14 May 2012

Generasi Berdurasi Pendek

“Mengenai calon presiden, siapa yang ideal menurut Anda?”

“Budiman Sudjatmiko. Saya tidak ragu. Dia punya kelebihan dibandingkan dengan Soekarno yang ideolog. Selain ideolog, Budiman juga organisator.”

***

Sejumlah penulis tidak ragu untuk menyebutkan kematian Tan Malaka dengan kalimat “Revolusi memakan anak kandungnya sendiri.” Tampaknya pernyataan itu tidak berlebihan karena jika kita mau membaca sejarah tentang sepak terjang Tan Malaka dan akhir hidupnya yang tragis, maka akan didapati sebuah ironi tentang penggagas negara Indonesia yang hidupnya berakhir dimakan peluru tajam tentara dari negara yang pernah diperjuangkannya. Tapi Tan Malaka hanya mati secara biologis, sebab ide, gagasan, dan riwayat kehidupannya sampai saat ini masih ramai diteliti, ditulis, dan diperbanyak lewat buku. “Suaraku akan lebih keras dari dalam kubur,” ternyata pernyataannya itu benar belaka. Dan sejarah tidak pernah sama lagi setelah itu. Bahkan sampai hari ini.

Hari-hari belakangan ini, ketika keprihatinan menggantung tebal di langit hukum kita yang berderak-derak, tiangnya condong hampir rubuh dan tak tegak, sebuah pertanyaan kemudian muncul : apa kabar politisi muda kita?. Ketika media terlampau vulgar menggelar tontonan bersekual bak drama opera sabun tentang kasus Century, Gayus dan Cirus, korupsi sarana olahraga Sea Games dengan tokoh antagonisnya Nazarudin, kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit-Chandra yang melahirkan jargon cicak vs buaya, sampai episode terbaru berjudul KPK versus Banggar, tiba-tiba saja kita merindukan orang-orang muda yang pernah lantang dan bersama-sama menentang Orde Harto.  

Dialog yang saya kutip di awal tulisan ini adalah bagaimana mantapnya jawaban seorang Pramoedya Ananta Toer, seorang yang sering bolak-balik menjadi nominasi peraih nobel sastra yang pasca gempa politik 65 selalu tidak pernah percaya kepada partai politik lokal yang bernaung di bawah orba, tiba-tiba saja menjadi anggota kehormatan PRD yang di dalamnya digawangi oleh anak-anak muda seperti Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari. Pram begitu yakin dengan anak-anak muda. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan pada tahun 1999 yang kemudian dibukukan dengan judul Saya Terbakar Amarah Sendirian, Pram menegaskan bahwa masadepan bangsa ini ada di tangan angkatan muda. Mau hitam atau putih semuanya terserah angkatan muda, dia sudah tidak percaya kepada angkatan tua, semuanya tanpa kecuali. Pram menjelaskan bahwa semenjak bangsa ini masih dalam embrio, yang mula-mula menggagasnya adalah anak-anak muda yang sedang sekolah di Belanda. Dia memang tidak sedang membahas nostalgia sejarah, tapi yakin, benar-benar yakin, bahwa angkatan mudalah yang selalu menajdi pelopor semua pergerakan di republik ini.

Saya masih berseragam putih-biru ketika gerakan reformasi mencapai titik didihnya yang paling panas. Mahasiswa dan pemuda merajai jalan-jalan dan gedung-gedung penting ibukota. Lalu massa larut dalam euphoria. Tapi mesti diingat bahwa Mei 1998 adalah ledakan dari pembakaran sumbu tahun-tahun sebelumnya. Bukankah aktivis-aktivis PRD ditangkap ketika terjadi kasus di Jalan Diponegoro?. Bukankah di tahun yang sama juga Wiji Thukul hilang dan tak tak pernah ditemukan lagi?. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, tanggal 28 Oktober 1978, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang.

Orba rupanya lupa bahwa ketakutan rakyat yang bertahun-tahun ditekan ternyata akan menemui akhir. Rakyat lama kelamaan bosan dengan ketakutannya sendiri. Dan momentum itu akhirnya datang; hutang negara banyak yang jatuh tempo, lilitan itu membuat ekonomi nasional pontang-panting, harga naik, rakyat lapar, dan ketakutan sudah naik sampai leher. Chaos memakan korban, mahasiswa menekan, penguasa 32 tahun tak dapat dukungan ulama dan tokoh-tokoh nasional, maka episode sebuah rezim pun berakhir. Setelah itu Indonesia menjadi sebuah pasar yang gaduh oleh para penjual partai politik. Anak-anak muda yang begitu cemerlang satu-persatu merapat ke partai politik, terus berkelanjutan sampai akhirnya---menurut saya---mencapai klimak  ketika Budiman Sudjatmiko resmi bergabung dengan PDIP.

On the right track, begitu kata Budiman Sudjatmiko waktu menerangkan perjalanannya setelah mengundurkan diri dari PRD pada tahun 2002, lalu kuliah lagi ke Inggris, dan waktu pulang ke tanah air langsung bergabung dengan partai Megawati tersebut. Siapa pun pasti tahu, PDIP dengan Megawatinya adalah partai status quo. Megawati bak arca yang tak bisa geser sedikit pun. Orang-orang seperti Roy B.B. Janis, Laksamana Sukardi, Aripin Panigoro, dan Sophan Sopian adalah kader-kader yang kecewa dan frustasi dengan system politik dinasti di PDIP dan menutup kader-kadernya untuk “muncul” atau diorbitkan. Maka kader-kader senior partai banteng moncong putih ini akhirnya membentuk Partai Demokrasi Pembaruan. Sebagai awam, saya menilai lucu sekali dengan langkah Budiman untuk akhirnya bergabung dengan PDIP. Kalau alasan historis yang dikedepankan memang bisa dilihat jejak riwayatnya di mana ketika kasus “Jalan Diponegoro” pecah, PRD dan Budiman memang sering dikait-kaitkan. Tapi bagi Budiman Sudjatmiko yang selama ini dibesarkan oleh gerakan dan pemikiran progressif, reformis, bahkan revolusioner, serta teruji dalam organisasi yang dicap subversive dan berhadapan secara frontal dengan rezim militer orde baru, maka langkah Budiman ini tak lebih dari sebuah blunder. Sebuah lukisan realis dapat dilihat bahwa idealisme harus bertekuk lutut oleh banyak kepentingan. Dan inilah yang disebut Budiman sebagai on the right track.


“Tragedy” terus berlanjut. Dita Indah Sari yang riwayat sepak terjangnya berliku dengan gerakan-gerakan buruh akhirnya meninggalkan PRD lalu merapat ke Partai Bintang Reformasi. Bersama Bursah Zarnubi, Dita membawa partai pecahan PPP itu lebih ke kiri. Beberapa pengamat politik menuding Dita telah membawa PBR ke arah komunis, dan konstituennya sempat khawatir dengan manuver ini, tapi kemudian hal ini dibantah oleh Dita. Dalam sebuah wawancara dengan INILAH.COM, Dita mengatakan, “Saya di dalamnya biasa-biasa saja. Masih Islami kok. Malah program PBR saat ini adalah grebeg masjid. Program ini dilakukan sepanjang bulan puasa, di mana kader-kader PBR disuruh membersihkan masjid di dapilnya masing-masing.” PBR kemudian ikut bertarung, tapi suaranya jeblok, rakyat lebih terbius oleh partai biru yang mempunyai pemimpin dengan pencitraan sangat kuat. Dita adalah contoh angkatan muda yang “gugur” di palagan pemilu era reformasi.

Kita bergeser ke arah “kemakmuran”. Beberapa angkatan muda berhasil melenggang ke Senayan dengan kendaraan partainya masing-masing. Di permulaan kampanye atau debat antar tokoh muda partai, dengan badan masih kurus-kurus, nama-nama seperti Anis Matta, Muhaimin Iskandar, dan Fachri Hamzah tampak terlihat cemerlang dengan ide-idenya. Tapi ternyata tidak mudah mempertahankan “warna” di tengah pasar ide dan gagasan yang sangat gaduh di Senayan. PKS dengan bermodal pasukan anak muda yang terdidik di kampus-kampus dan cukup idealis, sekarang cenderung memihak kepada prgmatisme. Maka tak heran jika akhirnya perbedaan faksi-faksi di partai “ikhwan” itu semakin meruncing, yang akhirnya melahirkan FKP (Forum Kader Peduli) yang berisi kader-kader yang kecewa dan keluar dari partai, juga yang cukup fenomenal adalah dengan hadirnya pkswatch.blogspot.com yang berisi tulisan-tulisan yang mengkritisi dengan keras kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para elit PKS. Partai dengan jargon “Bersih, Peduli, Profesional” ini pecah kongsi. Sebagian angkatan mudanya menjauh dan sebagian lagi larut dengan kegaduhan Senayan. Saya kira cerita apa pun tentang Muhaimin Iskandar di masalalu akan menjadi sekunder dengan mencuatnya kasus korupsi di Kemenakertrans yang melibatkan orang-orang PKB.

Waktu terus bergerak rancak, berita-berita politik semakin merajai televisi-televisi yang mengklaim dirinya sebagai statiun berita meniru CNN dan BBC. Dari industry media inilah kita kemudian mengenal Bima Arya Sugiarto, seorang pengamat politik yang cukup cerdas. Pandangan-pandangannya segar dan terlihat bahwa dia menguasai bidangnya. Bima menjadi harapan tersendiri bagi media yang berfungsi sebagai pendidikan politik publik di tengah kepungan statiun televisi yang doyan menyiarkan opera sabun yang jarang berjejak ke bumi. Tapi lagi-lagi angin berhembus melawan arah harapan : Bima Arya memutuskan bergabung dengan PAN dan kemudian perlahan menghilang dari dialog-dialog politik di televisi. Apa kabar dengan PAN?. Apakah kuping kita sudah reda dari badai pemberitaan Kemenhut yang diduga korupsi dan Kemenhukam yang dinilai kinerjanya hancur dengan kasus hotel prodeo mewah milik Ayin, remisi bagi para koruptor, bom terus meledak, peredaran narkoba di lapas, sampai statement kontroversial sang menteri menanggapi kasus pemancungan Ruyati. Bukankah Zulkifli Hasan dan Patrialis Akbar berasal dari partai matahari itu?.

Apa kabar para politisi artis?. Ke mana Rieke Dyah Pitaloka, Nova Riyanti Yusuf, Wanda Hamidah, Nurul Arifin, dan rombongan pelawak?. Apakah semuanya terbenam di komisi X?. Saya tidak tahu hasil kerja komisi seni dan budaya, yang jelas saya mendapati kenyataan bahwa JIFFEST selalu kekurangan dana dan “mengemis” mencari sponsor demi mempertahankan gelaran budaya yang kaya akan usaha perluasan wawasan, wacana, dan penyegaran jiwa itu. Musik underground masih sulit mendapat ijin untuk menggelar panggung bersama, dan banyak agenda-agenda seni dan budaya yang terbengkalai karena ketiadaan dana.

Ini adalah antiklimak dari sebuah gerakan. Ibarat karya seni peradaban, angkatan muda yang pernah begitu memberikan harapan itu kini terbenam dalam pergaulan politik yang masih didominasi orang-orang tua, yang celakanya mereka seringkali menjadi epigon yang tidak berdaya. Sebuah magnum opus telah lewat. Dalam sebuah tulisannya di jakartabeat.net dalam rangka memperingati kelahiran grunge, M. Taufiqurrahman menulis : “Lebih dari semua itu, tulisan-tulisan edisi khusus grunge ini hendak melihat ke belakang untuk membantu menentukan sebenarnya seberapa jauh kita berjalan. Mengapa teman-teman politisi muda kita memilih menjadi anggota partai dan menjadi korup ketika seharusnya mereka menolak mendapat reward apapun dari kerja mereka. Atau kalau itupun terlalu mahal mungkin kita bisa menilai seberapa jauh kita sebagai pribadi mengalami kemunduran. Tragis memang ketika kita hanya bisa mengingat hari-hari heroik itu telah berlalu dan semua menjadi normal kembali.”

Ah, barangkali saya terlampau banyak berkicau, padahal mungkin menulis nama tokoh dan kroscek kebenaran berita pun masih salah. Tapi apa boleh buat, sebab manusia tanpa harapan adalah mayat berjalan. Dan sebuah lirik untuk improvisasi jazz tidak lebih menarik dari pada Twilight Saga Stephenie Meyer. [ ]

1 Okt ‘11

No comments: