Anggi tidak mengerti, kenapa ibu membawa dia, kakak, dan adiknya pindah ke kota yang lebih sepi. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Waktu itu, waktu ibunya dengan setengah tergesa membawanya pergi, yang dia lihat hanya mendung dan rusuh di wajah ibu. Anggi ingin menangis, tapi tidak tahu menangis untuk apa, perasaannya tidak menentu. Lalu mobil mulai berjalan dan membawanya menyusuri jalan yang sempit dan macet. Ketika jalan yang menyebalkan itu habis, dia menghirup hawa segar dan udara terasa dingin di tubuhnya. Di sini, di kota barunya yang sepi dan kecil, bersama ibu dan dua orang saudaranya, dia memulai hidup baru. Langkah pertama untuk menggapai semua mimpinya dia lakukan di kota ini.
***
Masih jelas dalam ingatanku waktu dia berucap, “Pes, aku
tidak bermaksud untuk menggurui atau menasehatimu, tapi anggap saja ini saran
dari seorang kawan,” aku terdiam tidak mengerti dengan ucapannya. Dia terdengar
menarik nafas panjang, lalu berucap lagi, “Pes, bapakmu mengirim kamu ke sini, sekolah
ke kota ini, pasti dengan menaruh banyak harapan. Kepercayaannya padamu sungguh
luar biasa. Bayangkan, dari daerah, kamu dikirim ke sini untuk menuntut ilmu
dengan setiap bulannya disangoni biaya yang tidak sedikit. Nah, maksudku,
jangan sampai kepercayaan bapakmu itu kamu sia-siakan. Jangan sampai kamu bermalas-malasan
untuk belajar, atau terlalu banyak bermain tak jelas sehingga pelajaranmu
banyak ketinggalan.”
Dia sangat tipikal; rajin dan pandai menyaring pergaulan. Anak-anak
betah berlama-lama ngobrol dengannya, apalagi kalau ada tugas yang belum
selesai, dia pasti dikerubuti. Prestasinya gilang gemilang, ini tidak lepas
karena cara belajarnya yang militant. Pernah suatu hari saya dan kawan-kawan
yang lain datang ke rumahnya, mau numpang makan sekalian baca-baca majalah
bola. Di siang yang terik dan berangin pelan, waktu seperti itu seharusnya
pantas untuk dijadikan tidur siang, tapi saya mendapatkannya tengah mengerjakan PR matematika dan belajar
rumus-rumus fisika. Saya mencoba mengikuti kegiatannya, tapi malah pusing, saya
buntu, dan sejak itu saya tahu bahwa pelajaran eksak bukan jalan saya.
Waktu anak-anak mulai belajar merokok, dia tak bergeming. Asap
cigarette telah dikutuk untuk menjauhinya, asap racun itu tidak pernah berhasil
mengotori paru-parunya yang disesaki oleh nafas penuh semangat. Dia tahu, ibunya
akan sangat kecewa jika mendapatinya tengah menghisap rokok, dan karena dia tak
mau menyakiti perasaan ibunya, maka dia menjauh dari penghasil cukai terbesar
itu. Sebenarnya sikap dia tidak terlalu berbeda dengan kawan-kawan yang lain,
tapi saya dapat melihat, dalam dirinya ada semangat yang tak kunjung padam, ada
mimpi-mimpi yang tersimpan dengan rapi, dan dia tengah berusaha untuk
mewujudkan semuanya.
Selepas SMA kami sangat jarang bertemu, meskipun kuliah pada
kota yang sama. Dia di politeknik, saya di politeknik. Dia eksak, saya tata
niaga. Dan jalan hidup manusia tidak pernah disetting sama, kami menempuh jalan,
kejadian, dan pengalaman yang berbeda. Sekali bertemu dia sempat cerita, bahwa selepas
SMA dia diterima di tiga politeknik yang berbeda, lalu kakaknya bilang, “Anggi,
kamu mau belajar atau mau main?, kalau kamu mau benar-benar belajar maka pilihlah
Politeknik Kanayakan.” Dan Anggi menuruti nasehat kakaknya, lalu selama tiga
tahun dia tenggelam dalam seragam biru di dalam bengkel. Waktu saya baru lulus
dari Politeknik Ciwaruga, dalam masa menganggur yang menyesakkan, kami bertemu lagi. Dia sedang berlibur dari
tempat kerjanya di Borneo. Senyumnya tidak berubah, masih seperti dulu, dia
selalu mengklaimnya sebagai “senyum Pepsodent”, saya diam saja setiap mendengar
klaimnya itu, tak apalah, yang penting kawan senang. Lalu setelah itu kami lama
tidak bertemu, sebelum April 2009 menghentikannya.
