Di luar udara cukup
panas, menyebabkan penjaga perpustakaan terkantuk-kantuk. Saya masih ingat, buku
yang saya baca waktu itu adalah Robohnya Surau Kami. Pengunjung yang lain
tampak asyik dengan dunianya masing-masing, sebuah dunia yang memancar keluar
dari jajaran huruf yang berderet di atas kertas. Lantai yang terbuat dari
marmer kelabu dan angin yang terus bertiup pelan di luar, seperti mengajak saya
untuk “ayo lebih baik kita tidur saja daripada membaca buku.”
Tapi apa boleh
buat, A.A. Navis begitu pandai bercerita sehingga rasa ngantuk pergi dengan
terpaksa. Saya baru sampai di bagian “Pada Pembotakan Terakhir”, ketika hari
tiba-tiba menjadi sore dan perpustakaan akan segera tutup. Setelah
menyelesaikan proses administratif untuk meminjam buku, akhirnya saya keluar
dan meluncur ke arah Kimia Farma.
Kau
boleh bertanya pada matahari yang bersinar cerah sore itu kalau kau tak percaya,
bahwa pusat perbelanjaan sedang sangat ramai dikunjungi manusia multi usia, mereka
bagai laron yang keluar dari sarang menuju sinar terang lampu neon.
Di depan
Yogya, orang-orang berdesakan untuk berebut membeli apa sih nama barangnya saya
lupa lagi. Di jalan Ciwangi juga tidak kalah ramainya, pedagang kaki lima yang
berjajar di depan pertokokan sibuk melayani para pembeli yang bersemangat. Mata
saya seperti tidak pernah kehilangan pamandangan para Ababil yang berdandan
gaya dan sepertinya wangi karena berlumuran deodorant dan farfume.
Lalu lintas
kendaraan macet, klakson bersahut-sahutan, sementara para kusir delman dan
tunggangannya berjajar di depan kantor pajak menunggu para pengguna jasa. Lapangan
Merdeka selintas seperti Gaziboo Bandung yang sulit untuk membedakan mana yang
murni berolah raga, dan mana yang sekedar cuci mata.
Kuping saya digoda oleh suara
hingar-bingar dari arah Gedung Merdeka yang berada di pinggir lapangan, rupanya
anak-anak Ska sedang konser kecil-kecilan. Kau akan yakin dengan hanya melihat baju
pantai dan celana kotak-kotak serta topi macam copet, bahwa yang di dalam
gedung itu adalah mereka para penikmat musik yang sealiran dengan Noin Bullet,
JFGF, Tipe-X, Save Ferris, dan sebuah band yang pernah menyanyikan lagu “Tiger
Clan”.
Saya
berjalan ke bawah, menuju ke arah jalan Ahmad Yani, dan MasyaAllah ramai
sekali. Di sepanjang trotoar orang-orang asyik bertransaksi, yang kasihan para
penjual uang kuno yang sangat jarang di datangi peminat. Uang-uang bergambar
orang-orang nomor wahid di masanya itu seperti museum kecil tempat anak-anak SD
belajar IPS. Para penjualnya seperti tokoh-tokoh pinggiran dalam komik yang
setia dengan air muka yang muram.
Obral, Cuci Gudang, dan Discount di
mana-mana. Matahari dan Ramayana penuh sesak. Ini bulan apa sih? Kok seperti
mau lebaran? Sekarang kan masih Juli. Saya yakin lebaran masih jauh, sebab
tidak ada pasar tumpah yang sering menyerupai terowongan dan di dalamnya sangat
gerah.
Saya melihat jam yang menempel setia di lengan sebelah kiri, dan Astaghfirullah: saya belum sholat ashar! Setelah menyelesaikan empat rakaat di Mesjid
Agung, lalu saya semacam membuat rencana untuk jalan-jalan dulu ke Gramedia,
tapi dengan cepat saya sadar bahwa sekarang saya tidak sedang di Bogor, tapi di
Sukabumi.
Ah, lebih baik ke Gunung Agung saja, tapi Gunung Gede yang berkabut
di Utara dengan gagah menyindir saya bahwa Sukabumi belum layak disinggahi oleh
toko buku-toko buku besar seperti mereka. Oh, saya jadi teringat Toko Mas Ayu
yang menjual kitab kuning dan buku-buku agama yang jumlahnya sangat sedikit,
tapi lihatlah saya malas sekali untuk pergi ke sana. Akhirnya saya menghentikan
kembali angkot nomor 14 dan meluncur ke Kebonjati. Saya merasa lelah lalu
tertidur.
