21 September 2012

Berhenti di Batas

2005 terasa panas oleh semangat yang mengalir. Mereka berangkat tanpa dibekali helm dan rompi anti peluru. Selain karena tugas profesi, naluri jurnalisme juga terlalu kuat untuk dikalahkan oleh rasa takut yang sebenarnya hadir, tapi cepat terkubur. Tahun ketika saya sedang menjalani saat-saat akhir di bangku kuliah, Meutia dan Budiyanto berangkat ke negara yang sangat panas oleh konflik sektarian pasca rezim Saddam Husein runtuh. Mereka sempat ditanya oleh tentara Irak, “kenapa kalian tidak pakai rompi anti peluru?”, mereka menjawab, “tidak punya”. Lalu tentara Irak bertanya lagi, “kenapa kalian tidak memakai helm anti peluru,” dan lagi-lagi mereka menjawab, “tidak punya”. Tentara Irak tertawa lalu bertanya lagi, ”lalu apa yang melindungi kalian untuk peliputan di medan konflik ini?”, dengan mantap mereka menjawab, “Bismillah.” Jawaban mereka bukanlah sesuatu yang mudah didebat oleh tentara Irak yang mempunyai keyakinan yang sama. Seperti yang dicatat Meutia dalam memoarnya, dia ternyata lupa, bahwa pasrah sesungguhnya adalah sikap penyerahan total kepada Tuhan setelah usaha benar-benar maksimal. 

Dengan persiapan yang sebenarnya kurang maksimal dan semangat reportase yang menyala, mereka berhasil meliput pemilu pertama pasca pendudukan Irak oleh Amerika dan pasukan koalisinya. Bangga tentu saja ada, karena mereka berhasil melaporkan berita dari jantung Irak. Tapi keberhasilan itu bukan tanpa perjuangan dan kejutan-kejutan menegangkan; dua kali mereka berada di bawah ancaman moncong senjata. Lalu tugas selanjutnya datang, peliputan Assyura di Karbala, di basis kaum Syiah. Ini tentu peliputan yang sangat beresiko. Bahaya di atas bahaya. Assyura selalu saja banyak memakan korban jiwa; ledakan bom atau kerusuhan. Meskipun pada awalnya mereka segan kembali lagi ke Irak, tapi ini tugas. Dan akhirnya, sekali lagi, ketakutan akan bahaya yang mengancam itu berhasil mereka pukul mundur, semangat mereka tidak kendur, tekad mereka untuk tetap pergi ke Karbala tidak pernah hancur. Tidak lama setelah itu, kantor mereka di Kedoya, Jakarta Barat, kelabu oleh cemas yang menyesak dada dan gerimis airmata; reporter Meutia Hafiz dan juru kamera Budiyanto diculik oleh pasukan mujahidin di Ramadi, salah satu daerah yang menjadi basis perlawanan kaum Sunni. 

Malam itu, waktu berita mengenai tewasnya wartawan Vivanews.com masih menempel di ingatan, dan televisi sedang memberitakan hilangnya beberapa relawan ketika melakukan   penyisiran di dusun yang hancur oleh awan panas Merapi, saya membaca refleksi Meutia setelah dua tahun terbebas dari peristiwa “168 jam penyanderaan” di Irak. Dengan bahasa yang lincah bertenaga, refleksinya terasa jernih dan berhasil membuka mata, bahwa tidak ada berita yang pantas untuk dibarter dengan nyawa. Di tengah kondisi bahaya, dengan naluri jurnalisme dan semangat peliputan yang membara, terkadang wartawan lupa, bahwa dirinya lebih berharga daripada berita. Batas antara berhenti atau terus maju memburu berita seringkali kabur, dan kenyataan ini telah banyak memberikan bukti, bahwa industry pers seringkali kehilangan orang-orang terbaiknya hanya karena “lupa untuk berhenti”.  Bukankah ini mengerikan?. 

Insting untuk menyelamatkan diri terkadang kabur oleh semangat untuk mendapatkan berita eksklusif yang berisiko tinggi dan bahaya yang selalu mengintai. Insiden buruk yang menimpa wartawan terkadang bermula dari kesalahan kecil dan sepele. Kematian Muhamad Guntur Saefullah, juru kamera SCTV, dan Suherman, juru kamera Lativi, dalam tragedy tenggelamnya kapal Levina, menambah daftar panjang tragedy liputan yang menewaskan para jurnalis. Kita juga tentu belum sepenuhnya lupa pada kasus Ferry Santoro dan almarhum Ersa Siregar dari RCTI, yang disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Benar kata Meutia, bahwa setiap jurnalis, terutama yang bertugas di daerah konflik dan rawan bencana, harus senantiasa bertanya pada dirinya sendiri, “kapan harus berhenti?. Kapan harus segera meninggalkan medan liputan ketika bahaya semakin mengancam?.” Peristiwa tertembaknya dua wartawan perang yang sangat dihormati karena pengalaman dan kemampuannya “membaca” medan, Kurt Shorck (Reuters) dan Miguel Gil Moreno (Associated Press), menjadi peringatan bagi siapa saja yang ditugaskan meliput di daerah konflik. Mereka tertembak saat meliput konflik di Sierra Leone pada tahun 2000. Jurnalis terbaik pun, ketika sudah berada di medan liputan, kesulitan menemukan keseimbangan antara insting untuk menyelamatkan diri dan keinginan untuk memperoleh berita ekskulusif. 

Ini tentu tidak hanya berlaku bagi para jurnalis, namun juga para relawan yang tengah mengevakuasi korban di daerah bencana, mereka harus senantiasa sadar jaga dengan kemungkinan terburuk, jangan sampai menyelamatkan nyawa dengan kehilangan nyawa. Saat-saat ini Indonesia seperti sebuah kepulauan dengan rangkaian bencana, hal ini tentu saja membutuhkan para relawan kemanusiaan dan para pengkabar berita yang gesit, kuat, dan tahan banting. Juga tentu saja yang sadar akan insting untuk “berhenti”, agar jangan sampai para pemburu berita menjadi bahan pemberitaan. Cukup mengabarkan duka saja, jangan sampai si pengabar duka menjadi penghuni daftar kedukaan. Selamat bertugas. [ ]

---Dedicated to Hervina

No comments: