Memungut detik demi detik
Merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari, kita lupa untuk apa.”
(Sapardi Djoko Damono)
***
Pulang senantiasa berkaitan dengan perjalanan atau
bepergian. Dan perjalanan mempunyai wilayahnya masing-masing. Jika perjalanan
berlain-lainan maka pulang pun mempunyai tempatnya sendiri yang berbeda-beda. Tapi
kata pulang selalu identik dengan kedamaian, selalu berjejalin dengan rasa
damai yang mula-mula, dan selalu menyiratkan kejujuran yang sejati, di mana
segala kepalsuan diistirahatkan di sini.
Karena hidup adalah sebuah perjalanan, maka kematian adalah
kepulangan kita kepada Tuhan, kepada Dia yang menghembuskan hidup pada jasad
kita. Karena manusia berasal dari saripati tanah, maka seharusnya dengan tanah
pulalah raga ini menyatu kembali. Nanti suatu saat tubuh ini akan dimasukkan
pada liang sempit kuburan untuk kembali pulang. Di hadapan Tuhan tidak ada lagi
yang bisa dipalsukan, semuanya akan terbuka secara nyata dan kita tidak bisa
lagi “main mata”. Seharusnya kepulangan kita kepada Tuhan memberikan kedamaian,
tapi perjalanan kita selama hidup mengubah keadaan, karena setiap pekerjaan
akan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam kehidupan sekarang keluarga seringkali ditinggalkan.
Kita terlalu disibukkan dengan pencarian tempat-tempat berteduh yang baru. Kemudian
keluarga ditinggalkan, padahal di sanalah ayunan pertama bayi kemanusiaan
dirawat. Di lembaga kehidupan itu kita mula-mula terlindungi dari terik dan
lebatnya pergaulan hidup. Seorang anak tidak jarang lari dari keluarganya
karena merasa tidak puas dengan kondisi yang ada, atau mungkin juga
“berpetualang” yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Seorang anak seringkali
merasa telah dewasa dan kemudian melupakan keluarganya. Padahal nanti jika
pergaulan hidup dirasanya terlalu berat dan angkuh, dia akan mencari jalan
pulang untuk kembali ke pangkuan keluarganya. Dan keluarga hampir selalu akan
memberikan kedamaian selama lembaga kehidupan itu belum hancur.
Kenyataannya sekarang lembaga kehidupan itu banyak yang
hancur. Suami-istri banyak yang bercerai karena masing-masing dari mereka sudah
lupa pada janji setia. Pernikahan awalnya diagung-agungkan, tapi kemudian
mereka ludahi sendiri komitmen itu. Masing-masing merasa benar sendiri, padahal
dulu mereka berjanji akan setia sehidup semati. Mungkin komitmen bersama dan
sebuah hubungan punya masa kadaluarsanya, tapi itu berlaku pada anak-anak yang
mereka hasilkan bersama. Sementara orangtuanya sibuk mengurus harta gono-gini,
anak-anaknya dengan sepenuh cemas menanti dan berharap agar cahaya damai
keluarga itu redup.
Begitu juga dengan persahabatan. Manusia bisa saja sering
bongkar-pasang hubungan dengan pasangannya masing-masing, tapi mereka akan
tetap abadi dengan sahabatnya. Di mana-mana persahabatan dibangun dengan
kesejatian kecuali jika manusianya oportunis, bermental penyempat, dan licik. Persahabatan
sejati adalah yang dibangun tanpa pretense materi, infiltrasi, dan gengsi.
Tuhan, keluarga, dan sahabat adalah tempat pulang manusia
kepada kedamaian. Sedangkan tempat pulang dalam diri adalah hati, dan kita
selalu lalai untuk menjaganya. [irf]
No comments:
Post a Comment