13 September 2012

Anak Muda Pulang Kampung

Antara sebentar perempuan itu berdiri dan mengarahkan pandangannya ke barat, ke sebuah belokan tempat mobil pertama kali akan terlihat. Wajahnya jelas sekali mengguratkan seseorang yang sedang menunggu, lebih tepatnya kesal menunggu. Cigarette putih telah habis tiga batang, sekarang memasuki yang ke empat. Dia menghisap dengan penuh kecemasan, terlihat tidak menikmati cigarette made in USA itu. Kalau diperhatikan dengan baik, perempuan itu sebenarnya cantik, tak jauh dengan Zooey Deschanel, tapi yang ini aroma bulenya tidak terlalu pekat. Erlan, kawan saya, duduk tak jauh darinya. Lelaki berperawakan kurus itu sedang asyik membaca buku The Kite Runner karangan Khaled Khosaini. Dia tidak sempat memperhatikan perempuan yang sedang kesal menunggu, sebab dia tengah asyik mengikuti alur hidup Hasan, Amir, Baba, Rahim Khan, dan Ali. Afganistan yang damai dan tenteram tiba-tiba kacau dan porak-poranda oleh pertempuran. Taliban memenangkan perang dan berkuasa dengan melancarkan banyak tekanan kepada rakyat sendiri. Dalam novel tersebut, Taliban sangat sempurna digambarkan sebagai monster, pembunuh haus darah, melumpuhkan hak-hak perempuan, dan kejam dalam menjalankan hukum. Erlan semakin tersedot ke dalam buku. Rasanya baru tadi sore dia ikut bermain layang-layang bersama Amir dan Hasan, sekarang negeri indah itu telah hancur, dan ancaman Taliban terus mengintai.

Angin berhembus ke arahnya, tercium asap light yang sangat familiar. Perempuan cantik masih gelisah, dan cigarette telah memasuki batang ke enam. Petugas razia tidak ada, padahal pemda DKI sudah dua kali mengeluarkan surat edaran dan pengumaman : di larang merokok di tempat umum. Kalau bukan karena mencium asap light, Erlan tidak akan pernah menoleh ke perempuan cantik itu. Darahnya sedikit berdesir, anak muda melihat seorang perempuan cantik. Jangan berimajinasi tentang adegan film India, sebab hujan tidak sedang turun. Terdengar bunyi ponsel, perempuan cantik berbicara di udara, nada bicaranya penuh tekanan, melancarkan kemarahan yang muncul dari kesal menunggu. Asli, dia itu cantik sebenarnya, kemarahan seperti gerhana yang menutupi pesonanya. Dia memakai cardigan berwarna biru dongker, roknya yang sedikit di bawah lutut berwarna kelabu. Kalau bosan berdiri dia akan duduk di bangku tunggu yang tersebar di bandara, dan Erlan tidak sempat memperhatikan bahwa perempuan itu akan kurang berhati-hati waktu duduk dan melipat kakinya. Kalau saja Erlan memperhatikan, pasti darahnya akan kembali berdesir dengan lebih kencang. Dalam kondisi ini buku The Kite Runer telah berhasil menyelamatkannya. 

Erlan juga sebenarnya sedang menunggu. Mobil travel yang namanya sama dengan nama jalan di Bandung belum juga muncul, waktu dia beli tiket si karyawan travel bilang bahwa mobil akan datang setengah jam lagi, tapi sekarang sudah tiga puluh menit lewat, Erlan sudah terbiasa dengan layanan transportasi seperti ini, bahkan yang lebih buruk sekalipun : dia sudah imun. Karena kebanyakan membaca dan menunduk melihat ke buku, dia mulai terasa pegal lalu menggeliat. Waktu itulah dia melihat dan baru sadar bahwa perutnya terasa sudah lapar, ini pasti disebabkan karena dia melihat kios Dunkin Donut, A&W, dan ayam goreng Kolonel Sanders. Tak ada masalah dengan uang, dia sekarang sudah beranjak dari tempat duduknya dan mendekati warung Kolonel Sanders, sementara perempuan cantik yang memakai cardigan biru dongker masih gelisah bercampur marah karena yang ditunggunya tidak juga muncul, entah sedang menunggu siapa. Kenyang sudah, lalu kembali ke tempat awal untuk menunggu travel, dan muncullah mobil itu. Perempuan rok di bawah lutut berkicau lagi, amarahnya seperti satu formula yang sama dengan adegan di sinetron bersekuel. Mobil meluncur waktu Erlan melihat sebuah ponsel di bangku bekas perempuan itu, Blackberry terjatuh. “Mbak..mbak…!!”, tapi terlambat, mobil sudah hilang di belokan. Erlan menunggu lagi, kini bertambah : mobil travel dan mobil si mbak yang tadi marah-marah, dia pasti akan balik lagi sebab setengah nyawanya tertinggal di bangku tunggu, begitu pikirnya. 

Dan setelah perempuan itu berucap terimakasih, dia lalu pergi bersama Blackberry-nya, aku lalu mendekatinya. “Olva”, itu yang aku ucapkan waktu kami berkenalan. Tampangnya beraroma serius, apalagi yang dipegangnya buku, aku sudah pernah menjalani beberapa minggu dengan lelaki penggandrung buku. Entah bagaimana kabarnya dia sekarang, aku memang tak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Kulirik judul buku yang tengah dipegangnya, aku ingat, buku itu pernah aku lihat dibawa oleh lelaki pengggandrung buku waktu kami bertemu di sebuah toko buku. “Dari Balikpapan, mau pulang dulu ke Bandung”, itu jawabannya waktu aku tanya “Penerbangan dari mana Mas?”. Dia seperti sengaja tidak melanjutkan membaca dan menutup bukunya, lalu dengan sopan mulai berbincang ringan denganku. Cara bicaranya tidak cepat, malah cenderung pelan. Kadang-kadang dia berbicara seperti menggunakan metafora, pembawaannya tenang, dan senyumnya sedikit pahit. Entah kenapa gaya bicara sekilas seperti lelaki penggandrung buku yang aku tinggalkan, bahkan beberapa kosa-katanya benar-benar membuat aku dejavu. 

Karena aku yang banyak bertanya maka aku tahu bahwa dia mempunyai sebuah komunitas atau group di situs jejaring social. Nama komunitasnya aku lupa lagi, yang pasti katanya, dia dan kawan-kawannya adalah orang-orang yang berminat pada buku dan tulisan, aku kembali diingatkan pada lelaki penggandrung buku. Hei tapi tunggu dulu, dia seperti sedang menyimpan sesuatu. Dia seperti menggiringku pada suatu hal. Dia mulai bercerita tentang kawannya yang tinggal di Jakarta, tentang kawannya yang suka menulis, tentang kawannya itu yang kerja di sebuah tempat di Timur Jakarta. Dan aku mulai menangkap benang merah dari ceritanya. Benar saja, dia adalah kawannya dia, kawannya lelaki penggandrung buku. Tapi dia cukup sopan untuk tidak bertanya terlalu jauh mengenai aku dan lelaki penggandrung buku. Mobil travel yang ditunggunya datang , dan dia pamit, mobil meluncur ke Bandung. “Mas….mas…”, tapi terlambat, dia meninggalkan buku yang tadi dibacanya. [ ]

1 comment:

Akashisedai said...

Denger deja vu..huuuft...itu sering banget kejadian deh di aku.hihi