Oleh : Bre Redana
Orang-orang sekarang pada umumnya makin alergi terhadap sesuatu
yang dianggap ”serius”. Dalam strategi yang berhubungan dengan
pemanfaatan waktu luang—yang sebenarnya bisa produktif—ada keengganan
luar biasa terhadap yang serius. Entah mana sebab mana akibat, sebagian
besar produk kebudayaan kita kemudian diabdikan untuk melayani
keengganan masyarakat terhadap sesuatu yang serius.
Bicaralah
pada produser film, tawarkan film yang diandaikan menyimpan gagasan
mengenai kekayaan dan pluralitas ke-Indonesia-an. Dijamin, sang
produser bakal lebih tertarik kalau Anda menawarkan mistik Cipularang
KM 90. Kalau terlalu serius tak ada yang menonton. Yang ngawur saja,
dengan judul super ngawur, uang bakal mudah dikeruk.
Ini
berlaku di semua bidang. Masih saudaranya film, televisi. Bikin program
dengan pemikiran serius—taruhlah Hiburan dengan ’H’ besar bukan ’h’
kecil—maka orang akan menanggapi: serius begini, siapa mau nonton?
Apalagi kalau diperjelas, kita membikin sesuatu untuk kepentingan lebih
besar daripada sekadar ber-haha-hihi, maka kita akan dianggap gila.
Ini zaman Kalatida. Akal sehat dianggap gila.
Seni
panggung? Sami mawon. Anak-anak teater yang spartan yang menganggap
teater sebagai jalan hidup, karena teater adalah cermin kehidupan,
menjadi gelandangan kebudayaan. Seperti gelandangan yang hidup di
gorong-gorong budaya, mereka tergusur oleh gebyar panggung pertunjukan
yang mengandalkan sensasi visual, fisik, termasuk kemunculan
artis-artis kinclong. Kemasan adalah segala-galanya. Di balik itu
hampa. Tidak ada roh.
Ya, kita bicara mengenai produk
kebudayaan, maka jangan tinggalkan buku. Bagaimana dengan dunia
perbukuan? Anda tinggal tengok ke toko-toko buku. Anda belajar sampai ke
Harvard dan membikin teoritikasi politik kita, buku Anda akan
ditenggelamkan di rak paling pojok, kalah oleh buku berisi gosip-gosip
politik. Filsafat bakal tinggal kenangan, diganti peran para motivator
(saya menyebut tukang jual jamu), yang menerbitkan buku cara menjadi
kaya secara mendadak, resep sukses dengan bermimpi, dan lain-lain.
Buku-buku sastra harus mengiri pada karya-karya yang diambil dari
celoteh dunia maya, lengkap dengan bahasanya yang amburadul. Kalau kita
masih berpikir bahwa kita harus menjaga bahasa Indonesia seperti kita
menjaga ibu, maka akan sakit hati dan TBC. Buku-buku yang
memporak-porandakan bahasa dan akal sehat laris keras, dirayakan di
mana-mana.
Ditonton, bukan menonton
”Opo
aku isih iso berkesenian (apa aku masih bisa berkesenian),” desah
seorang maestro pertunjukan seni klasik Jawa. Pada zamannya, ia
menganggit karya-karya gemilang. Pertunjukannya yang sarat bobot di
Taman Ismail Marzuki (TIM) ditunggu-tunggu pencintanya, dan mendapat
apresiasi luar biasa di media massa.
Itu dulu. Kini, ia
merasa tak mendapat kesempatan berkarya. Sponsor lebih melirik ke
karya-karya yang itu tadi: jangan serius. Yang penting menghibur. Yang
klasik dikhawatirkan tak ada yang meminati. Sama-sama mengeluarkan
uang, daripada untuk kesenian serius, lebih baik untuk olahraga, banyak
penontonnya, meskipun olahraganya kalah melulu.
Kalangan
dunia klasik pewayangan pernah berprasangka baik, dengan munculnya
eksperimen-eksperimen di dunia wayang. Dengan wayang yang dipadatkan,
dimasuki dangdut, diguyur lawakan sepanjang pertunjukan, tidak jadi
masalah. Yang penting orang nonton wayang dulu. Siapa tahu nanti
apresiasi meningkat, sampai ke jati diri wayang: yang mempunyai peran
besar dalam pembentukan kebudayaan Indonesia.
