14 May 2012

Menulis adalah Bermain Puzzle


Permainan Dimulai :


JONI JAYADISASTRA

Yang kau jerat adalah riwayat
Tidak punah, jadi sejarah
(Efek Rumah Kaca)

***

Bukan karena kami pernah sama-sama minum kopi dalam gelas bekas botol air mineral yang dipotong dan menyisakan ujung yang bergerigi

Bukan pula karena kami pernah berbagi Djarum Super yang tinggal satu batang di sepertiga malam untuk mengasapi diskusi yang tak jelas dan hangus dibakar waktu

Bukan, bukan karena itu aku mencatat ini semua

Tapi untuk melawan lupa

Kelak, anak-anakku tidak boleh memutuskan tali silaturahim

Mereka harus tahu dan menyusuri jejak riwayat, bahwa aku pernah mempunyai seorang kawan yang mencintai buku, membaca, dan menulis

Untuk para penerusku kelak, jejalin kisah ini aku catatkan….

***

Catatan ini aku tulis dalam dua masa transisi. Pertama waktu aku tercecer di kampusku di Bandung. Aku tertinggal, kalah berkompetisi dengan kawan-kawanku yang lebih dulu lulus dan di wisuda. Kedua, ketika aku baru saja lulus di kampusku di Depok, sambil menimbang-nimbang; apakah sebaik melanjutkan ke S2 atau terjun ke dunia kerja.

Di dua masa transisi ini waktu cukup banyak untuk kuisi dengan mencatat. Ihwal aku suka mencatat ini mulanya adalah pergaulanku dengan buku. Dan kawanku yang menyeret aku untuk belajar mencintai buku dan mencintai menulis adalah Joni. Dia adalah seorang yang terjerembab ke dalam lembah kecintaan buku dan menulis, dan lembah itu sangat dalam, akhirnya dia tak bisa keluar. Maka catatan ini adalah penggalan-penggalan riwayatnya, riwayat kawanku, riwayat Joni.

***

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pintar.” (Pramoedya Ananta Toer)

Cinta hadir bukan untuk membuktikan sesuatu, tapi makanan bagi jiwa agar tidak mati. Maka cinta pada dasarnya tidak bisa ditukar dengan pamrih. Dan cinta bagi Joni adalah buku dan menulis, terutama yang berhubungan dengan sastra. Apa definisi sastra?, bagi Joni tidak penting. Dia tidak mau berdebat tentang definisi, yang dia tahu; novel, puisi, catatan perjalanan, cerpen, dan roman adalah sesuatu yang indah, sesuatu yang selalu membuat dirinya merasa hidup. Dia tidak pernah tahu apa maksud Helvy Tiana Rosa dengan “Karena Sastra yang Merenggutku dari Pasrah”. Ketidaktahuan itu tidak pernah menyurutkan kecintaannya pada sastra. Dia bisa berlama-lama di dalam kamar, terasing dari kehidupan luar, untuk membaca beberapa buku puisi hanya dengan diawali oleh sepenggal puisi Joko Pinurbo : “Puisi telah memilihku / dibiarkannya aku tetap redup dan remang.” Dia bisa lupa waktu, telat makan dan malas mandi, untuk membaca Tetralogi Buru hanya dengan diawali oleh sebuah pamafrasa : "Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya."  Begitupun dengan menulis, jadwal nongkrong dan jalan bersama kawan-kawannya seringkali direbut oleh minatnya pada menulis cerpen hanya karena pernah membaca sebuah kutipan : “Scripta manent verba Volant, yang tertulis akan mengabadi yang terucap akan berlalu bersama angin.”

Uang yang seharusnya dia tabung untuk hal-hal mendesak di masadepan, atau kawan-kawannya menyebut “untuk kehidupan di masa yang akan datang”, dia habiskan untuk belanja buku. Maka harta bendanya yang paling banyak adalah buku, yang lain hanya sekedarnya saja. Handpone, makhluk kesayangan hasil perkawinan silang antara dunia komunikasi dan life style, adalah salahsatu benda yang baginya adalah sekunder. Hpnya hanya NOKIA gererasi Fir’aun yang sudah sangat lecek, nge-drop dan sering error. Kamarnya seumpama kuburan tua di pinggir kampung yang tak terurus dan dipercaya banyak dedemit; sunyi dari hingar bingar suara benda-benda elektronik. Meskipun tidak berpenghasilan tinggi, tapi kalau berniat, Joni sebenarnya bisa membeli BB atau tv layar datar 21 inc. Tapi Joni terlanjur jatuh cinta kepada aksara, kepada kata-kata yang tertulis.

