23 September 2012

Menunggu Atambua

Tidak mudah menjadi Uxbal. Hidup dari menjual barang-barang selundupan dan palsu. Menderita kanker prostat, dan mantan istrinya menjadi "pedagang eceran", sementara anak-anaknya tumbuh di usia yang masih sangat rawan untuk "dibelokkan". Uxbal lebih dari sekedar sapaan "sahabat-sahabatku yang hatinya baik", sebab aforisma dan nasihat punya dosisnya sendiri, ia bukan jadwal makan tiap hari, bukan pula semacam stiker keraton di pantat mobil pribadi.

"Keputusan yg tak terputuskan" hanya dapat berdamai dengan kawan-kawan terbaik yang mengerti bahwa segala dendam, resah, dan kekhawatiran dapat dilarung dengan secangkir kopi. Never mind : matilah segala yg kau tahu. Siapa yang tidak mau diajak bersenang-senang?, bahkan teori zodiak pun seperti sampah yang tak henti-hentinya dijilat. Kembali ke pangkuan yang "di dalam", dan sebuah pertanyaan : "kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi?".

Bagaimana jika cerita fiksi terjadi di dunia real?, seperti orang yang mencemaskan kebahagiaan, padahal itu anomali, karena bersikap bagai mencari sapi sambil menunggangi sapi. Atau orang yang anti publikasi, selalu berada di belakang kamera, sampai menginspirasi penulis pocong galau untuk berbuat hal yang sama pada mulanya. Harold dalam Stranger Than Fiction memang mencuatkan satu kesadaran, bahwa terkadang dunia real lebih aneh daripada cerita fiksi.

Statistic status yang ditulis di jejaring sosial beraroma opium adalah bahan paling absurd untuk menggulirkan sebuah cerita panjang, bahkan sangat panjang, karena digali dari mata air sehari-hari. Mouly Surya sempat bernyanyi dengan lirik : jika fiksi selalu punya akhir, maka dunia real sebaliknya. Ia terus berlanjut. [ ]

No comments: