“Kalau dibandingkan dengan Pizza
Hut, kampus saya tidak ada apa-apanya. Tempat makan import itu jauh lebih
terkenal !”, dengan sedikit hujan lokal yang berhamburan karena semangat yang
meluap, Asan menjawab waktu saya tanya : “Hai San, di mana kau kuliah?”.
***
Asan duduk di balkon rumah,
langit malam tidak begitu bagus, hanya dua bintang dan sepotong bulan kelabu. Pikirannya
jauh melayang ke masalalu, dan sesekali menerobos bayangan masadepan. Cigarette
bungkus merah cap iklan kuda telah habis empat batang. RATM dan Bio Hazard sudah
dari tadi dibunuh, semenjak ibunya berteriak dari bawah : “Asaaan, apa yang kau
dengarkan itu?, macam musik orang gila ?!!, gantilah sama yang slow!”. Tak lama
musik pun berganti, liriknya terasa syahdu, Bang Iwan memecah hening malam :
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh /
lewati ringtangan untuk aku anakmu / ibuku sayang masih terus berjalan / walau
tapak kaki penuh darah penuh nanah / seperti udara kasih yang engkau berikan / tak mampu ku membalas / ibu
/ ibu”.
Pengganti yang cocok, karena suara ibu tak terdengar protes lagi,
mengkin beliau merasa haru mendengarkan lirik itu. Asan membakar lagi cigarette
tanpa cengkih, lalu menghembuskan nafas dengan syahdu. Entah kenapa selepas
maghrib perasaannya tak karuan, dada terasa hampa, dan kenangan berlintasan di
benaknya, seperti hujan meteor yang membedaki langit malam.
Sudah lima tahun dia dibantai
samudera maha luas, terombang-ambing di gelombang dahsyat, dan selama itu juga
dia tak pernah berlebaran di rumah. Mungkin kata “rindu keluarga” sudah dihapus
dari kamus hidupnya, seorang pengembara harus siap merasa terbuang dan terasing
dengan mental sekuat baja. Tapi entah lebaran tahun berapa, dia sempat sholat
Idul Fitri di Dubai, hatinya gerimis tak kuat menahan rindu kepada kampung
halaman, sementara pemandangan terdekatnya hanya debu pasir yang beterbangan
dan sekelompok unta yang ia kagumi. Asan menghela nafas lagi, terlihat seekor
cika-cika terbang rendah di hadapannya. Kelip cahaya dari makhluk kecil itu terlihat
seperti marcusuar setiap kali dia merapat ke dermaga. Pikirannya terus perlahan
berjalan mundur…. : menjadi tukang masak di Hotel milik orang Tionghoa, menjadi
Popeye si Pelaut, hijrah ke Dubai, menjadi jongos di sebuah hotel di jalan Pasteur,
kuliah setahun di kampus tidak terkenal, dan sekolah bersama kawan-kawan
berseragam putih abu-abu. Tampak kilasan-kilasan kejadilan berjejalin di
tempurung kepalanya….. : rasanya baru kemarin dia bernyanyi dengan mata
pura-pura buta membawakan lagu “Wakil Rakyat”, atau ditampar senior kelas 3
yang ternyata adalah kawan dan tetangganya sendiri, atau menaksir perempuan
tinggi semampai yang tak berhasil dia rayu, atau diceburkan ke kolam tempat
berkembang biak kodok waktu dia sedang puasa, atau berantem dengan orang Yahudi
dan India, atau bertemu kawan SMA waktu jalan-jalan di Dubai, atau erang
kesakitan waktu tulang belakangnya bermasalah karena menahan beban wajan
raksasa …atau...atau…masih banyak lagi kenangan-kenangan yang berkejaran di
benaknya. Kejadian-kejadian itu bermunculan seperti tunas di musim hujan.
Di usianya yang sudah kepala dua,
dan perlahan beranjak menuju kepala tiga, sudah banyak betul peristiwa yang
dialaminya, dari yang manis macam madu odeng sampai yang pahit bagai buah
mahoni. Sekali waktu pernah saya bercakap-cakap dengannya di sebuah pelataran
mesjid, lalu lewatlah seorang pemuda di depan kami dengan jalan gontai dan muka
layu seperti tissue jatuh ke air. Dengan gerakan secepat angin musim kemarau,
Asan menghampiri pemuda layu itu. Setelah tanya-tanya sedikit, nyatalah bahwa
pemuda itu baru saja dikutuk cinta, dan hatinya remuk redam, dia datang ke
mesjid untuk mencoba menenangkan rusuh hatinya. Asan menepuk pundak pemuda itu
seperti seorang bijak yang sudah kenyang oleh pengalaman, dengan wajah
dikondisikan temaram, dia berkata : “Hai Bang, tak usahlah Abang kenangkan
cinta yang sudah lalu itu, hanya akan menambah sakit dan rusuh hati saja. Kita
orang semuanya pernah sakit hati Bang, saya pun begitu. Saya pernah melamar
kerja di sebuah perusahaan travel, tahukah Abang apa yang terjadi dengan surat
lamaran saya?, surat yang saya buat dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati itu
tak dilihat sedikit pun, dia langsung dibuang ke tong sampah di depan mata
kepala saya sendiri!. Jadi Abang, segeralah benahi hati, masih banyak hal lain
yang harus dipenuhi haknya. Abang tentu familiar dengan lagunya Aa Gym bukan??”.
Setelah menepuk pundak pemuda itu untuk yang terakhir kali, Asan kembali lagi
ke tempat saya duduk dan percakapan kami lanjutkan.
