Seorang anak kecil dengan uang seribu rupiah di tangan, memakai
kerudung warna biru, siang itu, waktu hujan selesai menjalankan tugasnya, dia
datang lagi. Harga sewa per-buku memang hanya lima ratus rupiah, tapi bukankah
uang sebesar itu masih bisa untuk membeli kembang gula?. Anak itu datang lagi
ke Topi Bundar, menyewa dua buah buku warna yang bergambar. Siti Khadijah, perempuan
yang duduk di balik meja, di tempat penyewaan buku tersebut, dengan kerudung
hitamnya terlihat cerah waktu melayani anak-anak yang semangat menyewa buku. Bung
Fikri, pengelola Topi Bundar, terus bergerak melebarkan sayap jaringan dan
kegiatan. Dengan semangat yang sepertinya tidak pernah padam, dia tidak hanya
membuka toko buku, penyewaan buku, dan ruang baca saja, tapi juga mengadakan
kelas belajar membaca, kelas belajar menggambar, dan sesekali mengadakan pelatihan
menulis dan bedah buku.
Letak Topi Bundar tidak jauh dari jalan Siliwangi yang
sekarang sudah dibuat satu arah. Banyak gang yang dapat dilalui untuk mencapai
kantong literasi tersebut. Yang aksesnya paling dekat dan paling sederhana
adalah lewat jalan yang berada di samping SD Pintukisi. Bangunannya berlantai
dua, warnanya didominasi oleh hijau tua, dan bersebelahan dengan TK An Nuur,
Kebonjati. Di dalam, udaranya selalu sejuk, maklum saja sebab bertetangga
dengan sebuah kebun yang tidak terurus. Cahaya matahari masuk melalui jendela
kaca yang lebar. Cahaya itu menjadi penerang bagi ratusan buku yang berjajar
rapi di rak kayu. Di lantai satu terdapat perpustakaan dan toko buku. Sementara
ruang baca, tempat belajar membaca dan menggambar terdapat di lantai dua. Udara
sejuk mengusai semua ruangan, sebuah tempat yang benar-benar nyaman bagi mereka
yang berminat belajar dan berinteraksi dengan buku. Saya duduk di balkon, daun
pohon mangga menyentuh jendela, burung-burung kecil berloncatan di kabel
telepon, bayangan pohon mangga menyentuh jalan kecil yang beraspal.
Sekitar jam dua saya pamit, lalu meluncur ke pusat kota, dan
menyambangi setiap toko buku. Di sebuah toko buku kecil, di jalan Ahmad Yani,
saya mendapati buku Muhidin; Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta. Saya
membeli dua dan mengabari Bung Erlan, lalu deal
: akan saya kirim ke Gudang Peluru distrik Cibiru, Bandung. Kemudian hari
menjadi semakin sore, dalam perjalanan pulang ke kampung, dada saya terasa
gembung. Lega sekali mendapati kantong literasi di Sukabumi, bertemu dengan
kenyataan; bahwa anak-anak tidak melulu menyuntuki game atau terpaku di depan
layar tv menyaksikan kartun favorit, mereka juga ternyata menggandrungi buku. Mobil
yang saya tumpangi mulai jauh meninggalkan kota.
Perjalanan ke kampung memang lama, ada sekira tiga jam. Untuk
membunuh bosan, saya online memakai
ponsel sederhana. Di dunia jejaring social saya membaca tulisan seorang kawan
yang tinggal di Yogya, dia melempar ide baru nan segar; menulis sejarah
kampung. Kota-kota besar yang sering menjadi bahan kajian sosiologi, pusat
ekonomi, dan akulturasi budaya, sesungguhnya terdiri dari beberapa kampung.
Kota adalah gabungan dari ratusan RT dan puluhan kelurahan. Sementara yang
selalu menjadi pembicaraan dan yang tercatat dalam berbagai literature adalah
kota secara Makro, masyarakat hanya mengenal kota lewat icon dan landmark saja.
Menulis sejarah kampung adalah sebuah usaha untuk mencatat setiap renik data
dan kenyataan sosial yang ada dan terjadi pada kehidupan masyarakat sehari-hari,
sebab menjadi bagian dari sejarah bukan monopoli kota-kota besar saja. Pun
begitu, sejarah tidak melulu soal-soal yang sudah lampau, menuliskan kuliner khas
dan kegiatan sehari-hari, bisa juga menjadi awal untuk menuliskan sejarah
kampung. Demi membaca tulisannya, saya kemudian teringat Sumur Batu, sebuah
kelurahan di pusat Jakarta yang sesak oleh banyak gang, penjual keliling, got
busuk, warung kopi, dan anak-anak yang selalu ramai bermain di waktu sore. Saya
tiba-tiba ingin menuliskan semuanya.
Mobil terus laju, pemandangan semakin didominasi oleh
perkampungan petani yang miskin. Asap mengepul dari jerami yang dibakar. Sinar
matahari masih berusaha menerobos lewat kaca jendela. Dua anak kecil telanjang
dada tampak menangis berebut kembang gula. Di langit yang semakin redup
terlihat sebuah layangan, dia terbang karena menentang angin. [ ]
No comments:
Post a Comment