Ironi tumbuh di mana-mana. Pertunjukkan musik rock, metal, dan sejenisnya yang kental dengan semangat pemberontakan dan anti kemapanan dijual dengan tiket selangit. Log Zlebour yang dulu pernah berjaya dengan mengusung rock, sempat bertutur bahwa peta pertunjukkan kini sudah bergeser.
Dulu music rock digelar di daerah. Kota-kota kecil di Pulau Jawa rutin mengelar pertunjukkan music rock. Kini sebaliknya. Tengok saja, para penimat musik rock dan metal yang kebetulan kere tak mampu membeli tiket Java Rock in Land. Konser hanya terpusat di Jakarta dan sesekali di Bali, dan tiket dijual mahal, tapi untunglah masih ada Bandung Brisik.
Teater Koma mungkin menjadi satu-satunya yang mampu bertahan secara kreatif ketika pertunjukkan Wayang Bharata dan Srimulat gulung tikar. Para promotor lebih tertarik menampilkan para pemusik asing yang bersinar dengan bantuan lampu sorot media.
Begitu pun dengan para penonton terkini, mereka lebih tertarik menyaksikan Java Jazz yang terkesan lebih keren, dan terdengar seperti mengerti musik, dan lagi-lagi, semuanya dibandrol dengan harga yang menggantung di awan tinggi.
Kesenian, petunjukkan kebudayaan, dan segala jenis pagelaran lainnya tak ubahnya seperti manara gading yang tidak sanggup dijangkau rakyat yang pendapatannya berada di ambang batas garis kemiskinan.
Meskipun tidak terlampau mengembirakan, tapi di wilayah sastra setidaknya masih ada Forum Lingkar Pena yang masih tetap produktif dan terus melebarkan sayap organisasinya. Komunitas para penulis yang sangat kental hubungannnya dengan salah satu partai politik ini sedikit banyaknya telah ikut mewarnai peta pertumbuhan sastra di Indonesia, meskipun para pionirnya masih tetap belum berganti, masih yang itu-itu saja, masih Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja, dan Izzatul Jannah.
Organisasi penulis ini memikili banyak perwakilan di luar negeri, dan anggotanya mencapai ribuan orang. Tapi ada satu hal yang membuat organisasi ini terasa kurang “menghunjam” ke jantung sosial masyarakat luas, yaitu terlampau eksplisit dalam mengolah dan menyampaikan pesan. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai sastra ibadah.
Kalau kita sempat menengok ke beberapa surat kabar, terutama yang edisi Minggu, kita dapat menjumpai bahwa sebenarnya komunitas-komunitas kesenian dan sastra di daerah itu ada dan dijagai oleh para pelakonnya yang militan. Tapi komunitas-komunitas tersebut terasa lambat dan bahkan mandeg dalam perkembangannya.
Mereka tumbuh dalam kesepian, termaginalkan dari masyarakatnya sendiri. Orang-orang lebih gampang digiring ke depan televisi dan disuguhi opera sabun atau perlombaan calon bintang dengan bahan bakar karbit. Mereka lebih senang menyuntuki para bintang dengan mental editing daripada para seniman kere yang menjadi gembel kebudayaan.
Di titik inilah kita bisa mengengok ke belakang, kepada tahun-tahun sebelum gempa politik dahsyat memporak-porandakan sendi-sendi politik dan kebudayaan. Jauh sebelum perseteruan antara Lekra versus Manikebu memanas, sayap kebudayaan sebuah partai yang sering kita anggap setan, bahkan lebih mengerikan dari setan itu, telah menggoreskan sebuah jejak sejarah, yang barangkali masih relevan kita bandingkan dengan kondisi sekarang.
Dalam buku yang berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, kita bisa mengikuti jejak rekamnya. Selama 15 tahun semenjak kelahirannya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya divonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia.
"Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong-persegi raut Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni rakyat."
Sastra masuk ke kampung dan pabrik-pabrik. Masyarakat belajar menulis puisi, anak-anak muda dibina menulis cerpen dan novel. Dongeng-dongeng Nusantara direvitalisasi dan dipanggungkan di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Di wilayah musik, lagu-lagu daerah dikumpulkan dan diperkenalkan secara nasional. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru, bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme.
Kesenian tidak berhenti hanya sebatas seni untuk seni, tapi juga menjadi bahan bakar perlawanan. Amerika Serikat yang waktu itu otomatis menjadi lawan politik, karena Indonesia lebih condong ke Uni Soviet, tidak pernah berhenti diserang dengan propaganda.
Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes.
Meski tidak bisa lepas dari propaganda politik komunis yang kental, dan kita sadar ataupun tidak, masih sangat takut untuk banyak omong mengenai partai terlarang tersebut, tapi sedikit banyaknya kita bisa belajar dari sayap kebudayaan partai tersebut yang dihuni oleh para cendikiawan organik yang bertalenta.
Barangkali kita tidak perlu tahu petitih sakti Nelson Mandela yang beresonansi di langit Jakarta, tepat pada Hari Kesaktian Pancasila, saat keturunan tokoh bangsa yang pernah terlibat konflik di masa lalu berkumpul di gedung tempat MPR bersidang.
Di podium kehormatan secara bergantian tampil Chaterine Pandjaitan (putri pahlawan revolusi, Mayjen DI Pandjaitan), Ilham Aidit (putra pemimpin PKI, DN Aidit), Sarjono Kartosuwiryo (putra Imam Besar DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra mantan KSAU Marsekal Omar Dani), Sukmawati Soekarnoputri (putri Presiden Soekarno), Hutomo Mandala Putra (putra Presiden Soeharto), dan lainnya. Mereka melantunkan kesaksian (testimony), penyesalan (repentance), dan pengasihan (compassion), seperti yang sering dianjurkan teolog rekonsiliasi Afrika Selatan, Desmond Tutu.
Mungkin resonansi yang diperlukan di parit-parit kebudayaan kita sekarang adalah sebuah gerakan semesta yang tidak menganaktirikan salah satu komponen anggota kehidupan sosial yang terus berdenyut. Tidak memarginalkan akar rumput dengan hanya disuguhi produk-produk kebudayaan yang instant, tak banyak pikir, hanya mengedepankan gebyar, dan sekaligus mahal.
Jika hal ini diabaikan, maka jangan heran jika sastra, seni, dan kebudayaan selamanya hanya akan menjadi makhluk tiada guna, atau hanya naik kelas menjadi sebatas penghibur saja, dan foto para seniman hanya menjadi gantungan kunci pintu kamar. [ ]
itp, 27 Okt '11
Ilustrasi: Pantai Minajaya
No comments:
Post a Comment