Hal
ini sebenarnya sudah lama ingin saya tulis. Tapi karena rutinitas
sehari-hari diberati oleh pekerjaan-pekerjaan kantor dan nonton tv,
maka persoalan ini jadilah seumpama mayat yang tersimpan di peti es;
dingin dan terlupakan. Niat untuk menuliskannya timbul kembali setelah
membaca beberapa tulisan ihwal kasus plagiasi di harian Lampung Post dan
harian Kompas. Adalah Dadang Ari Murtono yang cerpennya berjudul
PEREMPUAN TUA DALAM RASHOMON ternyata adalah hasil plagiasi dari cerita
RASHOMON karya seorang cerpenis terbaik Jepang bernama Akutagawa
Ryunosuke.
Satu lagi yang menyemangati saya untuk menulis adalah tulisan Akmal Nasery Basral yang mengkritisi cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul DODOLIT DODOLIBRET. Cerpen Seno ini berhasil masuk ke dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2010, yang padahal menurut Akmal, cerpen ini adalah plagiasi dari karya Leo Tolstoy yang berjudul THREE HERMITS.
Dua kasus plagiasi inilah yang membuat saya kembali teringat dengan cerpen karya Kukuh Setyo Prakoso (selanjutnya ditulis Kukuh), yang dimuat di Majalah Islam Sabili No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429. Untuk lebih menjelaskan edisi yang mana majalah itu pernah ditumbuhi gulma, pernah memuat sebuah cerpen plagiat, maka saya tambahkan beberapa keterangan sebagai berikut : tulisan di sampul depan majalah berbunyi “America game Over”, dan gambar sampulnya : ikan hiu hendak memakan patung Liberty.
Cerpen Kukuh yang dimuat di majalah Sabili berjudul PULANG. Cerpen tersebut adalah hasil plagiasi dari novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul BUKAN PASAR MALAM. Sebelum saya membuktikan bahwa cerpen tersebut adalah benar-benar plagiat, terlebih dahulu saya akan menuliskan cerpen Kukuh secara utuh. Hal ini disebabkan karena mesin pencari Google masih kesulitan untuk menemukan cerpen Kukuh yang hasil plagiasi tersebut. Saya kira bagi siapa saja yang pernah membaca novel BUKAN PASAR MALAM, tentu tidak akan kesulitan menemukan di mana letak plagiatnya, dan mungkin akan langsung ngeuh bahwa Kukuh memang menulis cerpennya dengan jalan menjiplak secara jelas. Di beberapa paragraph memang ada kata-kata atau pun kalimat yang ia ubah, tapi penyamarannya itu tak lebih dari selaput tipis yang tidak memberikan perlindungan apapun terhadap karya plagiatnya. Berikut selengkapnya :
PULANG
Oleh : Kukuh Setyo Prakoso
Dimuat di Majalah Islam Sabili
No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429
Sudah lama aku tidak pulang ke rumah. Memang selama ini aku larut dalam masalahku sendiri dan hampir tak pedulikan lagi keadaan keluargaku di kampung halaman. Dan malam kemarin rasanya seperti mimpi saja. Bahwa aku yang sudah sekian tahun tinggal di Jakarta, akhirnya pulang kembali ke Cepu, menjenguk kembali kampung halamanku.
Jam lima pagi aku terbangun. Pagi ini aku terbangun agak terlambat, karena biasanya jam setengah empat pagi aku sudah bangun. Maklum, sehabis subuh biasanya aku harus mengejar KRL. Lalu tak lama setelah itu, aku harus berjibaku dengan kemacetan Jakarta. Rasa-rasanya dari hari ke hari, Jakarta semakin sesak saja. Pagi ini memang lain. Aku tak lagi berada di Jakarta, jadi bangun agak terlambat pastinya tidak begitu berpengaruh bagiku.
Sesudah mandi, aku ada kesempatan melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebenarnya bukan mandi yang betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur Bengawan Solo. Hanya sesekali saja airnya jernih. Pembagian air PDAM di sini agak pelit. Sehari menyala, lalu sehari kemudian mati. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air PDAM yang teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. Kami menyebutnya dengan busik.
Rumah yang kudiami semasa kecilku, kini tampak condong dan miring. Sebagian dinding temboknya telah runtuh, dan sebagian lagi retak dimakan jaman. Saking tuanya bangunan ini, aku bahkan tak tahu lagi usianya. Tanah daerah kami adalah tanah bercampur kapur dan lempung. Di musim panas, tanah lempung itu pecah-pecah, dan lantai yang terbuat dari batu disobek-sobeknya.
Di kebun, dekat pagar, kutemui seorang tetangga yang dulunya tukang jagal sapi.
“Engkau datang Gus?,” ia bertanya penuh hormat.
Memang hampir semua orang terpandang dipanggil Gus di sini. Walau sebenarnya apalah aku ini, hanya anak manusia biasa. Kakekku memang bergelar Raden Ronggo, jadi darah kakek yang mengalir di diriku itulah yang menjadikan orang-orang memanggilku Gus. Panggilan Gus sebenarnya mengingatkan pada Gus Dur. Dia juga dipanggil Gus padahal nama aslinya Abdurahman Wahid. Tapi karena masih keturunan pendiri NU, yang notabene ormas Islam terpandang, maka dia pun juga dipanggil Gus.
Tetanggaku itu bertanya lagi, “Aduh, sudah begitu lama baru datang. Dan waktu datang, ayahmu sedang sakit pula.”
Aku tersenyum oleh perhatiannya itu. Lalu kujawab, ”Ya pak, kemarin-kemarin saya sibuk mencari uang di Jakarta.”
“Engkau sudah dewasa sekarang, sudah punya istri pula.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Terdengar lagi, “Kabarnya engkau ditawan.”
Aku tersenyum lagi.
“Ayahmu bercerita, engkau dicintai polisi. Katanya, engkau ditangkap karena aktif di pergerakan mahasiswa yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Engkau juga termasuk salahsatu pentolan gerakan reformasi Sembilan delapan. Beruntung saja, rezim itu tumbang, tak kuat menahan laju perubahan. Dan kamu pun dibebaskan. Begitu cerita ayahmu padaku.” Dia terdiam sejenak, lalu bertanya kembali, “Berapa lama kamu ditahan Gus?.”
Dan aku menjawab pertanyaannya. Kemudian aku menyusulkan suaraku. “Cepu ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah-rumah baru banyak berdiri. Dan rumah-rumah yang lama telah miring.” Aku menengok ke arah rumah. Meneruskan, “Dan rumah kami pun sudah begitu rusak.”
“Ya Gus, rumahmu ini aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu kamu baru bisa tengkurap. Tiga puluh tahun yang lalu!. Dan selama itu, rumahmu ini belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Tiga puluh tahun!. Itu tidak sebentar bila dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu. Semua itu sudah roboh, retak, dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.” Sekarang nada suaranya beruba menjadi ketua-tuaan. “Kalau bisa Gus, harap rumahmu itu diperbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orangtua dulu : Apabila rumah itu rusak, maka yang menempatinya pun rusak.”
Ia diam, diseka mulutnya yang tua itu. Kemudian menundukkan kepalanya. Diteruskan kembali perkataannya. “Ayahmu sudah hampir empat puluh hari di rumah sakit. Tadinya beliau baru saja keluar dari rumah sakit. Nampak pula perubahan pada diri ayahmu. Dari yang tidak permah perhatian apa pun selain kerja dan main kartu, di waktu akhir-akhir ini dia selalu ada di rumah. Tiba-tiba terdengar kabar beliau sakit lagi dan dibawa ke rumah sakit.”
Aku hanya diam, tak menanggapi perkataannya. Tapi dia terus melanjutkan perkataannya, “Aku harap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu. Sudah lama ayahmu menunggumu. Oya Gus, engkau anak sulung. Aku harap sekalipun aku ini bukan keluarga atau familimu, peliharalah rumahmu itu.”
Aku menganggukkan kepala dengan berat, diberati oleh perhitungan harga semen, kayu, dan besi. Memang, jaman ini semuanya tak ada lagi yang murah. Dan kulihat orangtua itu mengerti juga akan beratnya anggukanku. Tapi dia tak berkata apa-apa. Dan aku juga tak berkata apa-apa lagi. Kami kehabisan kata. Ini adalah kesempatan baik untuk undur diri.
Rumah terus mengisi kepalaku sekarang. ‘Rumah rusak, dan orangnya pun rusak’. Dan di sore harinya ketika aku sampai di rumah sakit, kuingat perkataan tukang jagal sapi itu, tanpa berpikir panjang ketika sampai di hadapan bapak, kukatakan ke bapak, “Bapak, rumah itu akan kuperbaiki.”
Tapi bapak sudah terlalu lemah. Perlahan dibuka kelopak matanya. Berkata dengan suara tersandung, “Ya anakku, rumah itu…rumah…rumah itu sudah terlalu…tua.”
Seakan-akan bapak mengucapkan sesuatu tentang diri sendirinya. Kulanjutkan perkataanku, “Bapak, apa yang sebetulnya bapak pikirkan. Ucapkan ke anakmu ini, aku akan ringankan beban bapak.”
Dengan suara orang yang menyerah, “Tak…ada…apa-apa…anakku!.”
Mata bapak kemudian tertutup. Lama sekali beliau menutup mata. Napasnya tampak kembang kembpis, tersengal-sengal. Hatiku miris. Ada rasa menyesal dihatiku. Mengapa aku tak segera datang, sejak hari pertama bapak masuk rumah sakit?. Terbersit pula pertanyaan, di mana rasa baktiku terhadap orangtua yang telah merawat dan membesarkanku?.
Tiba-tiba seluruh badan bapak bergerak, seperti tertarik-tarik oleh sesuatu. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu pun manusia yang mampu ringankan beban deritanya. Aku hanya bisa melihat penderitaannya, dengan rasa sesal mengiris dada. Muka yang pucat pasi itu jadi membiru oleh batuknya. Dan ketika batuk mereda, terdengar perkataan dari bapak, “Ada-ada saja hidup manusia ini.”
Kepalanya kemudian miring, memanggilku. “Sini. Mendekat,” dengan suara cepat-cepat. “Kamu baru saja menikah, anakku. Dengan a…nak dari dae…rah Sunda. Kamu harus ingat…pembawaan dari daerah Jawa Tengah ini sedikit banyak beda dengan pembawaan orang yang di…la…hir…kan di Jawa Barat. Eng…kau paham…kan?.”
“Mengerti bapak.”
“Karena itu anakku, perhatikanlah ucapan dan ke…lakuan…mu. Ja…ngan sampai…jangan sampai…menying….gung perasaannya.”
Bapak diam. Dipandanginya aku dengan pandang penuh harap. Mata itu tertutup kembali. Cepat-cepat aku berkata, “Ya, bapak.”
Beliau mendehem beberapakali, dan menelan dahaknya.
“Sudah malam anakku,” katanya.
Aku ingat perkataan adikku yang kedua, itulah tanda supaya aku pulang, dan bapak ingin sendiri. Kudekati ranjang bapak, kuraba kakinya yang kering. Hatiku pilu. Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku, pernah mengembara ke mana-mana?. Dan kini kaki itu terkapar di atas ranjang rumah sakit. Bukan pula kemauannya. Rupa-rupanya manusia tak selamanya bebas menggunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak, begitu juga dengan kakiku. Aku lihat bapak membuka mata oleh rabaan itu. Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang hidup, melainkan sebuah senyum ganjil. Senyum yang memperingatkanku, “Hidup ini, anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa manusia itu selalu saja dalam keadaan rugi. Kecuali…Ya, kecuali…engkau beriman kepada Allah, menegakkan sholat, menunaikan yang hak, dan selalu bersabar atas ketentuan-Nya.”
Aku menunduk. Bersuara lemah, “Bapak, anakmu ini permisi dulu. Besok pagi aku ke sini lagi, aku akan menjaga bapak seharian.”
Bapak memandang jam yang menempel di dinding rumah sakit. Dipandangnya sebentar, kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengangguk. Dan dengan langkah berat pergilah aku meninggalkan rumah sakit itu---rumah tempat orang yang tak bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya sendiri.
(Made in Cepu, 17 September 2008, pukul 7.26 a.m)
***Bagian 2 akan membandingkan per paragraph antara cerpen PULANG yang ditulis Kukuh Setyo Prakoso dengan novel BUKAN PASAR MALAM yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.***
itp, 7/10/11
Satu lagi yang menyemangati saya untuk menulis adalah tulisan Akmal Nasery Basral yang mengkritisi cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul DODOLIT DODOLIBRET. Cerpen Seno ini berhasil masuk ke dalam Cerpen Pilihan Kompas tahun 2010, yang padahal menurut Akmal, cerpen ini adalah plagiasi dari karya Leo Tolstoy yang berjudul THREE HERMITS.
Dua kasus plagiasi inilah yang membuat saya kembali teringat dengan cerpen karya Kukuh Setyo Prakoso (selanjutnya ditulis Kukuh), yang dimuat di Majalah Islam Sabili No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429. Untuk lebih menjelaskan edisi yang mana majalah itu pernah ditumbuhi gulma, pernah memuat sebuah cerpen plagiat, maka saya tambahkan beberapa keterangan sebagai berikut : tulisan di sampul depan majalah berbunyi “America game Over”, dan gambar sampulnya : ikan hiu hendak memakan patung Liberty.
Cerpen Kukuh yang dimuat di majalah Sabili berjudul PULANG. Cerpen tersebut adalah hasil plagiasi dari novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul BUKAN PASAR MALAM. Sebelum saya membuktikan bahwa cerpen tersebut adalah benar-benar plagiat, terlebih dahulu saya akan menuliskan cerpen Kukuh secara utuh. Hal ini disebabkan karena mesin pencari Google masih kesulitan untuk menemukan cerpen Kukuh yang hasil plagiasi tersebut. Saya kira bagi siapa saja yang pernah membaca novel BUKAN PASAR MALAM, tentu tidak akan kesulitan menemukan di mana letak plagiatnya, dan mungkin akan langsung ngeuh bahwa Kukuh memang menulis cerpennya dengan jalan menjiplak secara jelas. Di beberapa paragraph memang ada kata-kata atau pun kalimat yang ia ubah, tapi penyamarannya itu tak lebih dari selaput tipis yang tidak memberikan perlindungan apapun terhadap karya plagiatnya. Berikut selengkapnya :
PULANG
Oleh : Kukuh Setyo Prakoso
Dimuat di Majalah Islam Sabili
No. 07 TH XVI, 23 Oktober 2008/23 Syawal 1429
Sudah lama aku tidak pulang ke rumah. Memang selama ini aku larut dalam masalahku sendiri dan hampir tak pedulikan lagi keadaan keluargaku di kampung halaman. Dan malam kemarin rasanya seperti mimpi saja. Bahwa aku yang sudah sekian tahun tinggal di Jakarta, akhirnya pulang kembali ke Cepu, menjenguk kembali kampung halamanku.
Jam lima pagi aku terbangun. Pagi ini aku terbangun agak terlambat, karena biasanya jam setengah empat pagi aku sudah bangun. Maklum, sehabis subuh biasanya aku harus mengejar KRL. Lalu tak lama setelah itu, aku harus berjibaku dengan kemacetan Jakarta. Rasa-rasanya dari hari ke hari, Jakarta semakin sesak saja. Pagi ini memang lain. Aku tak lagi berada di Jakarta, jadi bangun agak terlambat pastinya tidak begitu berpengaruh bagiku.
Sesudah mandi, aku ada kesempatan melihat-lihat rumah dan pelataran. Mandi itu sebenarnya bukan mandi yang betul-betul. Air di kota kami yang kecil ini tebal oleh lumpur Bengawan Solo. Hanya sesekali saja airnya jernih. Pembagian air PDAM di sini agak pelit. Sehari menyala, lalu sehari kemudian mati. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian air PDAM yang teratur, bening, dan baik. Di sini, orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak. Kami menyebutnya dengan busik.
Rumah yang kudiami semasa kecilku, kini tampak condong dan miring. Sebagian dinding temboknya telah runtuh, dan sebagian lagi retak dimakan jaman. Saking tuanya bangunan ini, aku bahkan tak tahu lagi usianya. Tanah daerah kami adalah tanah bercampur kapur dan lempung. Di musim panas, tanah lempung itu pecah-pecah, dan lantai yang terbuat dari batu disobek-sobeknya.
Di kebun, dekat pagar, kutemui seorang tetangga yang dulunya tukang jagal sapi.
“Engkau datang Gus?,” ia bertanya penuh hormat.
Memang hampir semua orang terpandang dipanggil Gus di sini. Walau sebenarnya apalah aku ini, hanya anak manusia biasa. Kakekku memang bergelar Raden Ronggo, jadi darah kakek yang mengalir di diriku itulah yang menjadikan orang-orang memanggilku Gus. Panggilan Gus sebenarnya mengingatkan pada Gus Dur. Dia juga dipanggil Gus padahal nama aslinya Abdurahman Wahid. Tapi karena masih keturunan pendiri NU, yang notabene ormas Islam terpandang, maka dia pun juga dipanggil Gus.
Tetanggaku itu bertanya lagi, “Aduh, sudah begitu lama baru datang. Dan waktu datang, ayahmu sedang sakit pula.”
Aku tersenyum oleh perhatiannya itu. Lalu kujawab, ”Ya pak, kemarin-kemarin saya sibuk mencari uang di Jakarta.”
“Engkau sudah dewasa sekarang, sudah punya istri pula.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Terdengar lagi, “Kabarnya engkau ditawan.”
Aku tersenyum lagi.
“Ayahmu bercerita, engkau dicintai polisi. Katanya, engkau ditangkap karena aktif di pergerakan mahasiswa yang ingin menggulingkan sang Jenderal. Engkau juga termasuk salahsatu pentolan gerakan reformasi Sembilan delapan. Beruntung saja, rezim itu tumbang, tak kuat menahan laju perubahan. Dan kamu pun dibebaskan. Begitu cerita ayahmu padaku.” Dia terdiam sejenak, lalu bertanya kembali, “Berapa lama kamu ditahan Gus?.”
Dan aku menjawab pertanyaannya. Kemudian aku menyusulkan suaraku. “Cepu ini masih tetap seperti waktu kutinggalkan dulu. Rumah-rumah baru banyak berdiri. Dan rumah-rumah yang lama telah miring.” Aku menengok ke arah rumah. Meneruskan, “Dan rumah kami pun sudah begitu rusak.”
“Ya Gus, rumahmu ini aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu kamu baru bisa tengkurap. Tiga puluh tahun yang lalu!. Dan selama itu, rumahmu ini belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Tiga puluh tahun!. Itu tidak sebentar bila dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu. Semua itu sudah roboh, retak, dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.” Sekarang nada suaranya beruba menjadi ketua-tuaan. “Kalau bisa Gus, harap rumahmu itu diperbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orangtua dulu : Apabila rumah itu rusak, maka yang menempatinya pun rusak.”
Ia diam, diseka mulutnya yang tua itu. Kemudian menundukkan kepalanya. Diteruskan kembali perkataannya. “Ayahmu sudah hampir empat puluh hari di rumah sakit. Tadinya beliau baru saja keluar dari rumah sakit. Nampak pula perubahan pada diri ayahmu. Dari yang tidak permah perhatian apa pun selain kerja dan main kartu, di waktu akhir-akhir ini dia selalu ada di rumah. Tiba-tiba terdengar kabar beliau sakit lagi dan dibawa ke rumah sakit.”
Aku hanya diam, tak menanggapi perkataannya. Tapi dia terus melanjutkan perkataannya, “Aku harap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu. Sudah lama ayahmu menunggumu. Oya Gus, engkau anak sulung. Aku harap sekalipun aku ini bukan keluarga atau familimu, peliharalah rumahmu itu.”
Aku menganggukkan kepala dengan berat, diberati oleh perhitungan harga semen, kayu, dan besi. Memang, jaman ini semuanya tak ada lagi yang murah. Dan kulihat orangtua itu mengerti juga akan beratnya anggukanku. Tapi dia tak berkata apa-apa. Dan aku juga tak berkata apa-apa lagi. Kami kehabisan kata. Ini adalah kesempatan baik untuk undur diri.
Rumah terus mengisi kepalaku sekarang. ‘Rumah rusak, dan orangnya pun rusak’. Dan di sore harinya ketika aku sampai di rumah sakit, kuingat perkataan tukang jagal sapi itu, tanpa berpikir panjang ketika sampai di hadapan bapak, kukatakan ke bapak, “Bapak, rumah itu akan kuperbaiki.”
Tapi bapak sudah terlalu lemah. Perlahan dibuka kelopak matanya. Berkata dengan suara tersandung, “Ya anakku, rumah itu…rumah…rumah itu sudah terlalu…tua.”
Seakan-akan bapak mengucapkan sesuatu tentang diri sendirinya. Kulanjutkan perkataanku, “Bapak, apa yang sebetulnya bapak pikirkan. Ucapkan ke anakmu ini, aku akan ringankan beban bapak.”
Dengan suara orang yang menyerah, “Tak…ada…apa-apa…anakku!.”
Mata bapak kemudian tertutup. Lama sekali beliau menutup mata. Napasnya tampak kembang kembpis, tersengal-sengal. Hatiku miris. Ada rasa menyesal dihatiku. Mengapa aku tak segera datang, sejak hari pertama bapak masuk rumah sakit?. Terbersit pula pertanyaan, di mana rasa baktiku terhadap orangtua yang telah merawat dan membesarkanku?.
Tiba-tiba seluruh badan bapak bergerak, seperti tertarik-tarik oleh sesuatu. Matanya terbuka dengan tiada memandang. Kemudian badai batuk menerjang. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu pun manusia yang mampu ringankan beban deritanya. Aku hanya bisa melihat penderitaannya, dengan rasa sesal mengiris dada. Muka yang pucat pasi itu jadi membiru oleh batuknya. Dan ketika batuk mereda, terdengar perkataan dari bapak, “Ada-ada saja hidup manusia ini.”
Kepalanya kemudian miring, memanggilku. “Sini. Mendekat,” dengan suara cepat-cepat. “Kamu baru saja menikah, anakku. Dengan a…nak dari dae…rah Sunda. Kamu harus ingat…pembawaan dari daerah Jawa Tengah ini sedikit banyak beda dengan pembawaan orang yang di…la…hir…kan di Jawa Barat. Eng…kau paham…kan?.”
“Mengerti bapak.”
“Karena itu anakku, perhatikanlah ucapan dan ke…lakuan…mu. Ja…ngan sampai…jangan sampai…menying….gung perasaannya.”
Bapak diam. Dipandanginya aku dengan pandang penuh harap. Mata itu tertutup kembali. Cepat-cepat aku berkata, “Ya, bapak.”
Beliau mendehem beberapakali, dan menelan dahaknya.
“Sudah malam anakku,” katanya.
Aku ingat perkataan adikku yang kedua, itulah tanda supaya aku pulang, dan bapak ingin sendiri. Kudekati ranjang bapak, kuraba kakinya yang kering. Hatiku pilu. Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku, pernah mengembara ke mana-mana?. Dan kini kaki itu terkapar di atas ranjang rumah sakit. Bukan pula kemauannya. Rupa-rupanya manusia tak selamanya bebas menggunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak, begitu juga dengan kakiku. Aku lihat bapak membuka mata oleh rabaan itu. Dia tersenyum, tapi bukan senyum yang hidup, melainkan sebuah senyum ganjil. Senyum yang memperingatkanku, “Hidup ini, anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa manusia itu selalu saja dalam keadaan rugi. Kecuali…Ya, kecuali…engkau beriman kepada Allah, menegakkan sholat, menunaikan yang hak, dan selalu bersabar atas ketentuan-Nya.”
Aku menunduk. Bersuara lemah, “Bapak, anakmu ini permisi dulu. Besok pagi aku ke sini lagi, aku akan menjaga bapak seharian.”
Bapak memandang jam yang menempel di dinding rumah sakit. Dipandangnya sebentar, kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengangguk. Dan dengan langkah berat pergilah aku meninggalkan rumah sakit itu---rumah tempat orang yang tak bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya sendiri.
(Made in Cepu, 17 September 2008, pukul 7.26 a.m)
***Bagian 2 akan membandingkan per paragraph antara cerpen PULANG yang ditulis Kukuh Setyo Prakoso dengan novel BUKAN PASAR MALAM yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.***
itp, 7/10/11
No comments:
Post a Comment