14 May 2012

18 - Olva dan Beberapa Hal yang Belum Selesai

Cara terbaik untuk menyembunyikan garis tegas adalah dengan cara melukis abstrak, atau menulis cerita yang strukturnya seolah-olah melarikan diri. Karena dengan begitu, akan lebih banyak goresan gradasi yang tidak akan bisa dipakai untuk menerawang logika siang benderang. Ketika kebenaran berita menyentuh titik nadir, atau pendapat yang terlampau mampat karena digiring, maka para penangkap lintasan imajinasi harus mulai bergiat lagi menulis beberapa cerita yang dipenuhi halte untuk berhenti.

Dalam konstelasi cerita yang berparade dan berjejalin di sepanjang usia waktu, fiktif dan real tidak lagi dipetakan secara dikotomi. Dua titik ini telah bersinggungan, seperti irisan angka dalam pelajaran matematika tingkat sekolah menengah. Apa yang tidak pernah terjadi bisa didadarkan dalam beratus-ratus paragraph, dan apa yang berjejak di kehidupan nyata bisa disembunyikan, menggantung entah di mana. Pada medan laga seperti ini kejujuran dan dusta seperti dua mata pedang yang berkilatan, tajam, dan siap saling menikam.  

Ketika akhirnya manusia lelah, dia hanya akan memilih kesejatian : tanpa riasan menor, gincu komunikasi, retorika relationship, atau rencana-rencana yang akhirnya terkubur juga. Manusia hanya memilih kesejatian, jika tidak berarti masih harus dipertanyakan.

***

Beberapa bulan tak tahu kabarnya, ternyata Olva telah kembali ke dalam pelukan Surabaya. Dia pulang ke rumah tempat di mana lembaga kehidupannya berjejak. Barangkali Jakarta tidak memberi apa yang diharapkannya. Dan pahit itu adalah ketika harapan menuai kekecewaan. Barangkali ketika dia pulang rasa pahit itu masih menempel di rongga mulutnya. Tidak perlu kata-kata motivasi yang ditujukan untuk menguatkan, nikmati saja kekecewaan, kasih ragi, dan tunggu sampai siap dipanen menjadi dendam. Dendam adalah proklamasi, dan ledakan adalah kemerdekaan. Dinamit yang direndam dalam air hanya akan menggerogoti paru-paru, mengoyak usus duabelas jari, mengiris limpa, dan menikam ginjal. Tak heran banyak orang yang mencuci darah seumur hidupnya gara-gara sumbu yang dibakar telah padam sebelum menyentuh hulu ledak.

Kalau memang dia kecewa kepada Jakarta dan semua unsur yang ada di dalamnya, lalu kemudian dia meledak, entah dengan cara apa dia merayakannya : aku tidak tahu, karena manusia adalah akumulasi rahasia.

Segugus apresiasi mencuat ke permukaan ketika manusia telah memilih jalan, dan dia konsisten dengan jalan yang telah dipilihnya. Distorsi artinya mematahkan batang leher, dan pengkhianatan---seperti kata Dewi Lestari dalam Partikel : “ada dalam batin setiap manusia, hanya menunggu momen yang tepat untuk menyeruak, dirayakan, dan diamini sebagai titik terlemah dari kemanusiaan. Adalah semacam Brutus dalam sejarah Romawi, orang yang didesain untuk menancapkan belati ke punggung, menembus jantung, dan terkaparlah korban akibat pengkhianatannya. Atau ibarat Iago dalam pentas Othello, orang terdekat yang dirancang untuk mengingkari secara keji dan sistematis. Adalah virus yang disusupkan ke dalam system. Tak berdosa, membuai kita hingga waktunya tiba untuk bangun dan menyerang tanpa ampun.”      

Jika selama ini Olva tidak menyukai kopi, maka dia harus mulai mencobanya. Tapi kopi yang sederhana yang bersahaja, bukan kopi yang dieksploitasi secara komersil dan dijadikan sebagai media basa-basi. Olva bisa mencobanya di warung kopi pinggir gang sempit, menabur obrolan bersama para pengangguran, atau orang-orang yang tengah menepi dari kompetisi mengejar pundi-pundi seharian. Atau dia bisa mencoba caraku : “aku suka kopiku pekat dan nendang. Jika suatu saat kafein membuatku tumbang, setidaknya aku pernah merasakan tendangannya yang paling kencang.”

Ya, kini dia telah kembali kepada kota pemilik tanggal 10 November, ketika aku mulai terdampar pada tanggal sehari sebelumnya. Oh, barangkali bukan terdampar, sebab aku bukan Tom Hank dalam Cast Away yang hanya berkawan Wilson si bola voli yang direka sedemikian rupa dengan darah hanya untuk nampak seperti wajah seorang manusia. Kalau medan jalan yang dilalui terlalu berat untuk diperbaiki, maka performa mesin dan pengendara yang harus tahan banting, sebab bukan hanya long and winding road, tapi juga semesta yang bermuka sejuta. Sebab titian waktu bukan globe yang ada di ruang geografi, tapi penggaris yang jelas ujung-pangkalnya.

Apa kabar perempuan bermata juara?. Tampilan luar dengan sangat mudah terbakar sikap yang ditawarkan. Setiap orang mestinya tampil sebagai juara dengan menyanyikan hymne yang jernih dan bisa dipercaya, bukan sekedar bisa diandalkan.  Telah begitu banyak orang pintar yang meregang simpati karena ilmunya hanya menebar aroma mati. Para pesolek banyak yang tergolek dan tak berdaya ketika menyia-nyiakan kepercayaan. The Smith telah mengajarkan bahwa big mouth strike again. Pasti pukulan telak yang menghajar muka, ketika kolaborasi sikap dan jiwa hanya pandai menebar luka. Ini seperti sebuah pengingat bahwa Kurawa dan Pandawa sejatinya adalah perang abadi antara dua kubu yang bertemu di Kurusetra untuk mengobarkan perang Baratayudha.    

Dalam komplikasi relasi antar individu---seperti yang ditulis Oka Rusmini, “kita selalu asing mengunyah huruf-huruf dan memuntahkannya ketika pertikaian mulai mengalir dari kebisuan, dan membusungkan keangkuhan pada pilihan wujud itu, tapi aku mencoba khusyuk agar tidak berubah, pada warna tanah tempat berpijak.”

Di lembaga kehidupan yang mula-mula manusia itu belajar. Seperti pantai Ujung Genteng yang telah menemaniku tumbuh dan memberi pelajaran. Dalam keindahannya sore itu, ketika bola api jingga perlahan ditelan garis laut, alam telah mengajarkan : bahwa tidak seperti halnya manusia, alam tidak pernah sekali pun melakukan tebar pesona. Dia begitu jujur dalam wujudnya yang megah dan anggun.

Ah, sudah siang. Saatnya merendam baju, membuang kotoran-kotoran yang menempel dan memakai ulang setelah proses pembersihan yang cukup panjang. Selama masih hidup, akan selalu ada hal-hal yang belum selesai untuk dijalani. Sekarang, aku hanya berminat mencari katalog Oriflame. [ ]

itp, 6 Mei ‘12

No comments: