04 September 2012

3 Bung, 3 Behel, dan Tradisi yang Memudar [3]

Maka buat kami---atau barangkali buat saya---membakar cigarette sambil menulis itu adalah salahsatu waktu terbaik yang membuat saya betah berlama-lama di kamar. Kalau saja para pengusaha cigarette, terutama yang raksasa macam Gudang Garam, Djarum, dan Philip Morris tahu kebiasaan saya ini, bolehlah kiranya mereka membiayai pembuatan film yang di dalamnya banyak betul adegan menghisap cigarette, dan meng-hire saya sebagai penulis skenarionya, hmm..a nice dream. Tapi memang begitu bengal dan keras kepala saya ini---kawan saya juga mungkin seperti itu, bahkan puisi Taufik Ismail yang berjudul “Tuhan 9 cm” pun tak mempan, apalagi khotbah tentang kesehatan dan kemiskinan, ah omong kosong semua.  Para penulis adalah mereka yang kami hormati dan berada dalam kelompok strata pertama. Jika penulis pun sudah tidak kami hiraukan, maka tak usahlah kau banyak berkhotbah di depan kami.

Pecah kongsi adalah bukti bahwa saya dan dua orang kawan itu adalah orang-orang yang tidak gampang ditaklukkan. Seperti kata Ernest Hemingway dalam “The Old Man and The Sea” : Manusia bisa dihancurkan, tapi dia tidak bisa ditaklukkan. Lama tidak bertemu, tapi saling mengintip di media online masing-masing. Dan di sinilah kami sekarang, di sebuah kopi darat yang panas oleh debat dan adu argument.  Dari film terbaru besutan Paul Thomas Anderson, inflasi sehabis lebaran, penyerangan jamaah syiah di Sampang, ruang baca paling nyaman di Bandung, novel terbaru Andrea Hirata, siapa penemu petasan, kode produksi cigarette di bungkus bagian bawah, sampai panasnya suhu politik di Jakarta terkait dengan Pemilukada; semaunya kami perdebatkan. Barangkali orang-orang akan menyebutnya hanya tindakan konyol yang meributkan pepesan kosong, atau debat kusir yang mubazir, terserah, kami tak punya urusan dengan mereka. Mereka menilai, silahkan, but we don’t care!. 

Tapi di atas itu semua, saya hantam kedua Bung yang batang hidungnya terlihat sangat jelas itu dengan sebuah statement, bahwa ini adalah pesta lisan yang harus ditulis!. Dan sebuah aklamasi kemudian menyusul : “Setujuuu”, persis koor para wakil rakyat ketika masih zaman Orde Baru.

Kami tak banyak bacot dan ilfiltrasi mengenai tulang rusuk. Tahu sama tahu saja. Urusan yang begitu tak perlulah dibawa-bawa ke meja debat yang berasap oleh cigarette. Satu hal saja, dan ini pasti sebuah kebetulan; bahwa tulang rusuk kami sama-sama si pemilik gigi rapi pagar kelurahan. Ini pasti jasa behel. Tapi yang paling cantik memang Sigi---kedua Bung itu pasti mengerutkan kening dan mendengus---, kurang apa coba?; rambut pendek, berkacamata frame hitam, gemar memakai baju biru, dan amboi pintar betul, terutama masalah film!. Saya tak berani sok tahu mengenai film di depan dia, bisa dibantai habis-habisan soalnya. Wajar saja, dia lulusan cinematografi, menjad kontributor di beberapa majalah film dan media online, juga aktif menulis kritik film di salahsatu situs para pegiat film. Sesekali, dia diundang ke festival film di luar negeri, entah sebagai apa kapasitasnya. 

Maka tadi ketika kami membicarakan film terbaru garapan Paul Thomas Anderson yang berjudul “The Master”, mereka, kedua Bung itu nyaris mati kutu dan tak banyak berkicau. Mereka segan berdebat dengan saya, sebab di belakang saya ada seorang kritikus film yang tulisannya sangat sengit dan tajam. “Bung tentu lebih tahu daripada kami untuk soal film. Kami angkat topi, bukan buat Bung, tapi buat tulang rusuk Bung yang berkacamata itu,” demikian Bung Joni berkicau. Lihat, bukankah saya berada di bawah bayang-bayang Sigi?. Saya seolah-olah menjadi epigon perempuan cantik itu. Tapi tak apa, no problemo, sebab ini hanyalah masalah wawasan dan pengetahuan, bukan masalah prinsip. 

Dan tak usahlah saya ceritakan kisah absurd mereka dengan tulung rusuknya masing-masing, sebab setiap kisah punya logika dan jalan ceritanya masing-masing. Satu hal saja yang mesti dihindari, bahkan kalau perlu dikutuk. Perlu ditegaskan; bahwa para pengkhianat, jalan pulang mereka, selamanya adalah altar penyembelihan. Jangan sekalipun bicara tentang rekonsiliasi dengan mereka, kecuali untuk kepentingan strategi demi menghancurkan titik kurang ajarnya. “Jangan sombong, di atas kita sekarang langit. Di atas kita nanti tanah!.” 

Ini adalah hari kedua. Kopi darat yang memakan banyak amunisi. Entah sudah berapa batang cigarette yang kami bakar. Tapi selama yang dibakar itu adalah cigarette milik para pengusaha lokal, dan menggunakan tembakau dari para petani di pedesaan, maka membakar dan menghisap cigarette adalah tugas nasional. Ini mestinya menjadi titik belok bagi para penghisap cigarette putih---dengar wahai kau Bung Nova yang masih setia dengan produksi Philip Morris---yang bahan bakunya kertas dan pemiliknya orang asing. Ya, cigarette juga bisa menggelorakan nasionalisme.     
         
Tunggu dulu, tapi kenapa ketika malam mulai mendekati pagi, kami mulai membicarakan masadepan dengan tulang rusuk masing-masing?. Sambil tiduran---karena sudah malas menyeduh kopi dan dada mulai sesak karena asap---kami dengan sedikit malu-malu mulai berbicara. Tapi ini pun harus tetap di sensor, karena terlalu banyak wartawan infotainment yang berkilaran di sekitar kita. Dan begitulah, sekira jam tujuh pagi kami baru bangun, melewatkan sholat subuh, menguap, dan tidur kembali. Kami baru benar-benar bangun sekitar jam setengah duabelas siang ketika matahari telah garang membakar ubun-ubun. 

Besok hari ketiga, dan siang menjelang sore itu pergilah kami ke pantai. Tujuannya jelas, mau mencegat matahari yang akan ditelan garis bumi. Orang-orang barat menyebutnya sunset. Di bibir pantai semuanya begitu lepas, dan kami merasa kecil. Cigarette di tangan, dan matahari begitu anggun dengan sinar oranye yang hangat pudar. Lukisan alam yang terasa magis. Dan laut terus saja berdebur, bergemuruh, dan tak henti-hentinya mempermainkan perahu para nelayan. 

Malam beranjak. Pembicaraan lagi. Kopi lagi. Cigarette lagi. Masalalu dan masadepan lagi. Humor segar lagi. Impian. Harapan. Kegagalan. Keyakinan. Ludah untuk pengkhianatan. Kekecewaan. Tulang Rusak. Kosong. Kabur. Realita. Manisnya mempertahankan prinsip. Jari tengah untuk para asshole. Penghormatan bagi para penulis.

Esoknya, ketika pagi masih dingin, kami berlari ke dermaga. Dan di ujung dermaga itu kami melompat ke laut sambil berteriak : “Asuuu!!!”. [ ]       

No comments: