Sebagian
bayangan pohon ketapang terlihat jelas di tanah yang lembab, sebagian
lagi di jalan yang beraspal. Saya duduk di luar kamar, menghadap ke
jalan yang beraspal itu, dua orang perempuan terlihat berjalan menuju
entah ke mana. Kupu-kupu kecil berwarna putih terbang rendah dan hampir
menyentuh rumput. Langit cerah tapi udara terasa dingin. Di kejauhan, di
sebelah timur, garis barisan bukit terlihat membiru. Pemilik safari
empat saku masih di dalam, masih terbaring lemah dengan selang infus dan
tabung oksigen. Di dalam, udara terasa padat.
Afrizal
Malna di tangan, dia menjajah ingatan. Kalau saja tidak ada mimpi dan
imajinasi, masadepan tidak lebih dari sekedar angka dan deret
turunannya. Sunyi, hanya seekor kucing kurus yang duduk kelaparan.
Di rumah sakit jarang ada yang buang sampah sembarangan, dan tong sampah
tertutup rapat. Di dalam terdengar suara perawat mengganti tabung
oksigen, dan percakapan setengan nada. Panas matahari mengendap pada
daun-daun pohon lengkeng, angin berhembus perlahan, dan dingin menggigit
pelan-pelan.
Yang
duduk menunggu di dalam tidak banyak suara, hanya menunduk, dunianya
sudah masuk ke dalam layar ponsel, jejaring sosial telah menyedotnya.
Komunikasi berlaksa rupa, derajatnya sungguh mengagumkan, dibutuhkan di
setiap halaman waktu manusia. Dalam remang lupa masih saja terdengar
suara guru ngaji di kampung, dulu, dulu sekali, beliau pernah berkata,
“Bersabarlah, karena sesungguhnya sakit itu menggugurkan dosa-dosa yang
telah lalu.” Sementara daun-daun pohon ketapang mulai berguguran seperti
ingin memberikan metafora.
Dua
generasi dibatasi tembok dingin dan kaca yang lebar, yang satu
terbaring dan yang satu lagi sedang duduk. Apa yang membuat dua zaman
bisa berdampingan?, salah satunya adalah pengertian. Dewi Lestari dengan cerdas
menulis, bahwa yang sekarang kita sebut embun dulunya adalah bola
raksasa yang bening bagai kristal, bahwa yang sekarang kita sebut rumput
dulunya adalah pohon raksasa yang tegap berdiri. Terlalu banyak kosa
kata yang tidak bisa menghubungkan dua masa, tidak ada kunci pasti yang
bisa menyatukan dua generasi.
Tapi
saya bukan Pram yang pulang ke Blora dalam buku “Bukan Pasar Malam”, saya
tidak sedang mengenang hal-hal yang telah hilang, saya hanya tengah
memperhatikan masadepan yang bersembunyi di balik pohon ketapang. Dan
waktu tak pernah surut, bayangan pohon telah bergeser beberapa derajat.
Pintu kamar adalah bukti bahwa ada yang datang dan ada yang pergi. Dan
pintu itu juga pasti tahu, setelah dzuhur, saya melangkahkan kaki masuk
ke kamar. Saya pamit, rahmat kerja sudah menunggu esok hari. Terasa
sekali kulit tangannya, kulit tangan pemilik safari empat saku itu telah
mulai kendur dan keriput. Dan di luar langit telah berganti, awan hitam
mulai menguasai, hujan berhamburan waktu saya masuk mobil. Dalam hati
sempat saya merapal pelan sekali :
“Allahumma rabban naasi adzhibil ba'sa asyfi antasy syaafii laa syifaa'a illaa syifaa'uka syifaa'an laa yughaadiru saqaman.”
“Ya
Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah penyakit itu dan sembuhkanlah
ia, Engkaulah yang menyembuhkan, tak ada obat selain obat-Mu, obat yang
tidak meninggalkan sakit lagi.” [ ]
No comments:
Post a Comment