***
Kini Anggi tengah duduk di atas sebuah sajadah, pada
seperempat malam yang sunyi, di kamarnya yang hangat oleh cinta dan kasih
sayang. Istri dan anak laki-lakinya masih tertidur dengan pulas, mereka adalah
anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepadanya. Ini adalah kesendirian yang
padat dan syahdu, posisi yang terbalik; biasanya istrinya yang melihat dia dan
jagoan kecilnya sedang tertidur, lalu istrinya membaluri kedua laki-laki yang
tengah tidur itu dengan do’a. Dinding kamarnya penuh dengan foto si jagoan
kecil, dan detak jam terus berbunyi.
Anggi menarik nafas dalam-dalam, lalu melihat betapa damainya
wajah kedua orang yang sangat dicintainya itu. Betapa Tuhan telah begitu banyak
memberinya anugerah, di hidupnya yang pernah merasakan kesedihan, ternyata
Tuhan menggantinya dengan banyak hal yang lebih baik. Kemudian tanpa sengaja, pikirannya
terlempar ke masa-masa penuh perjuangan, ke masa-masa ketika usia (sangat) mudanya
dipertaruhkan dengan kesungguhan dan kerja keras.
Dia terkenang dengan rute yang dulu setiap hari dilalui, dengan
dada yang gembung oleh semangat, setiap hari, setiap pagi, dia taklukkan
kelok-kelok jalan yang menghubungkan dua titik; Gatsu-Kanayakan. Tangannya
perlahan menjadi terbiasa dengan alat-alat mekanik yang keras dan pekerjaan
yang penuh resiko. Di situ, di bengkel praktikumnya yang dipenuhi manusia
berseragam biru, tidak sejengkal pun semangatnya dia biarkan menghilang. Anggi sadar,
di kampusnya, masa muda bukanlah soal menyalurkan adrenalin dengan tumbal waktu
yang terbuang dan kemalasan, melainkan hari-hari penuh teori hitungan, tugas,
dan latihan. Dan dia sudah siap untuk itu, dari awal dia selalu berjaga di
garis depan, mamacu dirinya untuk senantiasa menjadi formula ideal antara usaha
dan do’a.
Jejentik jam terus berputar, menggilas waktu yang tercecer di
belakang. Sudah hampir shubuh, istrinya terlihat menggerakkan badan sebelum
akhirnya terlelap lagi. Jagoan kecilnya belum bangun, di malam yang mulai
dijemput pagi, anak kecil itu seperti tidak mau mengganggu ayahnya dengan
tangis yang pecah, dia seperti tahu bahwa ayahnya baru saja bermesraan dengan Tuhan,
dan sekarang tengah bermesraan dengan dirinya sendiri. Di luar, embun mulai
hinggap di daun jambu, mangga, dan rambutan. Embun juga hadir di atap rumah,
kubah mesjid, jalananan berdebu, dan semesta lainnya. Anggi belum berhenti,
kini pikirannya melayang ke masa-masa SMA, dan tiba-tiba dia tersenyum sendiri.
Masih sangat jelas dalam benaknya ketika sepatu barunya
mempermalukan dia di tanah lapang, sepatu Nike kuning stabilo itu memang kurang
ajar betul, skill sepakbolanya hancur dan menyentuh titik paling rendah, di
tanah lapang itu, di hadapan kawan-kawannya yang bertabiat bagai gerombolan penghancur
mental, dia terjatuh tanpa dijatuhkan lawan. Tawa pun pecah, dengan muka murung
dia menepi ke pinggir lapang. Dia pun masih ingat pada sebuah acara di ruangan
senam, ketika dia dan kawan-kawannya dianggap underdog, mereka malah bisa
memberikan pembuktian terbalik, bahwa merekalah yang layak untuk keluar sebagai
juara. Ingat acara itu, dia pun ingat pada cabaret. Kemudian semuanya hilang kembali,
suara penjaga mesjid mulai terdengar dari pengeras suara, mengingatkan warga
bahwa waktu shubuh sebentar lagi.
Sekarang yang hadir hanyalah rasa syukur. Sambil masih duduk
di atas sajadah, dia kemudian mengangkat tangan dan mulai berdo’a. Setelah
mendo’akan kedua orangtuanya, kedua orangtua istrinya, kemudian dia lanjutkan
dengan do’a untuk keluarganya :
“Rabbana hablana min
azwajina wadzurriyatina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqina imama”
Dan waktu shubuh akhirnya datang, muadzin mulai mengumandangkan
seruan kemenangan. Ketika embun sudah mengusai bumi, Anggi mendekati tempat
tidur, membangunkan istrinya. Saat mata istrinya mulai terbuka, Anggi hanya
tersenyum, tak berkata apa-apa, tapi senyum itu dapat dengan mudah
diterjemahkan, dalam hatinya Anggi berkata, “Bangun sayang, sudah shubuh.” [irf]
No comments:
Post a Comment