Dugaan
mereka meleset. Para penonton jenis tontonan tadi tak pernah meningkat
menjadi penonton karya-karya klasik. Yang klasik, yang dianggap serius,
tetap terpinggir dan makin terpinggir.
Kasus dalam dunia
pewayangan ini bisa ditarik sampai ke gejala yang ramai sekarang,
yakni pementasan wayang orang para ”ndoro”. Yang saya maksud wayang
ndoro adalah wayang yang pemainnya terdiri dari para pemain amatir,
para pesohor, sosialita, ibu-ibu kaya, serta pejabat. Mereka manggung
bersama para pemain wayang profesional. Dalam proses latihan kadang
didampingi seniman panggung yang mumpuni.
Niat di balik
pementasan para ndoro itu terdengar mulia. Untuk membantu melestarikan
kesenian tradisional. Dengan kemunculan mereka di panggung, penonton
ramai. Harga tiket berkali- kali lipat harga tontonan kesenian
tradisional sehari-hari.
Dengan terobosan itu, apakah
kesenian tradisional kita menjadi makin luas khalayaknya? Tidak. Tanpa
kehadiran para ndoro di panggung, kesenian tradisional kembali kepada
kehidupan gembel sehari-hari.
Artinya apa? Dengan modal
atau kapital mereka memobilisasi penonton untuk menonton mereka
sendiri. Ketika mereka tidak di panggung, masih adakah mobilisasi
penonton itu? Seniman yang pernah melatih me- reka, ketika membikin
karya sendiri untuk produk yang lebih ”serius”, mengaku bahkan para
ndoro yang dilatihnya dulu tidak menonton. Mereka juga tak akan
memberikan dukungan keuangan kalau mereka sendiri tidak tampil di
panggung. Diminta memberi makanan saja susah, kata seniman tadi tertawa.
Di
sini, kapital rupanya berdampingan dengan narsisme. Istilahnya,
kapitalisme dan narsisme jadi satu. Kalau aku tidak di panggung, tak ada
kapital kusediakan. Kebutuhanku ditonton, bukan menonton.
Pamit mati
Jika
di tingkat atas yang menggembosi produk kebudayaan dari keseriusan dan
pemikiran adalah kapital (dan narsisme), di tingkat bawah ada
persoalan lagi yang tak kalah serius. Khusus untuk wayang, adalah
tekanan kelompok radikal terhadap produk kebudayaan bernama wayang.
Mungkin Anda jarang membaca beritanya, tetapi di beberapa tempat di
Jawa Tengah sangat sering terjadi penggerebekan terhadap pertunjukan
wayang. Pertunjukan wayang kulit yang tengah berlangsung bisa didatangi
sekelompok orang, yang dengan sangar menyuruh semuanya bubar. Para
seniman wayang hanya bisa berkemas-kemas, menutup peti, terusir sebagai
kelompok sudra tanpa perlindungan negara.
Sesekali saja
kasus seperti itu terangkat ke permukaan. Misalnya, seperti ketika
televisi memberitakan bagaimana di Purwakarta, Jawa Barat, sekelompok
orang merobohkan patung-patung wayang di sudut-sudut kota. Terlihat
dalam tayangan televisi, setelah patung dirobohkan, diinjak-injak.
Dilihat dari lapis permukaan itu menggelikan. Dari lapis lebih dalam,
menyedihkan.
Beberapa waktu lalu, sebuah rombongan
kesenian tradisional ketoprak melakukan pentas terakhir di Alun- alun
Selatan Yogyakarta. Pentas itu mereka sebut pentas pamit mati. Mereka
tak bisa lagi bertahan karena tak ada lagi yang peduli. Tak ada lagi
yang menghargai apa pun yang tidak bernilai uang. Koruptor sekali pun,
karena bergelimang uang, bisa seketika menjadi pahlawan setelah
persoalannya diolah dan dibolak-balik seperti martabak oleh para
pengacara. Sementara kesenian tak punya pembela.
Produk-produk
kebudayaan yang ”serius”, pada tingkat atas digusur oleh kapitalisme
dan narsisme. Pada tingkat bawah, oleh radikalisme. Kalau semua kita
dan terutama negara tak turun tangan menyikapi gejala ini, maka sesuatu
yang serius, termasuk pemikiran, akan sampai pada titik seperti
dilakukan rombongan kesenian tradisional tadi: pamit mati. [ ]
No comments:
Post a Comment