Maka buat kami---atau barangkali buat saya---membakar
cigarette sambil menulis itu adalah salahsatu waktu terbaik yang membuat saya
betah berlama-lama di kamar. Kalau saja para pengusaha cigarette, terutama yang
raksasa macam Gudang Garam, Djarum, dan Philip Morris tahu kebiasaan saya ini,
bolehlah kiranya mereka membiayai pembuatan film yang di dalamnya banyak betul
adegan menghisap cigarette, dan meng-hire saya sebagai penulis skenarionya,
hmm..a nice dream. Tapi memang begitu bengal dan keras kepala saya ini---kawan
saya juga mungkin seperti itu, bahkan puisi Taufik Ismail yang berjudul “Tuhan
9 cm” pun tak mempan, apalagi khotbah tentang kesehatan dan kemiskinan, ah
omong kosong semua. Para penulis adalah
mereka yang kami hormati dan berada dalam kelompok strata pertama. Jika penulis
pun sudah tidak kami hiraukan, maka tak usahlah kau banyak berkhotbah di depan
kami.
Pecah kongsi adalah bukti bahwa saya dan dua orang kawan itu
adalah orang-orang yang tidak gampang ditaklukkan. Seperti kata Ernest Hemingway
dalam “The Old Man and The Sea” : Manusia bisa dihancurkan, tapi dia tidak bisa
ditaklukkan. Lama tidak bertemu, tapi saling mengintip di media online
masing-masing. Dan di sinilah kami sekarang, di sebuah kopi darat yang panas
oleh debat dan adu argument. Dari film
terbaru besutan Paul Thomas Anderson, inflasi sehabis lebaran, penyerangan
jamaah syiah di Sampang, ruang baca paling nyaman di Bandung, novel terbaru
Andrea Hirata, siapa penemu petasan, kode produksi cigarette di bungkus bagian
bawah, sampai panasnya suhu politik di Jakarta terkait dengan Pemilukada;
semaunya kami perdebatkan. Barangkali orang-orang akan menyebutnya hanya tindakan
konyol yang meributkan pepesan kosong, atau debat kusir yang mubazir, terserah,
kami tak punya urusan dengan mereka. Mereka menilai, silahkan, but we don’t
care!.
Tapi di atas itu semua, saya hantam kedua Bung yang batang
hidungnya terlihat sangat jelas itu dengan sebuah statement, bahwa ini adalah
pesta lisan yang harus ditulis!. Dan sebuah aklamasi kemudian menyusul :
“Setujuuu”, persis koor para wakil rakyat ketika masih zaman Orde Baru.
Kami tak banyak bacot dan ilfiltrasi mengenai tulang rusuk.
Tahu sama tahu saja. Urusan yang begitu tak perlulah dibawa-bawa ke meja debat
yang berasap oleh cigarette. Satu hal saja, dan ini pasti sebuah kebetulan; bahwa
tulang rusuk kami sama-sama si pemilik gigi rapi pagar kelurahan. Ini pasti
jasa behel. Tapi yang paling cantik memang Sigi---kedua Bung itu pasti
mengerutkan kening dan mendengus---, kurang apa coba?; rambut pendek,
berkacamata frame hitam, gemar memakai baju biru, dan amboi pintar betul,
terutama masalah film!. Saya tak berani sok tahu mengenai film di depan dia,
bisa dibantai habis-habisan soalnya. Wajar saja, dia lulusan cinematografi,
menjad kontributor di beberapa majalah film dan media online, juga aktif
menulis kritik film di salahsatu situs para pegiat film. Sesekali, dia diundang
ke festival film di luar negeri, entah sebagai apa kapasitasnya.
Maka tadi ketika kami membicarakan film terbaru garapan Paul
Thomas Anderson yang berjudul “The Master”, mereka, kedua Bung itu nyaris mati
kutu dan tak banyak berkicau. Mereka segan berdebat dengan saya, sebab di
belakang saya ada seorang kritikus film yang tulisannya sangat sengit dan
tajam. “Bung tentu lebih tahu daripada kami untuk soal film. Kami angkat topi,
bukan buat Bung, tapi buat tulang rusuk Bung yang berkacamata itu,” demikian
Bung Joni berkicau. Lihat, bukankah saya berada di bawah bayang-bayang Sigi?.
Saya seolah-olah menjadi epigon perempuan cantik itu. Tapi tak apa, no
problemo, sebab ini hanyalah masalah wawasan dan pengetahuan, bukan masalah
prinsip.
Dan tak usahlah saya ceritakan kisah absurd mereka dengan
tulung rusuknya masing-masing, sebab setiap kisah punya logika dan jalan
ceritanya masing-masing. Satu hal saja yang mesti dihindari, bahkan kalau perlu
dikutuk. Perlu ditegaskan; bahwa para pengkhianat, jalan pulang mereka, selamanya
adalah altar penyembelihan. Jangan sekalipun bicara tentang rekonsiliasi dengan
mereka, kecuali untuk kepentingan strategi demi menghancurkan titik kurang
ajarnya. “Jangan sombong, di atas kita sekarang langit. Di atas kita nanti
tanah!.”
Ini adalah hari kedua. Kopi darat yang memakan banyak
amunisi. Entah sudah berapa batang cigarette yang kami bakar. Tapi selama yang
dibakar itu adalah cigarette milik para pengusaha lokal, dan menggunakan
tembakau dari para petani di pedesaan, maka membakar dan menghisap cigarette
adalah tugas nasional. Ini mestinya menjadi titik belok bagi para penghisap
cigarette putih---dengar wahai kau Bung Nova yang masih setia dengan produksi
Philip Morris---yang bahan bakunya kertas dan pemiliknya orang asing. Ya,
cigarette juga bisa menggelorakan nasionalisme.
Tunggu dulu, tapi kenapa ketika malam mulai mendekati pagi,
kami mulai membicarakan masadepan dengan tulang rusuk masing-masing?. Sambil
tiduran---karena sudah malas menyeduh kopi dan dada mulai sesak karena
asap---kami dengan sedikit malu-malu mulai berbicara. Tapi ini pun harus tetap di
sensor, karena terlalu banyak wartawan infotainment yang berkilaran di sekitar
kita. Dan begitulah, sekira jam tujuh pagi kami baru bangun, melewatkan sholat
subuh, menguap, dan tidur kembali. Kami baru benar-benar bangun sekitar jam
setengah duabelas siang ketika matahari telah garang membakar ubun-ubun.
Besok hari ketiga, dan siang menjelang sore itu pergilah
kami ke pantai. Tujuannya jelas, mau mencegat matahari yang akan ditelan garis
bumi. Orang-orang barat menyebutnya sunset. Di bibir pantai semuanya begitu
lepas, dan kami merasa kecil. Cigarette di tangan, dan matahari begitu anggun
dengan sinar oranye yang hangat pudar. Lukisan alam yang terasa magis. Dan laut
terus saja berdebur, bergemuruh, dan tak henti-hentinya mempermainkan perahu
para nelayan.
Malam beranjak. Pembicaraan lagi. Kopi lagi. Cigarette lagi.
Masalalu dan masadepan lagi. Humor segar lagi. Impian. Harapan. Kegagalan. Keyakinan.
Ludah untuk pengkhianatan. Kekecewaan. Tulang Rusak. Kosong. Kabur. Realita. Manisnya
mempertahankan prinsip. Jari tengah untuk para asshole. Penghormatan bagi para
penulis.
Esoknya, ketika pagi masih dingin, kami berlari ke dermaga. Dan
di ujung dermaga itu kami melompat ke laut sambil berteriak : “Asuuu!!!”. [ ]
No comments:
Post a Comment