Malam terus beranjak, sudah pukul
22.47, lampu rumah tetangga sudah banyak yang padam, menandakan penghuninya
sudah siap memadamkan bara yang menyala seharian. Nanggeleng mulai senyap, yang
tersisa hanya angin, asap rokok produksi Philip Morris, kopi hitam, suara Bang
Iwan, dan pikirannya yang masih belum mau istirahat. Suara ibunya seolah-olah
masih terdengar dengan jelas, suara itu seperti seekor lege yang terperangkap
ke dalam botol, dan tidak bisa keluar lagi : berputar-putar dan berdengung. Tadi
sore selepas mandi, Asan menghadap Ibu dan Bapaknya. Tekadnya sudah bulat : dia
akan berlayar lagi. Dengan kata-kata yang sengaja dipilih dengan ekstra
hati-hati, Asan dengan gaya gemulai menyampaikan maksudnya : “Umi dan Abi yang Asan
cintai dan hormati, sudah Asan timbang-timbang betul dengan masak. Setelah
melewati beberapa purnama, dua kali lebaran, dan satu kali patah hati…(Asan
terdiam sebentar, kata-katanya terhenti, lalu menarik nafas), bukannya Asan tak
mau berdekat-dekat dengan Umi dan Abi, juga dengan adik-adik tercinta, bukan
pula maksud Asan hendak membuang diri karena patah hati, tapi hati Asan sudah
condong untuk kembali ke sana, kembali berlayar ke laut lepas, kembali
mengarungi samudera maha luas. Asan harap kiranya Umi dan Abi memberi izin dan
do’a restu, agar jiwa anakmu ini tenteram meskipun diamuk badai lautan”.
Sebelum Asan melanjutkan
kata-kata, Ibunya langsung menjawab, sendu mendayu-dayu seumpama “Rayuan Pulau
Kelapa” dari RRI : “Asan, mimpi apa kiranya Umi semalam?, sampai begini rupa
Umi mendapat permintaan dari kau. Baru dua lebaran kau ada di dekat Umi, Abi,
dan adik-adikmu yang beranjak dewasa, belum sembuh benar punggungmu itu,
sekarang kau sudah mau pergi lagi meninggalkan kami semua?. Apalagi yang kau
cari San?. Umi terkadang tak habis pikir, rumah sudah kau punya, kendaraan
sudah kau dapat, pekerjaan sudah pula kau punya, lalu sekarang kau mau berlayar
lagi?!, mau cari apa lagi San?. Apa kau tidak pernah lihat kawan-kawanmu?,
mereka sudah pada punya anak yang lucu-lucu dan bini yang cantik-cantik pula. Apa
kau tidak mau hidup seperti mereka?, mau sampai kapan kau hidup membujang?, tak
kasihan kau sama Umi, sudah lama betul Umi ingin menimang seorang cucu. Baiknya
kau timbang-timbang lagi niatmu itu, jangan sampai kau menyesal di kemudian
hari”. Sementara bapaknya tak banyak cakap, beliau hanya memandang kosong ke
arah taplak meja yang berwarna biru dongker. Pandangannya menerawang seperti
sedang menebak-nebak isi hati anak sulungnya itu. Asan diam sejenak, pandangannya
semakin merunduk, lalu melanjutkan kata-katanya : “Tapi Umi….”, dia tidak bisa
melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya tercekat, lidahnya kelu, tiba-tiba
dia kehabisan kata-kata. “Tapi apa Asan?”, ibunya bertanya menyelidik. “Tidak
Umi, baiklah akan Asan renungkan lagi hal ini”. Dia kemudian mohon diri, lalu
pergi ke kamarnya di lantai dua, lalu keluar dan duduk di balkon.
Sebenarnya Asan bukanlah seorang
perenung, apalagi sendirian di gelap malam, bukan, bukan seperti itu dia
dibesarkan, dia adalah seorang yang penuh ceria hidupnya, semangatnya selalu
berbinar-binar, dan diam dengan kecamuk pikiran jarang sekali dia lakukan. Tapi
malam ini, di tengah kesendiriannya, Asan seperti terlahir sebagai seorang yang
baru, seorang yang tengah dihujani banyak lintasan perasaan dan pikiran. Kemarin
sore dia bertemu dengan si Ipes, dan sepotong khotbah dia terima : “San,
motivasi dan keinginan orang itu cuma dua macam : pertama, praktis dan
pragmatis, dan kedua, rumit bagai lorong labirin. Nah kau termasuk yang mana
San?, kau selidikilah sendiri”.
Sementara Bang Iwan masih setia
bernyanyi, suaranya semakin jernih dan pelan, kata-katanya menerobos gelap
malam dan kecamuk dalam diri Asan :
“Memetik gitar dan bernyanyi
Pada
waktu tak bertepi
Di atas langit di bawah tanah
Di hembus angin terseret
arus
Untuk saudara tercinta
Untuk Jiwa yang terluka
Tengah lagu suaraku
hilang
Sebab hari semakin bising
Hanya bunyi peluru di udara
Gantikan denting gitarku
Mengoyak paksa nurani
Jauhkan jarak pandangku
Bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta
Walau aku tahu tak terdengar
Jariku menari tetap takkan berhenti
Sampai wajah tak murung lagi
Amarah sempat dalam dada
Namun akalku
menerkam
Kubernyanyi di matahari
Kupetik gitar di rembulan
Di balik bening mata air
Tak pernah ada air mata”. [ ]
No comments:
Post a Comment