***
Bung
Herlan Balon Zaelani, Bung Ardy Boyo, dan Bung Aditia Bolor Heriyadi sudah
menjadi guru yang banyak muridnya, dan hei saya juga kayaknya punya kawan waktu
di kelas 2-4 yang sekarang sudah menjadi dosen, siapa sih namanya? Oh mungkin
Sisti, ketika saya pada suatu hari yang hangat datang lagi ke Sukabumi. Pusat
perbelanjaan sudah semakin banyak dan ramai. KFC, Mc Donald, dan Pizza Hut
sudah mulai menjajah perut orang-orang.
Tentu saya belum lupa, tahun sedang
2009 waktu saya datang ke SCAPA untuk makan gratis di pernikahan seorang kawan
yang kerja di Balikpapan. Pulang dari Bhayangkara tentu saja saya melewati jalan
Siliwangi, di pertigaan yang dulunya ada Radio NBS FM, lalu diganti dengan
Grapari, lalu sekarang entah diganti oleh apa, mata saya menangkap ruko yang berjajar dan bagus-bagus, lalu di
depan BNI terlihat semacam ada supermarket. Dulu di pertigaan itu agak sepi,
dan ada sebuah rumah tua bercat hijau suram yang berdiri di tengah tanah kosong
yang tak terurus dan kotor, sedikit menyeramkan karena terlihat bagai tempat
untuk membuang anak jin, di bekas tanah kosong itulah ruko-ruko itu kini berdiri.
Sekarang
kau harus mencoba berjalan dari Yogya menuju ke arah MY, nanti di sebelah kiri
jalan akan kau temui sebuah toko buku yang namanya saya lupa lagi, tapi yang jelas
tidak jauh dari McD. Saya pernah tiga kali membeli buku di sana: yang pertama Di Tepi Kali Bekasi karangan Pramoedya Ananta Toer, Orang Jawa Naik Haji dan Umroh karya
Danarto, dan Berhenti Sejenak karya Bayu Gautama.
Pengunjungnya bisa dihitung
dengan jari, dan para karyawannya banyak yang mempunyai sorot mata yang kurang
bersemangat, mungkin karena tokonya sepi.
Kau pasti tidak tahu ketika pulang dari toko buku itu tiba-tiba perut
saya minta isi, lalu tercium aroma ayam goreng tepung dari franchise USA, oh
tapi rupanya tempat duduk sudah penuh dan yang antri masih banyak, saya putar
haluan menuju tukang mie ayam.
Siang
itu, waktu saya makan mie ayam itu, tidak pernah terlintas sedikit pun di benak
saya bahwa pada tanggal 9 Mei 2010, waktu itu hari sedang Ahad, Fikri mengirimkan
sebuah pesan yang menyebabkan ponsel saya berbunyi secara tiba-tiba:
“Fan, saya jadinya mau buka perpustakaan teh
di Sukabumi, sekalian nemenin ortu dan ada UMMI yang masih kekurangan bahan bacaan, kayaknya peluang banget tuh,
boleh ga bukunya saya bawa ke Sukabumi?”
Ini adalah sebuah pertanyaan yang
sangat mudah untuk di jawab: “Mangga Fik,
candak we ka Sukabumi, kayaknya di Bandung juga sudah terlalu banyak yang
terjun ke dunia buku.”
Saya
tidak sedang bermimpi kalau mengharapkan Fikri akhirnya berhasil dengan proyek
idealismenya itu. Juga tidak sedang berangan-angan kalau kawan-kawan yang sudah
menjadi guru atau dosen di Sukabumi ikut mendukung gerakan budaya baca dan
tulis tersebut.
Kau pasti tahu kenapa sebabnya ekskul HP3 lebih tidak diminati
daripada Basket, Epigonen, Paskibra, ataupun Tarung Drajat? Ya karena buku
tidak pernah memberikan keramaian dan hingar bingar di luar, tapi dia selalu
menawarkan pemikiran ke dalam dan fantasi, dan stigma sudah dari dulu menjadi
pakaian resmi para “kutubuku”. Oh sudah malam, sudah waktunya memadamkan bara
yang menyala seharian, lagu Efek Rumah Kaca terdengar perlahan dari radio :
“Karena
seriap lembarnya, mengalir berjuta cahaya
karena setiap aksara membuka jendela dunia
kata demi kata mengantarkan fantasi
habis sudah, habis sudah
bait demi bait pemicu anestesi
hangus sudah, hangus sudah
karena setiap abunya membangkitkan dendam yang reda
karena setiap dendamnya menumbuhkan hasutan baka.” [ ]
No comments:
Post a Comment