. Di
detik-detik ketika akhirnya para wisudawan mulai sibuk mencari kerja, dia malah
sibuk di depan layar komputer, sendirian mengejar deadline demi wisuda
gelombang kedua. Ralat, dia tidak sendirian tapi ditemani lagu Sway dari Big
Runga.
Rokoknya Marlboro merah, tak penting betul saya ceritakan masalah
cigarette ini, tapi memang dia tak mau jika harus membakar cigarette produksi
Djarum yang aromanya, menurut dia, terlalu pekat. Sikapnya bersahaja-berkawan, dia
adalah jenis sahabat yang nyaman di segala kondisi. Pernah sekali waktu, ketika
tanggal sudah masuk ke penghujung bulan dan kiriman dari kampung belum datang, uang
di kantong tak tersisa sepeser pun. Saya tergeletak tak berdaya di kamar kosan,
tiba-tiba batang hidungnya muncul di balik pintu dan sebuah senyum pahit, dia
datang dengan tangan penuh oleh kantong berisi makanan dan dua bungkus rokok.
“Untuk anak rantau kere macam kau,” katanya.
Beberapa dosen bersikap agak sinis kepadanya. Maklum saja,
sebab dia lumayan sering bolos dan tugas sering terkatung-katung tak jelas
kapan selesainya. Saya tak sampai hati menasehati, sebab saya tahu pada
dasarnya dia cerdas, hanya saja beberapa gelintir setan penggoda kerasan
tinggal di dirinya. Sekali saja sempat saya bilang, “kawan, pisau kau itu
sebenarnya tajam, tapi mulai berkarat, asahlah sedikit.” Dan dia hanya,
lagi-lagi, tersenyum pahit. Barangkali dia menyesal juga pada akhirnya, sebab
tidak bisa lulus tepat waktu seperti kawan-kawan yang lain, tapi memang itu
sudah terjadi, dan kini hanya menjadi kenang-kenangan bagi hidup yang begitu
biru.
“There she goes, there she goes again…,” suara Leigh Nash
tengah mengusai kamar ketika dia, lagi-lagi, muncul tiba-tiba dari balik pintu.
“Siapa yang pergi kawan?,” tanyanya. “She,” jawab saya. Lalu tawa pun pecah
berderai-derai, nikmat betul. “Sejak kapan orang macam kau ditinggal cewe?,
yang datang pun kaga pernah ada,” dan kami, saya dan dia tertawa lagi. Selain
senyumnya, humor dia pun pahit, tapi tetap menghibur.
Braga, berapa kilometer jaraknya dari Sarijadi?, entah.
Sekali waktu, sempat juga kami jalan kaki dari Sarijadi menuju Braga, bertiga,
karena ditambah kawan satu lagi : Dani Batax Swasta. Yang ini pun
bersahaja-berkawan. Ihwal gelar “Batax Swasta” adalah karena dia tak seperti
umumnya orang-orang sekampung dia yang rata-rata bersuara lantang, dia malah
kebalikannya. Tapi dia Batak tulen, ibu-bapaknya asli Sumatera Utara, hanya
saja sudah terlalu lama tinggal di Bandung, jadi begitulah, dia lebih mirip
orang Bandung, suaranya kadang-kadang seperti tertiup angin. Bukan rasis, tapi
begitulah kenyataannya.
Malam hari waktu itu, dan hujan masih menyisakan rintik
sebab sedari sore mengguyur deras kota Bandung. Kami seperti sedang napak tilas
pasukan Siliwangi di masa penjajahan yang hijrah berjalan kaki. Bertiga kami
berjalan kaki membelah kota Bandung yang dingin sekaligus mengandung aroma
romantic aneh yang membias dari lampu-lampu kota, tukang serabi, beberapa
perempuan cantik yang nongkrong di Circle-K, dan wajah-wajah para pendukung
Persib yang sedang menyaksikan tim kesayangannya lewat pesawat televisi. Dan hidup
tidak sama lagi setelah itu, sebab beberapa hari setelah membelah Bandung
dengan berjalan kaki, kami akhirnya terpisah dijerat waktu yang mengiris di
setiap milisekon hidup.
Sepotong ingatan masih tersisa. Sehari sebelum kami
berpisah, kawan yang rokoknya Marlboro merah itu, di kamarnya yang berantakan,
dengan mata entah nanar entah syahdu, didapati tengah mendengarkan Alicia Keys
: If I Ain't Got You. Saya Tanya, “Sedang jatuh cinta kau rupanya kawan?.
Siapa yang kau sukai itu?”. Dan dia menjawab pendek, sangat pendek, “She.” [ ]
No comments:
Post a Comment