Dua kamar. Bersisian. Dibatasi dinding tipis.
Cantik. Asli, Ladya Cheryl terlihat cantik waktu berjalan di red carpet Festival Film Berlin. Sekilas mirip Gong Li, tapi kalau dilihatnya tidak sekilas jadi tidak mirip.
Kamar sebelah terdengar sedikit ribut. Anak-anak itu, yang dalam perkiraan saya masih berusia dalam kepala dua awal, seperti sedang meradang. Tapi suaranya tidak jelas, lagi pula saya sedang konsentrasi dengan Youtube.
Nicholas Saputra, Edwin, dan Ladya Cheryl menjadi pemula di kalangan sineas Indonesia yang menjejakkan kakinya di 17 besar Festival Film Berlin : Kebun Binatang (Postcard from The Zoo).
Seorang lelaki dengan postur militer dan berwarna agak gelap datang, menghampiri kamar sebelah. Dan terdengar agak serempak, “Selamat malam Ndan!”.
Saya lari ke trailer, ah sayang hanya dari belakang. Tapi cukup berani untuk ukuran artis yang dikenal bukan sebagai pemeran film panas. Setelah Babi Buta yang Ingin Terbang, rupanya Edwin dan Ladya masih melanjutkan kerjasamanya.
Dari sebelah, yang dipanggil “Ndan” terdengar mulai bicara, “Tenang, kalian jangan dulu mengambil sikap frontal, biar saya dan kawan-kawan yang lebih tua yang akan maju dulu…” Belum selesai bicara, dia langsung dipotong, “Tapi Ndan, kita ini pergi dari kampung buat kerja, sementara uang sudah habis, tapi kepastian kapan mulai kerja belum juga jelas!.” Ndan kembali mencoba menjelaskan, sekaligus meredam anak buahnya yang mulai meradang.
Setiapkali mengambil gambar manusia, posisi kamera selalu berada di balik kandang, sehingga gambar manusia terhalang barisan jeruji yang menjadikannya seperti terkurung. Persepsi dibalik. Manusia yang terkungkung. Di tangan Edwin, kebun binatang sebagai tempat wisata klasik dan purba terasa begitu sunyi. Sayang soundtracknya bukan No Surprises.
Di tangan Ndan ponsel sedang tersambung dengan nomor yang lain. Ndan sedang melobi atasannya untuk membantu anak buahnya yang terjepit di tengah keputusan yang tidak jelas. “Pak, waktu perusahaan membutuhkan pekerja baru, satpam baru, saya langsung pulang kampung, mengajak anak-anak yang mau kerja di sini. Dan mereka pun antusias, ibu-bapaknya berusaha mencari uang lebih untuk ongkos dan bekal hidup di Jakarta. Tapi sekarang setelah pelatihan itu, setelah panas-panasan ala militer itu, kepastian kerja buat anak-anak belum juga ada. Tolong dibantu Pak, saya tidak enak sama anak-anak.”
Anomali. Mula hidup tidak berpijak dari keluarga. Ladya kecil sedang bermain dengan beberapa ekor anak ayam, di kebun binatang, sendirian. Setelah besar bertemu dengan pesulap. Lalu pesulap menghilang, dan dia hidup sebagai tukang pijat plus. Kemudian dia pulang kembali ke kebun binatang.
Kenangan selalu berjarak dengan keadaan sekarang. Seperti Ladya dengan keluarganya dalam samar ingatan, juga dengan masa kecilnya di kebun binatang. Seperti hasrat manusia yang ingin menyentuh kepala jerapah yang tinggi. Di mana-mana hidup selalu ada jarak, juga di keputusan-keputusan yang bimbang, yang mengombang-ambing Ndan dan anak buahnya. [ ]
28/2/2012
Cantik. Asli, Ladya Cheryl terlihat cantik waktu berjalan di red carpet Festival Film Berlin. Sekilas mirip Gong Li, tapi kalau dilihatnya tidak sekilas jadi tidak mirip.
Kamar sebelah terdengar sedikit ribut. Anak-anak itu, yang dalam perkiraan saya masih berusia dalam kepala dua awal, seperti sedang meradang. Tapi suaranya tidak jelas, lagi pula saya sedang konsentrasi dengan Youtube.
Nicholas Saputra, Edwin, dan Ladya Cheryl menjadi pemula di kalangan sineas Indonesia yang menjejakkan kakinya di 17 besar Festival Film Berlin : Kebun Binatang (Postcard from The Zoo).
Seorang lelaki dengan postur militer dan berwarna agak gelap datang, menghampiri kamar sebelah. Dan terdengar agak serempak, “Selamat malam Ndan!”.
Saya lari ke trailer, ah sayang hanya dari belakang. Tapi cukup berani untuk ukuran artis yang dikenal bukan sebagai pemeran film panas. Setelah Babi Buta yang Ingin Terbang, rupanya Edwin dan Ladya masih melanjutkan kerjasamanya.
Dari sebelah, yang dipanggil “Ndan” terdengar mulai bicara, “Tenang, kalian jangan dulu mengambil sikap frontal, biar saya dan kawan-kawan yang lebih tua yang akan maju dulu…” Belum selesai bicara, dia langsung dipotong, “Tapi Ndan, kita ini pergi dari kampung buat kerja, sementara uang sudah habis, tapi kepastian kapan mulai kerja belum juga jelas!.” Ndan kembali mencoba menjelaskan, sekaligus meredam anak buahnya yang mulai meradang.
Setiapkali mengambil gambar manusia, posisi kamera selalu berada di balik kandang, sehingga gambar manusia terhalang barisan jeruji yang menjadikannya seperti terkurung. Persepsi dibalik. Manusia yang terkungkung. Di tangan Edwin, kebun binatang sebagai tempat wisata klasik dan purba terasa begitu sunyi. Sayang soundtracknya bukan No Surprises.
Di tangan Ndan ponsel sedang tersambung dengan nomor yang lain. Ndan sedang melobi atasannya untuk membantu anak buahnya yang terjepit di tengah keputusan yang tidak jelas. “Pak, waktu perusahaan membutuhkan pekerja baru, satpam baru, saya langsung pulang kampung, mengajak anak-anak yang mau kerja di sini. Dan mereka pun antusias, ibu-bapaknya berusaha mencari uang lebih untuk ongkos dan bekal hidup di Jakarta. Tapi sekarang setelah pelatihan itu, setelah panas-panasan ala militer itu, kepastian kerja buat anak-anak belum juga ada. Tolong dibantu Pak, saya tidak enak sama anak-anak.”
Anomali. Mula hidup tidak berpijak dari keluarga. Ladya kecil sedang bermain dengan beberapa ekor anak ayam, di kebun binatang, sendirian. Setelah besar bertemu dengan pesulap. Lalu pesulap menghilang, dan dia hidup sebagai tukang pijat plus. Kemudian dia pulang kembali ke kebun binatang.
Kenangan selalu berjarak dengan keadaan sekarang. Seperti Ladya dengan keluarganya dalam samar ingatan, juga dengan masa kecilnya di kebun binatang. Seperti hasrat manusia yang ingin menyentuh kepala jerapah yang tinggi. Di mana-mana hidup selalu ada jarak, juga di keputusan-keputusan yang bimbang, yang mengombang-ambing Ndan dan anak buahnya. [ ]
28/2/2012
No comments:
Post a Comment