09 September 2012

Aku Tak Berpikir, Maka Aku Ada

Oleh : Bre Redana

Makin tak berpikir, makin lempang jalan. Pelibatan mendalam pada proses kehidupan, termasuk di dalamnya pelibatan proses pemikiran, makin tersingkir oleh segala hal yang sifatnya praktis, teknis, bersifat seketika. Orang kian malas berpikir.

Kalau mau film laku, bikin film yang tak usah berpikir. Makin berpikir, makin tak laku. Itu diucapkan teman yang beberapa kali membiayai pembuatan film—dimaksudkan sebagai film bermutu—akhirnya menjadi film kurang laku. Kalah oleh film-film hantu, kuntilanak, pocong dengan segala versinya dari yang keramas sampai kesurupan. Sudah hantu, kesurupan pula.

Anda silakan memaparkan sendiri indikasi-indikasi gejala keengganan berpikir itu. Museum-museum dan gedung-gedung tua di Indonesia merana. Dalam kondisi demikian, yang ditampilkan oleh televisi kemudian bukan paparan nilai kebudayaan dan historis situs-situs itu, melainkan hantu-hantu yang bergentayangan di dalamnya. Penjaga dan juru kunci diwawancarai pernah melihat apa saja. Diajak pelacak, yang bersedia kesurupan. Mengaum-ngaum seperti harimau. Menggelikan dan menyedihkan.

Sisi lain dari keengganan keseriusan berpikir itu adalah keterasingan pada proses. Proses tidak ada. Yang dibutuhkan jalan pintas, menuju ujung yang dikriteriakan dengan berbagai sebutan: target, result, sukses.

Karena kehidupan memang tak dipahami sebagai proses terus-menerus sebagai upaya pemuliaan diri, maka diringkaslah yang disebut sukses secara sederhana. Seorang penyanyi disambut guru-guru, kepala sekolah, teman-teman, ketika si penyanyi kembali ke sekolah lamanya di Sukabumi. Ia dianggap telah ”sukses”. Pertanda ”sukses” adalah rambut dan kuku yang terawat, cincin berlian, tas Hermes, sepatu berhak tinggi berbeda dibanding sepatu sandal mantan gurunya yang umumnya telah lusuh kulitnya karena kebanyakan dipakai.

Sambutan meriah seperti sambutan terhadap perdana menteri. It takes two to tango—dibutuhkan kerja sama dua pihak agar tarian tango bisa berjalan. Sang bintang dan media perlu sensasi, masyarakat sendiri gampang silau dan gumun terhadap sesuatu yang gemebyar.

Dangkal

Sejumlah orang memaklumkan gejala itu sebagai perubahan zaman. Perubahan yang dikarenakan perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Zaman berubah kian pesat dari waktu ke waktu. Dari era revolusi pertanian ke era revolusi industri memakan waktu 8.000 tahun. Dari revolusi industri ke lahirnya bola lampu cuma 120 tahun. Dari lahirnya bola lampu sampai orang konon menginjak bulan 90 tahun. Dari masa menginjak bulan sampai ke jaringan web 22 tahun. Selanjutnya, dari Google sampai ke Ipod, jaraknya makin pendek dan makin pendek. Rasanya, tak ada umur yang lebih pendek, dari masa depan.

Buku, kertas, adakah akan segera menjadi masa lalu? Kebiasaan membaca secara linier—untuk membedakan membaca secara hiperteks seperti kalau Anda scrolling membaca di layar komputer—segera akan ditinggalkan. Meskipun, seperti ditunjukkan Nicholas Carr lewat berbagai penelitian dalam bukunya The Shallows, daya serap membaca secara linier ternyata jauh lebih tinggi daripada membaca secara hiperteks.

Ada pengalaman ditunjukkan di situ, misalnya dengan pengalaman seseorang membaca karya Charles Dickens berjudul Nicholas Nickleby lewat layar komputer. Meski pertama-tama pembaca ini agak kikuk dengan layar dan harus scrolling setiap kali ganti halaman, lama-lama ia terbiasa juga. Hanya saja, ia tak bisa menahan keresahan matanya, untuk meloncat ke sana-kemari dengan cursor-nya. Ia meloncat ke link lain, membaca yang lain, lupa bab yang dibaca sebelumnya. Perhatian dan konsentrasi tak bisa berada dalam satu titik. Selalu melompat, sedikit di sana, sedikit di sini. Pengalaman-pengalaman seperti itu yang dipaparkan Carr sampai ke judul buku yang merupakan hipotesisnya mengenai masyarakat masa kini: dangkal.

”Singularity”

Soal pendangkalan ini berjalan seiring proses komodifikasi terhadap segala macam hal, dari pengetahuan sampai spiritualisme. Anda tinggal melihat toko-toko buku untuk melihat buku-buku apa saja yang digolongkan sebagai buku laris, best seller. Paling banyak adalah buku berkategorisasi ”how to” atau ”bagaimana untuk”, yang pendeknya merupakan petunjuk praktis bagi seseorang untuk sukses jadi tenaga pemasar, jadi penulis, jadi pegawai yang menyenangkan bos, jadi orang micara alias pinter ngomong, jadi istri yang baik (dalam sistem patriakal), dan lain-lain. Saya yakin kalau Kafka atau Milan Kundera baru sekarang pertama kali menerbitkan karya, mereka tidak akan pernah besar, terlindas oleh gelombang histeria orang membaca Harry Potter.

Telah lahir budaya kemasan. Segala sesuatu dikemas, dibikin praktis, seperti obat mujarab. Tak perlu berlama-lama bergaul dengan proses. Obat mujarab itu cespleng membawa orang segera sampai ke tujuan. Cara cari uang yang cepat bagaimana, lalu cara belanja yang cerdas bagaimana, dan seterusnya.

Kalau kebutuhan fisik sudah tercukupi dan ada keresahan batin, paket-paket spiritualisme telah tersedia. Banyak. Dari hipnoterapi, yoga, meditasi, sampai ke kuasi-agama, yang menjanjikan surga dengan iuran beberapa juta rupiah. Stres masyarakat kota besar, dengan secara khusus dikarenakan kemacetan lalu lintas dan secara umum kemacetan kebudayaan, bisa dijawab dengan meditasi warisan gerakan new age tahun 1960-an, zaman Julia Kristeva masih muda. Metode-metode yang sebenarnya membawa ke relaksasi, dikira orang sebagai ketenangan batin. Tak apa. Uang-uang Anda sendiri silakan belanja apa yang dibutuhkan, dari tas, sepatu, sampai spiritualitas.

Masa depan kemanusiaan macam apa yang bisa diproyeksikan dari keadaan seperti ini? Majalah Time pernah membikin laporan panjang tentang Raymond Kurzweil. Pada tahun 1965, Kurzweil masih SMA, ketika ia muncul di acara televisi di Amerika dalam acara tebak-tebakan. Seorang bekas ratu kecantikan dan seorang komedian disuruh menebak apa yang dimainkan oleh Kurzweil dengan pianonya. Dengan cecaran pertanyaan, sang komedian bisa menebak: Kurzweil memainkan musik yang dikomposisikan dari komputer.

Waktu itu, 46 tahun lalu, tak ada yang membayangkan bahwa menciptakan karya seni—sesuatu yang seolah hanya bisa diciptakan oleh kepekaan manusia—bisa diambil alih oleh teknologi. Kini, kita sudah hidup di lingkungan di mana semua bisa dipecahkan oleh komputer. Kurzweil sendiri berada di garda depan, dengan berbagai eksperimen berikut kepercayaan bahwa pada masanya komputer akan mencapai kecerdasan melebihi intelegensi manusia. Teknologi akan mentransformasikan spesies kita ini menjadi sesuatu yang tak bisa dikenal atau dibayangkan oleh manusia circa 2011. Transformasi itu disebut sebagai singularity. Bersinggungan dengan tubuh manusia sebagai instrumen, bukan tidak mungkin—begitu kepercayaan para singularitarian ini—nantinya kecerdasan komputer bisa memecahkan masalah mortalitas manusia. Manusia menjadi imortal, hidup selamanya.

Bersamaan dengan itu, berakhir riwayat sivilisasi manusia. Kapan masa itu tiba? Menurut kalkulasi Kurzweil, sekitar 35 tahun ke depan.

Saya tidak percaya akan ramal-meramal. Saya semata-mata percaya pada kerja, pada setiap detail dari yang namanya proses. [ ]

No comments: