2005 terasa panas oleh semangat yang mengalir. Mereka
berangkat tanpa dibekali helm dan rompi anti peluru. Selain karena tugas
profesi, naluri jurnalisme juga terlalu kuat untuk dikalahkan oleh rasa takut
yang sebenarnya hadir, tapi cepat terkubur. Tahun ketika saya sedang menjalani
saat-saat akhir di bangku kuliah, Meutia dan Budiyanto berangkat ke negara yang
sangat panas oleh konflik sektarian pasca rezim Saddam Husein runtuh. Mereka sempat
ditanya oleh tentara Irak, “kenapa
kalian tidak pakai rompi anti peluru?”, mereka menjawab, “tidak punya”. Lalu tentara Irak
bertanya lagi, “kenapa kalian tidak
memakai helm anti peluru,” dan lagi-lagi mereka menjawab, “tidak punya”. Tentara Irak tertawa
lalu bertanya lagi, ”lalu apa yang melindungi kalian untuk peliputan di
medan konflik ini?”, dengan mantap mereka menjawab, “Bismillah.” Jawaban mereka bukanlah sesuatu yang mudah didebat
oleh tentara Irak yang mempunyai keyakinan yang sama. Seperti yang dicatat Meutia
dalam memoarnya, dia ternyata lupa, bahwa pasrah sesungguhnya adalah sikap penyerahan
total kepada Tuhan setelah usaha benar-benar maksimal.
Dengan persiapan yang sebenarnya kurang maksimal dan semangat
reportase yang menyala, mereka berhasil meliput pemilu pertama pasca pendudukan
Irak oleh Amerika dan pasukan koalisinya. Bangga tentu saja ada, karena mereka
berhasil melaporkan berita dari jantung Irak. Tapi keberhasilan itu bukan tanpa
perjuangan dan kejutan-kejutan menegangkan; dua kali mereka berada di bawah
ancaman moncong senjata. Lalu tugas selanjutnya datang, peliputan Assyura di
Karbala, di basis kaum Syiah. Ini tentu peliputan yang sangat beresiko. Bahaya
di atas bahaya. Assyura selalu saja banyak memakan korban jiwa; ledakan bom
atau kerusuhan. Meskipun pada awalnya mereka segan kembali lagi ke Irak, tapi
ini tugas. Dan akhirnya, sekali lagi, ketakutan akan bahaya yang mengancam itu
berhasil mereka pukul mundur, semangat mereka tidak kendur, tekad mereka untuk
tetap pergi ke Karbala tidak pernah hancur. Tidak lama setelah itu, kantor
mereka di Kedoya, Jakarta Barat, kelabu oleh cemas yang menyesak dada dan
gerimis airmata; reporter Meutia Hafiz dan juru kamera Budiyanto diculik oleh pasukan
mujahidin di Ramadi, salah satu daerah yang menjadi basis perlawanan kaum Sunni.
Malam itu, waktu berita mengenai tewasnya wartawan
Vivanews.com masih menempel di ingatan, dan televisi sedang memberitakan
hilangnya beberapa relawan ketika melakukan
penyisiran di dusun yang hancur
oleh awan panas Merapi, saya membaca refleksi Meutia setelah dua tahun terbebas
dari peristiwa “168 jam penyanderaan” di Irak. Dengan bahasa yang lincah
bertenaga, refleksinya terasa jernih dan berhasil membuka mata, bahwa tidak ada
berita yang pantas untuk dibarter dengan nyawa. Di tengah kondisi bahaya,
dengan naluri jurnalisme dan semangat peliputan yang membara, terkadang
wartawan lupa, bahwa dirinya lebih berharga daripada berita. Batas antara
berhenti atau terus maju memburu berita seringkali kabur, dan kenyataan ini
telah banyak memberikan bukti, bahwa industry pers seringkali kehilangan
orang-orang terbaiknya hanya karena “lupa
untuk berhenti”. Bukankah ini
mengerikan?.
Insting untuk menyelamatkan diri terkadang kabur oleh
semangat untuk mendapatkan berita eksklusif yang berisiko tinggi dan bahaya yang
selalu mengintai. Insiden buruk yang menimpa wartawan terkadang bermula dari
kesalahan kecil dan sepele. Kematian Muhamad Guntur Saefullah, juru kamera
SCTV, dan Suherman, juru kamera Lativi, dalam tragedy tenggelamnya kapal
Levina, menambah daftar panjang tragedy liputan yang menewaskan para jurnalis. Kita
juga tentu belum sepenuhnya lupa pada kasus Ferry Santoro dan almarhum Ersa
Siregar dari RCTI, yang disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Benar kata
Meutia, bahwa setiap jurnalis, terutama yang bertugas di daerah konflik dan
rawan bencana, harus senantiasa bertanya pada dirinya sendiri, “kapan harus berhenti?. Kapan harus segera
meninggalkan medan liputan ketika bahaya semakin mengancam?.” Peristiwa
tertembaknya dua wartawan perang yang sangat dihormati karena pengalaman dan
kemampuannya “membaca” medan, Kurt Shorck (Reuters) dan Miguel Gil Moreno
(Associated Press), menjadi peringatan bagi siapa saja yang ditugaskan meliput
di daerah konflik. Mereka tertembak saat meliput konflik di Sierra Leone pada
tahun 2000. Jurnalis terbaik pun, ketika sudah berada di medan liputan,
kesulitan menemukan keseimbangan antara insting untuk menyelamatkan diri dan
keinginan untuk memperoleh berita ekskulusif.
Ini tentu tidak hanya berlaku bagi para jurnalis, namun juga
para relawan yang tengah mengevakuasi korban di daerah bencana, mereka harus
senantiasa sadar jaga dengan kemungkinan terburuk, jangan sampai menyelamatkan
nyawa dengan kehilangan nyawa. Saat-saat ini Indonesia seperti sebuah kepulauan
dengan rangkaian bencana, hal ini tentu saja membutuhkan para relawan
kemanusiaan dan para pengkabar berita yang gesit, kuat, dan tahan banting. Juga
tentu saja yang sadar akan insting untuk “berhenti”, agar jangan sampai para
pemburu berita menjadi bahan pemberitaan. Cukup mengabarkan duka saja, jangan
sampai si pengabar duka menjadi penghuni daftar kedukaan. Selamat bertugas. [ ]
---Dedicated to Hervina
No comments:
Post a Comment