14 May 2012

Bagaimana Mungkin Saya Berhenti Menulis?

BMSBM?. Mata itu berkilauan tak mau ditundukkan. Sorotnya menembus telaga darah yang menggenang di dalam, mengganggu tidur di bawah guyuran kipas angin yang tak bosan berputar. Menjajah setiap kemungkinan untuk diredakan dengan meracau lewat bahasa, menimbun kosa kata, dan menyisipkan istilah asing di kanal-kanal mesin pencari yang bikin pusing. Hasrat bawaan tidak bisa dibiarkan hanya lewat dan akhirnya di station kenangan, dia harus senantiasa ditangkap dan diawetkan dalam kotak pustaka dengan cara menjahit dan menambal sulam kata-kata. Saya berterimakasih kepada Cecep Syamsul Hari yang telah meledakkan segugus teori, “Di luar jendela para penyair, borgol dan selongsong peluru mengubah dirinya menjadi bahasa.” Matahari yang bersinar anggun di pedalaman rasa, yang seringkali sengaja dibenamkan dengan sebuah lagu Efek Rumah Kaca, rupanya tidak bisa benar-benar tenggelam. Cahayanya mungkin bisa ditutup dengan selimut tebal penyamaran, tapi hangatnya siapa yang bisa menyangkal?.

BMSBM?. Seonggok daging dan belulang yang diliputi ruh mencoba mengukur jarak antara gantungan kunci kepala singa dengan tanah arena perjuangan Sunan Gunung Jati. Aroma sepi menyengat di tengah kehidupan yang profan, lalu teringat sepotong “katanya” : Katanya jika hendak tenang hati maka salah satu yang harus dilakukan adalah “melek” malam. Bertafakur kalau saya tidak salah ingatan dalam mendengar. Mari kita memetik pelajaran tentang kesenangan sederhana, di manapun kita berjejak maka gerakkanlah tanganmu itu untuk menulis. Di hotel berbintang dengan fasilitas kopi tinggal seduh, maupun di 3x3 kamar kost dengan fasilitas kopi sachet di warung sebelah, kesempatan itu selalu ada. Operasi persalianan bisa dilakukan di mana-mana.

BMSBM?. Kata-kata puitis dengan kesulitan tafsir yang cukup, tiba-tiba menyerang seumpama jutaan ubur-ubur di Pulau Kakaban. Cara membaca yang sekilas tidak mungkin dapat mengail satu dua maksa, apalagi secara keseluruhan. Lengkingan senyawa metafor mengalir lancar di parit-parit cerita, menggoda, menggelitik imajinasi para penyimak setia. Makna barangkali bersembunyi di balik lapis-lapis jembatan kalimat. Dan menariknya, pelakonnya begitu produktif melahirkan serbuk-serbuk multitafsir.

BMSBM?. Ketika penyimak setia mengorekan segugus catatan, maka gelanggang kembali bergemuruh, seumpama cheerleaders menyoraki pemain basket yang sedang berbanjir peluh. Ini kemudian mencuatkan kembali kesadaran yang hampir luruh, bahwa gelanggang ini, seperti juga pada mulanya, memang bukan sebuah ceruk yang padat manfaat, tapi hanya sepotong kisah tentang republik imajiner yang dibahan bakari oleh semangat, semangat bertutur dengan tulisan, dan mencoba mengistirahatkan lisan.

BMSBM?. Sirkulasi pernah terjadi. Orang-orang datang dan pergi, atau hanya diam tanpa ada yang dinanti. Di manapun telapak kaki mencium bau bumi, mudah-mudahan (kawan-kawan) semuanya baik-baik saja. Semoga semuanya senantiasa dalam keadaan sehat sentosa, sejahtera, dan masih bisa tersenyum atau bahkan tertawa gilang gemilang dalam rangka melejitkan syukur kepada hidup yang masih memberi kesempatan. Ingin rasanya saya membuat cerita-cerita pendek, atau mungkin puisi, dengan latar perkebunan kelapa sawit, Pulau Derawan, ladang tambang, patung Nurtanio, pabrik cigarette, gunung Rinjani, kota di perbatasan provinsi, kampus berjaket kuning, kampus di jalan Soekarno Hatta, dan masih banyak lagi. Apa kabar semuanya?. Dan do’a selalu bisa diandalkan untuk menjadi senjata. [ ]

itp, 29 Okt '11

No comments: