Oleh : Bre Redana
Makin tak berpikir, makin lempang jalan. Pelibatan mendalam
pada proses kehidupan, termasuk di dalamnya pelibatan proses pemikiran,
makin tersingkir oleh segala hal yang sifatnya praktis, teknis,
bersifat seketika. Orang kian malas berpikir.
Kalau mau
film laku, bikin film yang tak usah berpikir. Makin berpikir, makin tak
laku. Itu diucapkan teman yang beberapa kali membiayai pembuatan
film—dimaksudkan sebagai film bermutu—akhirnya menjadi film kurang
laku. Kalah oleh film-film hantu, kuntilanak, pocong dengan segala
versinya dari yang keramas sampai kesurupan. Sudah hantu, kesurupan
pula.
Anda silakan memaparkan sendiri indikasi-indikasi
gejala keengganan berpikir itu. Museum-museum dan gedung-gedung tua di
Indonesia merana. Dalam kondisi demikian, yang ditampilkan oleh
televisi kemudian bukan paparan nilai kebudayaan dan historis
situs-situs itu, melainkan hantu-hantu yang bergentayangan di dalamnya.
Penjaga dan juru kunci diwawancarai pernah melihat apa saja. Diajak
pelacak, yang bersedia kesurupan. Mengaum-ngaum seperti harimau.
Menggelikan dan menyedihkan.
Sisi lain dari keengganan
keseriusan berpikir itu adalah keterasingan pada proses. Proses tidak
ada. Yang dibutuhkan jalan pintas, menuju ujung yang dikriteriakan
dengan berbagai sebutan: target, result, sukses.
Karena
kehidupan memang tak dipahami sebagai proses terus-menerus sebagai
upaya pemuliaan diri, maka diringkaslah yang disebut sukses secara
sederhana. Seorang penyanyi disambut guru-guru, kepala sekolah,
teman-teman, ketika si penyanyi kembali ke sekolah lamanya di Sukabumi.
Ia dianggap telah ”sukses”. Pertanda ”sukses” adalah rambut dan kuku
yang terawat, cincin berlian, tas Hermes, sepatu berhak tinggi berbeda
dibanding sepatu sandal mantan gurunya yang umumnya telah lusuh kulitnya
karena kebanyakan dipakai.
Sambutan meriah seperti
sambutan terhadap perdana menteri. It takes two to tango—dibutuhkan
kerja sama dua pihak agar tarian tango bisa berjalan. Sang bintang dan
media perlu sensasi, masyarakat sendiri gampang silau dan gumun
terhadap sesuatu yang gemebyar.
Dangkal
Sejumlah
orang memaklumkan gejala itu sebagai perubahan zaman. Perubahan yang
dikarenakan perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Zaman
berubah kian pesat dari waktu ke waktu. Dari era revolusi pertanian ke
era revolusi industri memakan waktu 8.000 tahun. Dari revolusi industri
ke lahirnya bola lampu cuma 120 tahun. Dari lahirnya bola lampu sampai
orang konon menginjak bulan 90 tahun. Dari masa menginjak bulan sampai
ke jaringan web 22 tahun. Selanjutnya, dari Google sampai ke Ipod,
jaraknya makin pendek dan makin pendek. Rasanya, tak ada umur yang lebih
pendek, dari masa depan.
Buku, kertas, adakah akan
segera menjadi masa lalu? Kebiasaan membaca secara linier—untuk
membedakan membaca secara hiperteks seperti kalau Anda scrolling
membaca di layar komputer—segera akan ditinggalkan. Meskipun, seperti
ditunjukkan Nicholas Carr lewat berbagai penelitian dalam bukunya The
Shallows, daya serap membaca secara linier ternyata jauh lebih tinggi
daripada membaca secara hiperteks.
Ada pengalaman
ditunjukkan di situ, misalnya dengan pengalaman seseorang membaca karya
Charles Dickens berjudul Nicholas Nickleby lewat layar komputer. Meski
pertama-tama pembaca ini agak kikuk dengan layar dan harus scrolling
setiap kali ganti halaman, lama-lama ia terbiasa juga. Hanya saja, ia
tak bisa menahan keresahan matanya, untuk meloncat ke sana-kemari
dengan cursor-nya. Ia meloncat ke link lain, membaca yang lain, lupa
bab yang dibaca sebelumnya. Perhatian dan konsentrasi tak bisa berada
dalam satu titik. Selalu melompat, sedikit di sana, sedikit di sini.
