14 May 2012

LAPORAN SABTU – AHAD (1)

*** Dari Cakung ke GBK; Parade Pertempuran ***

Setelah menyelesaikan catatan mengenai penjiplakan novel Bukan Pasar Malam, saya kembali membaca secara keseluruhan, perlahan-lahan. Nyata sekali sekarang, buku itu membuat saya menggigil. Aroma mistik dan kesedihan didadarkan secara kelam oleh penulisnya. Tumpang tindih antara kenangan, kepahitan hidup, dan perasaan sentimental terhadap keluarga begitu menusuk, lalu dipungkas oleh sebuah paragraph yang terkesan temaram, misterius, dan sekaligus perenungan :

“Kemudian ia pergi. Kuantarkan ia sampai di pagar. Dan dengan tiada terduga-duga malam cepat-cepat datang. Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang merek apergi. Dan yang belum pergi dengam cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana…”

Di palung paling akhir paragraph ini saya bisa meraba kembali siapa sebenarnya Pram. Saya kira, pada kalimat “menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana…”, adalah batu tapal kepercayaan. Ini masalah ke mana kembali. Ketika hidup manusia tamat, dan ke mana dia akan kembali, adalah segaris kepercayaan yang beragam. Dalam buku “Pram Melawan! : Dari Perkara Sex, Lekra, PKI, sampai Proses Kreatif” yang disusun oleh P. Hasudungan Sirait, dkk. dan diterbitkan oleh penerbit Nalar, Pram menyatakan bahwa konsep kembali kepada Tuhan tidak ada. Mati, mati saja. Sama seperti hewan dan tumbuhan. Surga dan neraka adalah omong kosong belaka. Di titik inilah, bagi saya, menikmati buku-buku Pram bukan berarti membebek keyakinan dan kepercayaannya, tapi  belajar mengolah diksi dan menyalakan terus semangat. Ya, semangat menulis.

Pada laporan yang pertama ini, di hari ketika 10 November belum lama lewat, orang-orang kembali bergenit dengan komposisi angka. Sabtu yang tengah dipeluk tanggal 12 November, tepat sehari setelah catatan administrative mengarahkan lampu sorotnya kepada 11.11.11, acara pernikahan masih saja berderet-deret, tak terkecuali di Cakung. Ihwal Cakung ini awalnya memang digarami oleh sepenggal cerita tentang pertempuran yang dikenangkan oleh seorang anak revolusi ketika melewati kembali daerah tersebut dengan menggunakan kereta. Ya, di bagian awal, tepatnya di bagian kedua novel Bukan Pasar Malam. Begini bunyinya :

“Dan sekilas teringat olehku : pasukan pemuda yang terdesak oleh kekayaan senjata asing sampai di seberang kali Cakung.

Kemudian kereta pun sampailah di Cakung. Banyak sekali kenang-kenanganku yang terikat pada dusun kecil itu. Cakung---dalam lingkaran kebun karet, di mana berganti-ganti pasukan pemuda terkurung dan kemudian pasukan asing.”

Dan di sabtu itu, saya mendapati diri tengah duduk di sebuah resepsi pernikahan di daerah Cakung Timur. Panas begitu menggoda, melelehkan keringat yang tidak bisa ditahan oleh saputangan, apalagi tissue. Penggalan cerita di novel itu seketika menyambar-nyambar ingatan. Cakung---yang digambarkan Pram adalah daerah yang dikuasai kebun karet, ternyata kini, berpuluh tahun setelahnya, adalah daerah yang dikuasai oleh hawa panas dan centang perenang perumahan penduduk yang tidak teratur. Sungainya begitu jorok, debu mengepung, dan beberapa pohon tak banyak menolong.

Dari balik kaca mobil saya tak sempat menghitung ada berapa janur yang terpasang di setiap gang. Daun kelapa muda yang dibuat cantik itu hampir-hampir saja menguasai setiap gang yang saya lewati. Tapi janur tidak sendirian, adakalanya di sebuah gang, janur tersebut berdampingan dengan bendera kuning. Ya, gerbang menuju kelahiran begitu karib dengan lambang kematian. Ada yang akan datang, dan ada yang pergi. Semuanya dipergilirkan, dan bendera kuning itu adalah simbol giliran yang selalu mengundang ledakkan. Mencemaskan giliran tanpa mengetahui jadwal adalah sumbu setiap kejutan.

Nuansa Betawi begitu terasa ketika datang ke acara pernikahan yang kedua, kali ini di Cakung Barat. Sejarah kembali berulang. Waktu Belanda mengusai Jakarta, pasukan republik memperkuat basis di Kranji, Tambun, Cakung, Cikarang, Lemah Abang, dan daerah-daerah di sekitar Jakarta lainnya. Pasukan pribumi itu hanya berada di pinggiran ibukota. Dan kini, orang-orang Betawi pun terpinggirkan. Ketika para pendatang dan kaum pemodal menaklukkan Jakarta, mereka menepi ke daerah-daerah sekitar Bekasi, Depok, dan Bogor, tak terkecuali Cakung.

Irama marawis begitu hingar-bingar waktu saya membayangkan sebuah pertempuran. Para pemuda yang berani menikah itu, saya pikir, adalah para penakluk keraguan. Pertempuran dalam dirinya pasti sempat berkobar; menimbang materi, kecocokkan keluarga, masadepan, menyingkirkan ego, dan menghitung serasional mungkin agar dia yakin, bahwa menikah dengan perempuan yang dipilihnya bukanlah sebuah langkah terburu-buru demi menyalurkan hasrat yang menderu. Dan ini di Cakung, pikiran itu timbul tenggelam, berganti-gantian dengan bayangan pertempuan di jaman revolusi. Sementara keringat masih leleh dari dahi, hawa panas entah  kapan akan berhenti mengusai.

***

Kemudian hari yang baru datang dengan megahnya. Sabtu tutup usia, dan Ahad menggantinya dengan harapan dan semangat baru. Berita-berita seputar SEA GAMES ke-26 mengepung hampir semua media. Lalu ada sebuah aliran semangat yang hinggap di dada seorang kawan. Pagi itu, ketika secangkir semangat baru saja diseduh, dan koran baru sampai di halaman 12, dia berucap, “Bung, nanti sore lawan Thailand. Meluncur kita?!”.

Sepanjang jalan tidak begitu ramai dengan warna merah. Atribut timnas seperti istirahat setelah lelah mengikuti debat kusir para pengurus PSSI. Dead lock membelah kompetisi, dan ego masing-masing pengurus melambung tinggi, merangsang air liur untuk disemburkan. Persatuan t** k****g menyembelih anak kandungnya sendiri; kompetisi terkatung-katung dan periuk nasi ribuan manusia yang menggantungkan nafkahnya dari sepakbola terseret ke bibir jurang. Garuda senior dengan nakhoda seorang bule provokatif telah mati dengan sempurna di Pra Piala Dunia. Kecewa itu belum reda sepenuhnya dari para pecinta si kulit bundar waktu Garuda rebah diterkam Macan Malaya dengan sangat menyakitkan. Perilaku penuh manuver para pengelola sepakbola negeri ini lebih menjengkelkan daripada mental para pemain yang seringkali kedodoran.

Di tribun atas sektor 15 GBK, di tengah bunyi trompet yang tak mau berhenti menjerit, pasukan Garuda Muda besutan Rachmad Darmawan tampil meyakinkan. Ya, kursi stadion tua itu penuh kembali, lautan merah berkuasa, dan beragam suara dukungan seperti hendak membelah langit Jakarta. Inilah romantika sepakbola. Ribuan kali dikecewakan, pahit, kekalahan demi kekalahan, menyakitkan, membungkam. Tapi ribuan kali juga dukungan itu kembali datang. Semangat mengalir di jalan-jalan. Tranportasi publik sesak oleh api. Sekali ini apa yang dinamakan orang banyak sebagai nasionalisme, saya kira,  tidak perlu dibicarakan, rasakan saja.

Dan pertempuran menderu-deru di arena pertandingan. Gajah Putih diganjar kartu merah dua kali, dalam pincang yang mengguncang mereka dilumat jagoan-jagoan muda Merah Putih : 3-1 !!. Tapi barangkali ada yang lebih menderu melebihi pertandingan. Keberanian macam apa yang membuat anak-anak muda itu terjun ke kancah olahraga dan membaktikan dirinya sebagai atlet pembela bangsa?. Bukankah riwayat kesudahan para atlet nasional seringkali menyedihkan?. Ketika prestasi hancur digerogoti usia, dan mata kamera mulai enggan menyorotnya, mereka, para atlet itu hanya bisa terpuruk dalam badai kenangan tentang saat-saat mengharukan dan penuh sanjung puja sebagai pahlawan olahraga. Sekali lagi pertempuran terjadi di sini. Di dalam diri para atlet yang memilih jalan olahraga sebagai jalan hidupnya. Dan di sini, seperti kata kawan saya, di tanah air tempat para kafilah bromocorah beraksi di sektor-sektor public, barangkali harapan hanya boleh disandarkan pada diri sendiri dan pada Tuhan. [ ]

itp, 14 Nov ‘11

No comments: