Akan selalu ada jalan setapak
untuk disusuri, menunggu siapa saja yang akan kembali. Liku-likunya senantiasa
menuntun setiap jiwa yang berjalan ke sana, ke sebuah tempat di mana kedamaian seringkali
bersemayam. Menanti mereka yang merindukan pulang.
***
Asan telah memenangkan
pertarungannya. Dia telah berhasil membunuh sedikit rasa ragu yang sempat
hadir. Abi dan Ummi akhirnya melepaskan juga : dia berlayar lagi. Setelah
melewati rupa-rupa birokrasi kenegaraan demi bisa melewati garis batas antar
negeri, Asan akhirnya sudah siap dengan bekal beberapa koper yang disesaki : terutama
oleh harapan. Ya, dia masih punya harapan itu, sebab manusia tanpa harapan
adalah mayat berjalan. Dia tinggalkan lagi manusia-manusia yang dicintainya, hangat
suasana keluarga, pertemuan singkat dengan beberapa kawan lama, juga berkerat-kerat
pengalaman yang bertabur rasa : pahit, manis, kecewa, dan sesak. “Terimakasih,
karena dengan itu, pengalamanku semakin kaya saja,” demikian gumamnya.
Barangkali Asan sudah imun dengan
yang namanya perpisahan. Dia telah menjalani semuanya : perpisahan dengan hujan
tatapan kekhawatiran, atau bahkan perpisahan yang dilakukan sendirian, tanpa
peluk cium orang-orang tercinta, tanpa lambaian tangan, tanpa jabat tangan yang
menandai bahwa perpisahan itu telah terjadi. Asan telah melewati perpisahan
yang paling sepi. Di langit Jakarta yang kelabu itu, Asan tak berminat melihat
ke bawah, ke centang perenang kawasan semrawut ibukota, tempat bermukim para
perampok uang negara. Asan melaju dengan deru burung besi, dia melesat
meninggalkan sebagian sejarahnya yang tercecer di bawah.
Di depan, di tempat yang tengah
dituju, dia akan menjalani lagi semuanya. Bertemu lagi dengan semesta dapur,
gelombang, orang-orang asing lintas bangsa, dan sesekali menerima hujan mata
uang asing dengan kurs berlipat-lipat lebih tinggi daripada rupiah yang tertatih-tatih
penuh payah. Asan, dengan nadi yang masih berdenyut, darah yang masih mengalir
di pembuluh dan arteri, nafas yang semakin tak terhitung, dan harapan yang
tumpang tindih : bekerja kembali, memulai lagi apa yang dulu pernah diakhirinya.
***
Dan waktu berlesatan laksana
cahaya dhuha yang dijemput terik siang. Detik, menit, jam, hari, minggu, dan
bulan tercecer di belakang, meninggalkan siapa saja yang tak pernah benar-benar
menghargai arus waktu yang tak pernah bisa difosilkan. Ya, waktu mengulang
dirinya setepat-tepatnya. Semua yang telah terjadi, kadang-kadang tak pernah
disadari bahwa semuanya akan terulang dalam selubung waktu yang bernama dejavu,
atau jadwal yang rotasinya laksana perputaran jarum jam. Asan kembali merasa
rindu. Semuanya bisa terdeteksi dari catatan-catatan kecil yang dia lempar di
dunia digital jejaring social. Dia seperti sedang meresapi sisi humanisnya :
1. Edun awak geus cape kieu, hayang geura balik
vacation, "lelah menghitung hari"..... sabar-sabar, 20 days to go
home ...... home sweet home !!!!!!!!!.
2. Dua minggu menjelang pulang,
waaaaaaaaaaaaaaaaaa, sabar,sabar,sabar, shopping, shopping, shoping. Teu karasa
ieu tas opat geus pinuh kieu masih acan ka asup keun keneh ieu barang.
3. 9 hari lagi menuju Indonesia. Packing,
packing, mudik, mudik, pulang kampung he he he Alhamdulillah bisa puasa and Ied
Mubaraq with my family.
4. Menghitung hari menuju tanah air,
walaupun tak ada seseorang yang menungguku di sana, aku punya keluarga,
teman-temanku yang senantiasa menungguku selalu.
Ternyata setelah berkali-kali dan
bertahun-tahun dihantam gelombang samudera yang luas dan ganas, Asan tetaplah
dia. Juga setelah beberapakali mengalami kegagalan di wilayah perasaan, Asan
tetap tak bergeming, dia masih diterangi cahaya optimis dan keceriaan, walaupun
waktu membaca yang poin empat, ada sedikit rasa getir yang menyelusup. Jejentik
jam terus berputar, perlengkapan dapur terus berbunyi, kapal terus melaju di
mahaluas samudera biru, dan Asan terus menghitung waktu, countdown.
Dalam denyut nadi yang larut
beserta menu, hidangan, minuman, seragam putih, dan bumbu, Asan senantiasa rajin merawat jiwa, atau
setidaknya menyambangi sisi terdalamnya itu. Beberapakali dia melontar rangkaian diksi beraroma
guru kebijakan, tapi sepertinya bukan untuk menggurui, tapi lebih kepada
menasehati dirinya sendiri. Dengan kata-katanya dia seperti sedang berdiri di
depan sebuah cermin besar, dan bertemu dengan kembarannya. Ya, dia menutrisi
jiwa dan kesadarannya :
1. Jadilah seperti akar yang rajin
mencari air, menembus
tanah yang keras demi sebatang Pohon agar dapat hidup. Ketika pohon itu tumbuh
berbunga indah, menampilkan elok pada dunia dan mendapatkan pujian, akar tak
pernah iri hati, dia tetap sembunyi dalam tanah. Itulah makna dari sebuah
"KETULUSAN dan KEIKHLASAN".
2. Dalam suatu kesempatan hidup hanya sekali. Dosa janganlah ditambah lagi. Amal janganlah dikurangi.
Cinta janganlah dibagi. Gugur bunga karena layu. Gugur iman karena nafsu.
Bertaubat karena berdosa. Bersihkan hati sucikan jiwamu. Sholatlah lima waktu.
Yang wajib tunaikan dahulu. Yang sunah menyusul selalu.
3. Life will only come once, so make
the most out of it. God didn't give us all things to enjoy life, but life to
enjoy all things. A journey of a thousand miles begins with a single step.
Mistakes are not intended to drown us; rather, they make us stronger.
***
Lalu tibalah hari itu. Dan memang
sangat melelahkan. Kurang tidur karena takut kesiangan di imigrasi, Delay flight
di Orlando, was-was takut ketingglan pesawat di Dallas, antrian panjang di LA,
meluncur ke Hongkong, dan perjalanan darat ke Sukabumi, ke tempat di mana
ari-arinya ditanam. Punggung dan tangannya dibebani semesta merek : Bvlgari,
Escada, Elizabeth Arden, DKNY, Hugo Boss, Calvin Kevin, dan entah apa lagi. Makhluk-makhluk
itu ikut menyusup pintu imigrasi, siap berpindah tangan kepada relasi-relasi
sosialnya.
Kini Asan berdiri di depan pintu
rumah, perlahan merasakan kembali suasana yang pernah dikenalnya. “Perasaan apa
ini?,” tanyanya. Tapi semua tidak perlu definisi. Cinta terlalu meluap, tumpah,
dari kedua orangtuanya yang setiap malam terjaga dalam do’a-do’a panjang demi keselamatannya.
Kemudian hari semakin temaram, langit Sukabumi beranjak menjadi hitam. Asan menghirup
dalam-dalam suasana keluarga. Dan ketika malam semakin larut, dia pergi ke
balkon di lantai atas. Dalam pekat langit yang hanya menyisakan beberapa kelip,
dia mulai mencoba melihat hari depan. Hari depan yang berjarak hanya dua bulan
lagi. “Akankah semuanya terus berulang?,” bisiknya. Tapi apa pun dan kemana
pun, dia akan selalu ingat jalan pulang. Asan tetap akan selalu merindukan
orang-orang yang dicintai. Samar, dia mencoba lagi mengingat sepenggal puisi
Rumi :
"Jauh melebihi apa yang benar dan
apa yang salah
Tersebutlah sebentang tanah
Aku akan menemuimu di sana." [ ]
---Dedicated to My friend : Ari Saptono
No comments:
Post a Comment