Pengalaman-pengalaman seperti itu yang dipaparkan Carr sampai ke judul
buku yang merupakan hipotesisnya mengenai masyarakat masa kini:
dangkal.
”Singularity”
Soal
pendangkalan ini berjalan seiring proses komodifikasi terhadap segala
macam hal, dari pengetahuan sampai spiritualisme. Anda tinggal melihat
toko-toko buku untuk melihat buku-buku apa saja yang digolongkan
sebagai buku laris, best seller. Paling banyak adalah buku
berkategorisasi ”how to” atau ”bagaimana untuk”, yang pendeknya
merupakan petunjuk praktis bagi seseorang untuk sukses jadi tenaga
pemasar, jadi penulis, jadi pegawai yang menyenangkan bos, jadi orang
micara alias pinter ngomong, jadi istri yang baik (dalam sistem
patriakal), dan lain-lain. Saya yakin kalau Kafka atau Milan Kundera
baru sekarang pertama kali menerbitkan karya, mereka tidak akan pernah
besar, terlindas oleh gelombang histeria orang membaca Harry Potter.
Telah
lahir budaya kemasan. Segala sesuatu dikemas, dibikin praktis, seperti
obat mujarab. Tak perlu berlama-lama bergaul dengan proses. Obat
mujarab itu cespleng membawa orang segera sampai ke tujuan. Cara cari
uang yang cepat bagaimana, lalu cara belanja yang cerdas bagaimana, dan
seterusnya.
Kalau kebutuhan fisik sudah tercukupi dan
ada keresahan batin, paket-paket spiritualisme telah tersedia. Banyak.
Dari hipnoterapi, yoga, meditasi, sampai ke kuasi-agama, yang
menjanjikan surga dengan iuran beberapa juta rupiah. Stres masyarakat
kota besar, dengan secara khusus dikarenakan kemacetan lalu lintas dan
secara umum kemacetan kebudayaan, bisa dijawab dengan meditasi warisan
gerakan new age tahun 1960-an, zaman Julia Kristeva masih muda.
Metode-metode yang sebenarnya membawa ke relaksasi, dikira orang
sebagai ketenangan batin. Tak apa. Uang-uang Anda sendiri silakan
belanja apa yang dibutuhkan, dari tas, sepatu, sampai spiritualitas.
Masa
depan kemanusiaan macam apa yang bisa diproyeksikan dari keadaan
seperti ini? Majalah Time pernah membikin laporan panjang tentang
Raymond Kurzweil. Pada tahun 1965, Kurzweil masih SMA, ketika ia muncul
di acara televisi di Amerika dalam acara tebak-tebakan. Seorang bekas
ratu kecantikan dan seorang komedian disuruh menebak apa yang dimainkan
oleh Kurzweil dengan pianonya. Dengan cecaran pertanyaan, sang
komedian bisa menebak: Kurzweil memainkan musik yang dikomposisikan
dari komputer.
Waktu itu, 46 tahun lalu, tak ada yang
membayangkan bahwa menciptakan karya seni—sesuatu yang seolah hanya
bisa diciptakan oleh kepekaan manusia—bisa diambil alih oleh teknologi.
Kini, kita sudah hidup di lingkungan di mana semua bisa dipecahkan
oleh komputer. Kurzweil sendiri berada di garda depan, dengan berbagai
eksperimen berikut kepercayaan bahwa pada masanya komputer akan
mencapai kecerdasan melebihi intelegensi manusia. Teknologi akan
mentransformasikan spesies kita ini menjadi sesuatu yang tak bisa
dikenal atau dibayangkan oleh manusia circa 2011. Transformasi itu
disebut sebagai singularity. Bersinggungan dengan tubuh manusia sebagai
instrumen, bukan tidak mungkin—begitu kepercayaan para singularitarian
ini—nantinya kecerdasan komputer bisa memecahkan masalah mortalitas
manusia. Manusia menjadi imortal, hidup selamanya.
Bersamaan
dengan itu, berakhir riwayat sivilisasi manusia. Kapan masa itu tiba?
Menurut kalkulasi Kurzweil, sekitar 35 tahun ke depan.
Saya tidak percaya akan ramal-meramal. Saya semata-mata percaya pada kerja, pada setiap detail dari yang namanya proses. [ ]
No comments:
Post a Comment