Bahkan di sebuah persimpangan hidupnya, Joni berhasil melewati teror perasaan yang dilakukan seorang perempuan yang sangat dia cintainya. Ya, perempuan mana yang mau hidup dengan seorang laki-laki madesu, tak jelas juntrungannya, dan beresiko terjerumus ke dalam jurang kemiskinan yang mengerikan. Ya, Joni sangat menyadari itu. Tapi ketakutan harus diatasi bukan dirayakan. Dan cinta kepada buku dan tulisanlah yang berhasil mengatasinya. Maka di kamarnya yang sunyi dia mengucapkan “Selamat Jalan” kepada perempuan yang sangat dicintainya itu. Perpisahan dilakukannya sendirian, sebab perempuan yang takut itu telah mundur teratur tanpa pamit, tanpa sedikit pun kata-kata yang menandai bahwa perpisahan telah terjadi. Sakit memang, kecewa iya, tapi perasaan tidak boleh menjadi raja, dia tidak boleh mengendap lalu berjelaga. Dia harus menyingkir, tidak boleh dipaksakan, sebab cinta hadir bukan untuk menciptakan ketakutan. Bahkan kalaupun perempuan itu mencoba berargumen, Joni telah siap untuk membakar setiap alasannya. Dalam buku catatannya dia menulis : “Pergilah dengan ketakutanmu itu. Cinta tidak akan pernah mengkhianati para pelakunya yang tulus.”

***

Kalau ditarik garis ke belakang, ke waktu yang telah berlalu, Joni dibesarkan di rumah yang yang rajin berlangganan koran. Bertahun-tahun, bahkan sebelumnya dia masuk sekolah dasar, bapaknya telah berlangganan Harian Pikiran Rakyat. Dia belajar membaca di Harian yang sangat kuat pengaruhnya di Jawa Barat, bukan di buku-buku yang fontnya raksasa dan dikuasai kata-kata “ INI BUDI, INI WATI, INI IBU BUDI, INI BAPAK WATI”. Beberapa minggu sebelum masuk sekolah dasar dia sudah lancar membaca, maka di kelasnya yang mula-mula, di kelas satu SD, dia merajai belajar membaca yang dipenuhi kawan-kawannya yang masih tertatih-tatih merangkai huruf menjadi kata. Mungkin karena bosan atau ingin sesuatu yang baru, setelah bertahun-tahun berlangganan Pikiran Rakyat, bapaknya pindah ke Harian Republika yang kelahirannya disebut-sebut dibidani oleh ICMI. Dan Joni pun melahap Republika. Resonansi adalah rubrik favoritnya. Dia tidak sepenuhnya mengerti apa yang ditulis di rubric Renonansi itu, tapi dia merasa menikmati setiap kata yang tersaji di rubric yang sering diisi oleh tulisan-tulisan Miranda Risang Ayu, Parni Hadi, Zaim Uchrowi,dan Zaim Saiidi itu.

Perpisahan dengan Republika terjadi waktu dia akhirnya harus meneruskan sekolah ke SMU. Di kampungnya SMU memang ada, tapi kata bapaknya belajar bukan hanya duduk di bangku dan menghadap meja, maka dia dikirim ke SMU yang berada jauh diluar kampungnya. Dia mulai merantau, meninggalkan Republika yang masih setia datang ke rumah. Di tempatnya yang baru, di sebuah kost-kostan yang sederhana, dia jarang sekali membaca Koran, sebab hanya disangoni untuk makan dan transportasi saja, tidak ada jatah untuk membeli Koran. Joni tak habis akal, perpustakaan sekolahnya ternyata berlangganan Pikiran Rakyat, maka dia bertemu kembali dengan “guru” membacanya yang mula-mula. Setiap istirahat sekolah, dia pasti mengendap di perpustakaan untuk menemui “guru”nya. Penjaga perpustakaan sampai bosan melihatnya, tapi dia tak peduli, penjaga perpustakaan digaji untuk melayani para pengunjung perpustakaan bukan merasa bosan, begitu pikirnya. Kalau Pikiran Rakyat sudah selesai dilahap,dan waktu istirahat masih tersisa, dia kadang-kadang mendekati rak buku-buku sastra dan mulai berkenalan dengan Nh. Dini, Sori Siregar, Achdiat Kartamiharja, HAMKA, Marah Rusli, Ahmad Tohari, Taufik Ismail, dan Chairil Anwar yang salah satu penggalan puisinya dia sukai : “berselempang semangat yang tak bisa mati”.

Koran tak terbeli, apalagi buku, kecuali buku-buku pelajaran, sebab itu termasuk biaya pendidikan yang akan disangoni bapaknya. Maka bertambah bosanlah penjaga perpustakaan waktu Joni akhirnya bukan hanya membaca Pikiran Rakyat tapi juga keranjingan membaca buku-buku novel, cerpen, dan puisi. Saat kulit wajah penjaga perpustakaan berkerut semakin cepat karena bosan, Joni mulai jatuh cinta. Dia mulai mencintai novel. Semesta cerita yang tersusun dalam novel dengan berbagai konflik, romansa, dan pesan yang tersirat didalamnya membuat pikiran dan perasaan Joni seringkali bergemuruh. Waktu membaca Atheis karya Achdiat Kartamiharja, dia ikut prihatin dengan akhir kehidupan Hasan yang mati ditembak tentara Jepang, terlebih dengan revolusi keyakinan Hasan yang berbalik cepat setelah bergaul dengan Rusli, Kartini, dan orang-orang beraliran kiri lainnya.

Pada "Ibu untuk Ayahku" yang ditulis oleh Sori Siregar, Joni ikut merasa kesepian seperti ayahnya Hamdi yang tak bisa menemukan pengganti ibunya yang telah meninggal. Joni sempat menitikkan airmata waktu menyelesaikan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Dia bersimpati dengan penderitaan Hamid dan Jenab, cinta mereka tak sampai di pelaminan. HAMKA lagi-lagi berhasil membuatnya larut dalam kepedihan Zainudin dan Hayati, dan lagi-lagi yang ini pun kasihnya tak sampai; dihadang adat istiadat, pertaruhan kehormatan, dan tragedy meninggalnya Hayati waktu tenggelam dalam kapal Van Der Wicjk. Sebelas tahun kemudian Joni baru tahu bahwa HAMKA pernah diserang dengan sangat keras dan bertubi-tubi di gelanggang sastra Indonesia oleh orang-orang Lekra karena novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk yang ditulisnya dianggap mencontek dan HAMKA didakwa plagiat. Buya yang satu ini ternyata pernah “dihajar” para militan Lekra yang berkiprah di gelanggang sastra.

Waktu itu Joni belum bisa membaca buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, sebab Orde Baru masih berkuasa, dan karya orang-orang yang mereka anggap komunis sangat dilarang beredar. Puisi-puisi Wiji Thukul pun belum hadir sebab setiap orang yang vocal pasti dibabat, termasuk karyanya. Selain Taufik Ismail dan Chairil Anwar, puisi-puisi karya penyair lain hanya dia temui di buku pelajaran Bahasa Indonesia yang isinya sangat sedikit. Jangan tanya Mustofa Bisri, Hamid Jabbar, dan Joko Pinurbo, sebab puisi-puisi mereka tidak pernah hadir di buku pelajaran yang dipakai guru-gurunya.

Memasuki tahun kedua di SMU, Joni mulai bisa membeli dan membaca majalah Sabili dan Tarbawi sebab dia tidak lagi ngekost, tapi tinggal di sebuah ruangan yang menempel dengan mesjid sebuah yayasan pendidikan Islam tanpa dipungut biaya alias gratis. Ruangan itu masih milik yayasan. Uang untuk kost akhirnya tidak lagi dikirim, tapi bapaknya menambah sedikit uang saku. Dari uang tambahan itulah Joni bisa membeli majalah Sabili yang rajin mengangkat tema-tema actual seputar dunia Islam. Sabili cenderung garang, menghentak-hentak, dan penuh bara. Sedangkan di majalah Tarbawi dia menemukan sebuah telaga kesejukan, tulisan-tulisan di majalah itu penuh dengan energy ajakan untuk meningkatkan kebaikan.

Sesekali Joni mulai mencoba menulis cerpen, tapi tak pernah selesai. Menulisnya di kertas bergaris buku catatan sekolah karena tidak punya mesin tik, apalagi computer, apalagi laptop. Cerpen yang tak pernah selesai itu, yang premature itu, berceceran di hampir semua buka tulisnya. Di belakang rumus-rumus matematika dan fisika ada cerpen, di bawah catatan pelajaran agama ada cerpen, setelah catatan pelajaran biologi ada cerpen, setelah rumus kimia ada cerpen, di antara catatan pelajaran bahasa Inggris ada cerpen, di mana-mana ada cerpen. Hal ini membuat buku catatan pelajarannya seperti buku catatan pelajaran bahasa Indonesia semua. Adalah Rano, kawannya, yang pernah mengetahui hal itu. Dia pernah membaca beberapa cerpen tak selesainya.

Memasuki tahun ketiga, Joni terdampar di kelas IPS. Dia sebenarnya ingin masuk kelas bahasa, tapi di sekolahnya tidak tersedia. Ini adalah sebuah pergeseran. Dulu waktu SD dan SMP, dia termasuk ke dalam jajaran elit siswa yang selalu masuk tiga besar di kelasnya, dan angka-angka untuk pelajaran eksak selalu tinggi dan tak pernah memalukan. Tapi sekarang, di level pendidikan yang lebih tinggi, dia malah terseok-seok dengan semua pelajaran eksak, angka-angka matematika, fisika, dan kimianya selalu hancur dan di bawah rata-rata kelas. Ini tak lepas dari alokasi belajar dan minat yang tidak seimbang, waktunya lebih sering dihabiskan untuk membaca novel, majalah, dan menulis cerpen.

Ya, dia sudah terseret ke dalam kutub yang berseberangan dengan pelajaran-pelajaran berhitung dan penuh rumus. Dia menjadi underdog di kelasnya. Apalagi mindset hampir semua gurunya selalu condong ke mata pelajaran eksak. Kalau mau jujur, sebenarnya hampir di seluruh negeri ini semua guru berpikiran sama, bahwa anak yang pintar adalah anak yang kemampuan matematika, fisika, dan kimianya menonjol. Dan ini semakin sempurna dengan kehadiran Habibie sebagai icon kecerdasan Indonesia, semua orang tahu Habibie adalah ahli di bidang hitung-menghitung. Maka anak-anak yang menempati kelas IPS adalah mereka yang sering dipersepsikan sebagai anak-anak buangan, anak-anak yang tidak berhasil menembus kelas IPA.

Sejak pertama kali mengenal system pembagian kelas ini, Joni sudah menyadari semuanya. Pernah sekali waktu dia pulang kampung dan bertemu dengan kawan-kawan SD dan SMPnya, setelah mereka tahu bahwa Joni masuk kelas IPS, semua kawan-kawannya tak ada yang percaya sambil bertanya heran, “Ah masa Jon, kamu kan dulu termasuk anak pintar?!.” Ya, ya, di batok kepala mereka anak pintar adalah anak yang jago pelajaran berhitung. Tapi Joni tak peduli, dia hanya menertawakan arus pikiran orang-orang kebanyakan.

***

Banyak orang mungkin punya buku favorit yang ditulis oleh para penulis terkenal yang best seller dan namanya telah malah melintang. Tak sedikit orang yang hidupnya dipengaruhi oleh buku Menjadi Orang Besar atau Rich Dad Poor Dad-nya Robert T. Kiyosaki.  Atau mungkin oleh para sastrawan terkenal seperti Ernest Hamingway, Leo Tolstoy, Carles Dickens, Pramoedya Ananta Toer, Virgiana Wolf, William Shakespeare, Nikolai Gogol, Maxim Gorky, Victor Hugo, atau Pyodor Dostoyevsky. Buat Joni, buku yang berhasil mempengaruhi hidupnya adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang yang tidak lulus di dua perguruan tinggi.

Buku yang berjudul “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta” yang ditulis oleh seseorang yang sangat mencintai dunia perbuku, yang bernama Muhidin M. Dahlan telah berhasil membuatnya untuk berdiri kukuh di rel membaca dan menulis. Dia tak mau menoleh kepada kemungkinan minat-minat lain seperti misalnya olahraga atau komunitas pecinta otomotif. Muhidin benar-benar telah membuatnya untuk total mencintai duniamembaca dan menulis. Di banyak halaman buku  Muhidin itu dia banyak menemuikata-kata bertegangan tinggi yang membuatnya semakin yakin dengan dunia asingsenyap, dunia buku dan menulis. Di halamana 87 Muhidin menulis : “Aku membereskan lagi buku-buku yang hampir muntah dari rak, inilah teman terbaikku yang menemani di setiap tikungan gelap perjalan hidup. Inilah hartaku yang terbaik.” 

***

Meskipun Joni menyukai novel dan puisi, tapi ternyata tidak membuatnya memilih kuliah di Fakultas Sastra. Ini karena pengaruh lingkungan keluarga. Mungkin hampir di setiap pikiran orangtua yang menyekolahkan anaknya di bangku kuliah dengan dana pas-pasan; pasti berpikir bahwa anaknya harus memilih jurusan yang lebih cepat diserap dunia kerja. Dan di Indonesia, di negeri yang sesak oleh para koruptor ini, Fakultas Ekonomi menjadi salah satu fakultas favorit para calon pekerja. Fakultas Sastra harus minggir. Persepsinya sangat buruk jika dibenturkan dengan kesempatan kerja. Orangtua berpikir : sarjana sastra paling banter hanya menjadi guru honorer yang bertahun-tahun tak bakalan diangkat karena bersaing ketat dengan lulusan ilmu keguruan. Maka terdamparlah Joni si sebuah Politeknik dengan jurusan Administrasi. Tapi justru di sinilah semuanya bermula. Di sinilah keyakinannya kepada dunia membaca dan menulis, terutama sastra, semakin kuat dan kokoh. Apa pasal?. Bermula dari konflik dengan seorang dosen, Joni akhirnya terasing di dunia buku yang sunyi senyap.

Pada sebuah acara seremonial penyambutan mahasiswa baru, Joni memegang jabatan sebagai ketua pelaksana Ospek Jurusan. Dan hari-harinya kemudian dipenuhi oleh rapat-rapat organisasi yang cukup panjang. Hal ini membuat konsentrasinya kepada aktivitas kuliah sedikit buyar. Tapi Joni punya keyakinan bahwa aktivitas kuliah tidak boleh mengganggu aktivitas organisasi, hal ini di kemudian hari ternyata sejalan dengan keyakinan Muhidin M. Dahlan, penulis yang mempengaruhi jalan hidupnya, begini katanya: “Jangan sampai aktivitas kuliah di kampus mengganggu aktivitas berorganisasi. Itulah prinsip yang kupegang baik-baik. Dan aku tidak main-main dengan prinsip yang demikian itu. Mungkin aneh. Tapi itu adalah keyakinan. Dan setiap keyakinan harus dijalankan. Dan aku menjalankannya. Dan aku dikutuk oleh kawan-kawan yang memiliki keyakinan yang berseberangan denganku itu. Dan aku tetap berjalan dengan keyakinan itu.”

Ketika kawan-kawannya menghadiri kelas mata kuliah Kewirausahaan, Joni malah membolos dan sibuk menyusun rencana kerja dengan kawan-kawan organisasinya. Dosen mata kuliah Kewirausahaan mengembalikan semua tugas dalam bentuk makalah yang pada pertemuan sebelumnya dikumpulkan oleh seluruh penghuni kelas, termasuk Joni. Dosen itu menyutruh mahasiswa merevisinya, “Perbaiki dan kumpulkan lagi besok!.”  Karena Joni tidak hadir, maka makalahnya dibawa lagi oleh dosen tersebut dan disimpan di meja kerjanya.

Seorang kawannya kemudian memberi informasi, di tengah rapat di membisikkan sesuatu kepada Joni “Jon, makalah Kewirausahaan dikembalikan euy, dititah direvisi, nu maneh masih di si Ibu Rina, gancang bawa di ruangannya,mumpung dia belum pulang.” Tapi rapat masih alot, dan kuliah termasuk dengan tugas-tugasnya tidak boleh mengganggu aktivitas organisasi, maka Joni abaikan informasi itu. Barulah setelah rapat selesai, ketika hari semakin sore dan bayangan telah bergeser ke barat, Joni, dengan langkah malas, pergi ke ruangan dosen Kewirausahaan. Ruangan sepi, dosen sudah pada pulang, tapi pintu ruangan masih terbuka dan belum dikunci.

Dia melihat makalahnya tergeletak di atas meja dosen itu. Ragu, antara masuk dan mengambil makalah dengan takut dianggap tidak sopan karena masuk ruang dosen dan mengambil barang dari atas mejanya tanpa ijin. Tapi  karena berniat memperbaiki tugasnya dan waktu sangat sempi sebab besok sudah harus dikumpulkan lagi, maka Joni memutuskan masuk ke ruangan itu lalu mengambil makalahnya, tanpa ada seorang pun mata manusia yang melihat gerakannya. Lalu keluar dan meluncur pulang. Dan bahaya menghadang di depan.

***

“Anak ini Pak yang sudah mengacak-ngacak meja saya. Dia masuk ruangan dosen tanpa ijin ketika di ruang itu tidak ada orang, lalu meja saya berantakan dibuatnya!,” bu Rina mendakwa Joni dengan intonasi tinggi dan mencecar seperti senapan mesin di depan Ketua Jurusan (Kajur).

 “Ya sudah, tunda saja kelulusannya,” Pak Kajur menanggapinya dengan santai, cool, seperti hal bisa saja. Lalu Joni dibawa ke hadapan Ketua Program Study (Kaprog)dan diadukan dengan kata-kata yang sama seperti waktu menghadap Kajur.

“Ya sudah, biar saya yang bereskan Bu,” jawaban Kaprog seperti intimidasi seorang algojo di sebuah ladang pembantaian.

“Bereskan”, kata itu dalam benak Joni selalu mengerikan, sebab dulu ketika Orde Baru masih berkuasa, kata “bereskan” bisa diartikan sebagai kematian.

Dia berpikir, di gelanggang pendididkan kata itu bisa jadi dengan DO (Drop Out), akhir pahit sebuah riwayat pendidikan formal. Dan Joni cemas, tapi sebenarnya bukan mencemaskan riwayat pendidikan, bagi dia ini adalah sebuah resiko sikap, tapi efek dari vonis yang akan dijatuhkan terhadap keluaraga dan relasi sosialnya. Kalau misalnya saja dia akhirnya di DO, apa kabar dengan orangtuanya di kampung?. Orangtuanya akan dicap mempunyai anak yang badung, menyia-nyiakan amanat, dan melawan dosen. Melawan dosen, melawan guru, sedangkan orangtuanay sediri seorang guru. Jelaga akan menggantung di langit rumahnya, Organisasi yang dia aktif di dalmnya kan menjadi kampbing hitam jika dia kahirnya benar-benar DO. Cemas. Joni duduk di depan Kaprog menunggu kata-akata selanjutnya.

“Sekarang kamu pulang saja, saya sedang sibuk. Minggu depan datang lagi ke sini jam 11.00, awas jangan sampai telat.”   

Organisasi mahasiswa dalam ancaman. Ospek terancam gagal. Nama baik Joni yang menjadi ketua pelaksana acara ospek jurusan di ujung tanduk. Kajur, Kaprog dan beberapa dosen yang memangku birokrasi perijinan acara kampus sedang menyorotinya sebagai mahasiswa yang bermasalah. Dalam kondisi seperti ini Joni sigap mengambil langkah. Dia sadar jalan ke depan bagi acara ospek tidak akan mulus seperti rencana semula. Kondisi ini dia sampaikan kepada Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan dan kepada panitia yang lain yang selama ini menjadi bawahannya. Setelah diadakan musyawarah akhirnya diambil keputusan bahwa Joni sebagai Ketua Pelaksana harus diganti, dan Ketua baru harus segera dipilih. Dan pemilihan Ketua baru segera dilaksanakan dengan diwarnai oleh intrik politik para aktivis organisasi. Ya, ya, organisasi mahasiswa yang diisi anak-anak muda yang sedang larut dalam semangat dan gairah itu selalu saja diwarnai oleh intrik-intrik politik kampus. Siapa bilang politik hanya bersemayam di lingkaran partai-partai politik saja?.

Ketua Pelaksana baru sudah terpilih, roda organisasi kembali bergulir, Joni bergerak di pinggir, dia tetap aktif di organisasi dan acara ospek tapi hanya menjadi anggota tim surveyor yang tugasnya mengurus segala macam hal yang berhubungan dengan tempat di mana acara ospek akan dilaksanakan. Ya, ini adalah tugas yang jauh dari hingar bingar sorot mata mahasiswa. Terlebih karena para surveyor biasanya berangkat ke tempat pelaksanaa paling awal. Ya, ini adalah tugas orang-orang terasing yang bekerja “membuka” jalan bagi rute yang akan dilalui para peserta ospek. Joni bergerak di pinggir.

Sebagian kawan-kawannya yang tidak tahu dengan konflik anatara Joni dan dosen Kewirausahaan banyak yang bertanya-tanya, “Ada intrik politik macam apa sehingga Ketua Pelaksana harus diganti dan dilempar ke tim surveyor yang kerjanya di lapangan, penuh keringat, berdebu, dan kasar?”. Atau petanyaan, “kenapa bung Joni masih mau bergabung dan bekerja dalam keoanitian ospek padahal posisi dia telah jatuh, telah terlempar dari lingkaran panitia inti dan hanya menempati posisi yang kurang penting?”. Mereka yang betanya-tanya itu tidak tahu bahwa Joni yang aku kenal, adalah dia yang mencintai organisasi kampus. Dia bekerja bukan karena posisi, tapi karena kecintaannya pada oraganisasi, tempat di mana dia belajar bersosialisasi, belajar bertanggungjawab, belajar berbicara di depan orang ramai, dan belajar---sedikit-sedikit---tentang politik.

Tapi di tengah kesibukannya di organisasi, Joni tetap tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kecemasannya pada kasusnya dengan dosen kewirausahaan, apalagi keputusan Kaprog belum jelas, dia masih harus menunggu. Di tengah kecemasan menunggu itu dia tidak tenang, bayangan DO atau pending (kelulusan yang ditunda satu tahun) terus menerornya. Tak seorang pun kawannya yang bisa meredakan kecemasan itu. Suara musik di radio terdengar murung :

I don’t want to know
I don’t want to know
I don’t want to know your opinion on me
I don’t need to be
I don’t need to be
I don’t need to be what you want me to be
Just like gravity you bring me down
Just like gravity you kill my will…
(I novel – Zeke and The Popo)

Kawan satu kostnya sedang berada di titik toleransi yang memuakkan karena dia sering terganggu oleh kedatangan kawan-kawan Joni yang numpang rapat di kostannya. Setiap pulang dari kampus Joni selalu merasa energi hitam kehidupannya mengurung langkahnya. Tak mau terus menerus diteror hal seperti itu, maka pada sebuah sore yang kelabu, ketika matahari petang yang menampakkan dirinya, Joni melangkah gontai ke arah pangkalan angkot tidak jauh dari kostannya. Dia mencoba mencari penghiburan kepada minat lamanya yang dulu pernah dia rawat semenjak dari SD. Dia pergi ke toko buku Gramedia, barangkali ada buku yang dapat memahami kecemasan dan kegelisahannya. Setelah berganti angkot, mobil berjalan pelan ke arah Cihampelas yang macet, Wastukencana, lalu berhenti di Purnawarman.

Waktu dia masuk, ribuan buku langsung menyambutnya. Kecemasannya sedikit terobati. Di rak buku-buku sastra dia berhenti. Pandangannya mencari buku yang mungkin dapat menjadi penawar “sakit”nya. Beberapa buku Pramoedya Ananta Toer sempat dia baca narasi cover belakangnya, menarik juga pikirnya, tapi dia letakkan lagi, sebab buku-buku Tetralogi Buru, yang tebal-tebal itu,  harganya tak dapat dia jangkau. Begitu pun dengan buku-buku Leo Tolstoy seperti Anna Karenina dan Tuhan Maha Tahu Tapi Dia Menunggu, harganya tidak bersahabat dengan kantonmg mahasiswanya.

Dia kurang tertarik dengan buku karangan Djenar Maesa Ayu, dia sempat baca salah satu bukunya yang berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, kurang oke pikirnya, maka meskipun harganya tidak terlampau mahal, buku Djenar yang bersampul merah dia simpan lagi di rak dan dia tinggalkan. Pandangan dan tangannya terus berpindah dari satu buku ke buku yang lain. Tiba-tiba Joni melihat sebuah buku bercover warna coklat muda bergambar seorang laki-laki gondrong sedang naik sepeda kumbang dengan membawa banyak buku di kursi belakang sepeda itu. Yang menarik perhatiannya, buku itu hanya tinggal satu, tak ada kawannya. Buku apa ini? Dia ambil buku itu yang kebetulan sudah tidak bersampul plastic dan di beberapa sudutnya sudah terlihat sedikit lusuh. Seperti biasa Joni pasti membaca tulisan di cover belakangnya. Dan apa buku itu :

Derita menjadi tertanggungkan manakala dia menjadi cerita (Hannah Arendt)

Derita tertanggungkan?. Joni mendapat kata-kata yang dicarinya. Kemudian dia membuka halaman pertama buku itu, dan tertulislah di sana : “Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis akan mengabadi yang terucap akan berlalu bersama angin”. Terus dia baca kata pengantar dari penerbit buku itu. Luar biasa, kata pengantarnya saja telah membuatnya langsung mencintai buku itu. Kata-kata telah membiusnya dan melupakan bayangan tentang maslah yang tengah dihadapi. Cepat dia ambil buku itu dan langsung menuju kasir. Dia sudah tidak sempat memperhatikan wajah cantik kasir toko buku yang tersenyum ramah dan berucap “terimakasih”, dia hanya ingin cepat pulang dan cepat sampai di kamarnya untuk segera melahap buku bersampul coklat muda itu.

Di luar toko buku, tepat di depan sebuah pusat perbelanjaan dan pusat nongkrong, ABG-ABG Bandung menebar pesona dengan semesta parfum dan deodorant, dengan baju seksi dan wajah cantik menggemaskan, dengan duduk-duduk santai di restoran-restoran cepat saji. Joni sempat melirik juga beberapa mojang cantik itu, tapi dia terus melangkah, melaju ke arah pemberhentian angkot jurusan Kapala-Ledeng yang mangkal tidak jauh dari lampu merah.

***

Muhidin. Ya, orang yang menulis sebagian riwayat hidupnya di buku bersampul coklat yang berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, adalah dia yang sangat mencintai dunia buku dan menulis, setidaknya begitu yang Joni baca dari kata-kata yang beserak di beratus halaman buku tersebut. Joni merasa banyak kesamaan dengan apa yang dituturkan penulis. Bahwa dia juga mencintai buku, dan bahwa dia juag pernah bahkan sering kere, kekurangan uang, dan sama-sama jauh dari orangtua. Muhidin berhasil membuatnya melupakan masalah dan kecemasan tentang hari depan yang sebagian misterinya masih berada di genggaman tangan Kaprog yang akan menjatuhkan vonis untuk dirinya, “si pembuat masalah”. Dia kini hanya larut dalam jejalin kata-kata yang ditulis Muhidin. Joni lenyap dalam hening, dia diterkam kesunyian buku. Dia berselancar di deretan aksara yang membuatnya jiwanya menjadi kaya. Tak salah jika Muhidin menulis :

Sebuah buku laksana teman dalam saku; adalah sebuah hiburan, tetirah, petualangan imajinasi dan kecerdasan yang harus mendapat perhatian.

Tiga tahun akhirnya berlalu. Bagi Politeknik Gajah Duduk dan semua perguruan tinggi dengan masa belajar tiga tahun, inilah saat yang tepat untuk melepas para pengangguran baru, dikembalikan kepada orangtuanya masing-masing setelah sekian lama terlindungi tembok kokoh nan tebal bernama MAHASISWA. Para wisudawan yang bekerja keras dan bernasib cukup baik biasanya langsung diterima sebagai karyawan baru di perushaan yang ketagihan jasa para fresh graduate.

Yang bekerja keras tapi masih nganggur harap sabar saja, sebab mungkin jalannya rejeki belum ada yang tepat. Yang malas dan masih nganggur harap tidur lagi, sebab ini akan lebih mudah daripada malas dan terbangun, pemalas juga manusia yang butuh makan dan ini akan merugikan cadangan sembako. Waktu Joni lulus, aku masih duduk di semester tiga. Ya, kami memang terpaut dua angkatan. Dia angkatan tua dan aku angkatan muda. Ya, dia memang sudah tua.

Joni berada dalam kelompok penuh gradasi : rajin tidak, malas juga tidak. Dia benar-benar berada di perbatasan. Kadang-kadang semangat sekali mencari kerja, dari pagi sampai sore membanting tulang, singgah dari walk interview ke walk interview yang lain, tapi adakalanya dia tidur seharian seperti orang pingsan, atau hanya duduk saja di kamar kosat sambil menghabiskan berbatang-batang rokok hasil ngutang dan membaca buku. Melihat Joni dalam semesta dirinya yang dekil, berasap rokok, kurus, dan pengangguran, aku jadi teringat lagu Iwan Fals :

Engkau sarjana muda
Lelah tak dapat kerja
Tak berguan ijazahmu
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku
Sia-sia semuanya
(Sarjana Muda – Iwan Fals)

Kamarnya mengenaskan, berantakan, mirip medan kurusetra dua kucing garong. Koran bekas mencari lowongan kerja tergeletak begitu saja di lantai. Puntung rokok berdesakan di asbak buatan bekas air mineral berukiran 1,5 liter. Beberapa baju kotor menggantung di balik pintu, tempat yang nyaman bagi nyamuk untuk mempersiapkan serangan kepada makhluk pengangguran bernama Joni. Sesekali dia datang ke kamarku untuk main Zuma Si Kodok Penembak, Bounce Si Balon Doyan Pecah, atau permainan menyamakan Si Pantat Api. Semuanya memnag game abal-abal alias gampang sekali, tapi bagi Joni hal ini cukup menghiburnya di tengah kecemasan menghadapi masadepan yang kelabu dan belum jelas.

Dia ingin sekali membeli buku-buku novel yang tebal-tebal karangan para penulis terkenal, tapi jangankan untuk membeli buku untuk makan sehari-hari saja dia harus sangat sangat mengencangkan ikat pinggang. Dia hanya makan nasi sehari sekali, kira-kira jam satu siang. Malam hari dia mengganjal perutnya yang keroncongan dengan beberapa potong gorengan atau indomie. Subsidi dana dari kampung mulai kurus sebab dia sudah bukan lagi mahasiswa.

***

“Bung tentu sudah membaca buku-buku karya Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dan Donny Dirgantoro, bukan?. Nah, apa yang mereka tulis itu bukan hanya untuk dibaca Bung, bukan hanya dijadikan status facebook hanya untuk gagah-gagahan atau keren-kerenan, bukan cuma jadi bahan cicitan di twitter aja. Tapi lebih dari itu Bung, kita harus bisa belajar untuk merealisasikannya!”

Aku diam tak meladeni omongannya.

“Hey Bung, listen to me, kini saya sudah mendapatkan jurus yang paling manjur untuk bisa bernafas panjang dalam menulis. Kita sebenarnya tidak usah pusing-pusing berpikir, yang penting menulis saja. Tulis saja dengan hati, nanti setelah selesai baru kita memeriksanya dengan pikiran.”

“Kayanya kata-kata itu pernah saya dengar? Di mana ya? Ah, ya..ya…itu kan kata-kata si William Forrester, Jon?!”

“Nah, itu Bung tahu. Kita ini Bung, terlalu banyak membaca, terlalu banyak nonton film, tapi tak pernah mau belajar untuk menyerap dan melaksanakannya pesan-pesan yang bertebaran di buku dan di film itu dalam kehidupan sehari-sehari. Jadi sekarang otak kita penuh, pengetahuan kita luas, pengalaman kita banyak, tapi tak pernah mau belajar untuk memperbaiki diri. Di titik ini kita selalu kalah. Di titik ini pula saya setuju dengannya.

“Nah, Bung bacalah sendiri apa kata mereka itu!,” Joni meletakkan selembar kertas yang sudah lusuh di meja dekat tv. Aku ambil dan di kertas itu tertulis:

***

[irf]

No comments: