Fahd Djibran pernah menulis dalam buku A Cat in My Eyes : “Masadepan ternyata hanyalah sebuah kursi
di halaman belakang, di mana aku duduk sendiri di sana, merasa bukan
siapa-siapa, merasa bukan apa-apa.” Tapi bagiku tidak seperti itu, sebuah
kursi di halaman belakang bukanlah sebuah masadepan yang sunyi, melainkan
masadepan yang ramai oleh imajinasi. Aku ingin duduk di sana, di sebuah kursi
di halaman belakang, menikmati suara ricik hujan yang jatuh di selokan kecil,
menyaksikan pucuk daun jambu yang kedinginan, melihat ulat yang berjalan
pelan-pelan di daun tanaman rambat, merasakan angin dingin yang meniup pohon
mangga, dan mulai menulis cerita anak-anak. Aku ingin menulis fabel yang
menarik. Menjadikan ayam, burung, rusa, kambing, kodok, dan musang sebagai
tokoh utama. Atau menulis kisah-kisah sederhana tentang penjaga mesjid, tukang
becak, pedagang kue, janda tua yang hidup sendirian, dan anak yang putus
sekolah.
Di halaman belakang itu, aku juga ingin menulis cerita
tentang anak yang banyak bertanya, atau anak yang lincah ceria macam Sherina
sewaktu kecil, sambil mendengarkan lagu-lagu karangan AT. Mahmud; Ambilkan
Bulan Bu, Amelia, dan Paman Datang dari Desa. Kalau saja
Pak Kasur masih ada, di halaman belakang itu aku ingin ngobrol dengannya,
bertanya tentang banyak hal mengenai anak-anak. Aku ingin tahu seperti apa Pak
Kasur ini, sehingga Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai Gembala Bocah
yang Manis. Aku masih ingat, dalam buku Menggelinding, Pramoedya pernah menulis :
“Ia
turun dari pesawat udara, dan telah mengangalah tertawa persegi mulutnya.
Inilah Pak Kasur yang melalui radio telah memikat ratusan ribu kanak-kanak dari
seluruh Indonesia. Dalam bus KLM yang
membawanya dari bandara, ia pun telah dapat menawan hati para penjemputnya.
Sebentar kemudian rahang telah dibuatnya menggigil dan perut terguncang-guncang
oleh tertawa. Bahkan dalam perjalanan udara ia pun telah berhasil memikat hati
tiga kanak-kanak Portugis yang hanya kenal bahasanya sendiri.”
Tak hanya itu, dalam paragraf-paragraf selanjutnya, Pramoedya
juga telah menulis : “Di sekolah-sekolah
untuk anak-anak yang terbelakang jiwanya, dan yang biasanya sangat nakal-nakal,
di Amsterdam dan Zetten, Pak Kasur telah menunjukkan kecakapannya untuk menjadi
kawan-kawan mereka yang terkarib.”
Kalau dilihat dari tulisan Pram tersebut, luar bisa sekali Pak Kasur ini,
beliau sangat berhasil menjadi gembala bocah yang manis. Aku ingin belajar
darinya, belajar memahami dunia anak-anak, lalu menuliskannya dalam
cerita-cerita menarik yang membuat mereka terkesan.
Tapi memang Pak Kasur telah tiada, yang tersisa hanyalah aku
yang duduk sendirian di halaman belakang, yang juga ingin ngobrol dengan Papa
T. Bob dan Kak Seto. Konon Papa T. Bob sempat terjerat kasus hukum, tapi aku
bukan mau ngobrol tentang itu, melainkan tentang lagu anak-anak ciptaannya yang
dulu pernah dinyanyikan oleh Trio Kwek Kwek dan bahkan oleh Agnes Monica yang
sekarang tengah bermetamorfosis menjadi seorang diva. Lagu-lagu ciptaan Papa T.
Bob selalu ceria, membuat anak-anak bergoyang lincah, menelan jatah hidupnya
yang belum lama. Dan pada Kak Seto aku ingin bertanya, “Kenapa akhir-akhir ini banyak
anak-anak yang minggat dari rumah orangtuanya?.” Lalu hujan mulai turun lagi
yang tadi sempat reda. Dan Kak Seto telah pulang, Papa T. Bob telah pulang,
meninggalkanku sendirian di halaman belakang. Tiba-tiba aku gembung oleh
imajinasi. Dan aku mulai menulis. [ ]
No comments:
Post a Comment