Malam selalu datang mengendap-ngendap.
Mula-mula dia menyembunyikan bayangan pohon dan tiang listrik. Kemudian
merambat menjalari ventilasi udara kamar, dan membuat ruangan menjadi
remang, sebelum akhirnya menyuruh saya untuk menyalakan lampu.
Sementara saya membaca buku, di luar, sebuah keranjang sampah baru saja
dihuni pembungkus nasi yang hanya menyisakan tulang ikan dan sepenggal
kepalanya. Di Jakarta, malam tak pernah menggigil, udara panas seperti
selimut abadi. Dan ini tentu saja membuat pintu kamar saya selalu
terbuka, seperti juga saat itu, waktu saya membaca sebuah cerpen karya
Anton Kurnia.
Lelaki penulis itu seperti ingin menjadi tokoh dalam cerpen Budi
darma yang miskin komunikasi. Dia memang tinggal di sebuah rumah
kontrakan yang terletak di sebuah gang yang padat oleh rumah-rumah
penduduk. Tapi dia jarang berkomunikasi dengan para tetangganya,
kecuali dengan ketua RT yang kebetulan rumahnya bersebelahan. Dengan
kenyataan itu dia sudah merasa bahwa orang-orang akan menganggapnya
aneh. Terlebih dia juga lebih senang berdekat-dekat dengan tanaman
daripada dengan manusia. Lengkaplah sudah, bahwa dia akan mengira
orang-orang akan menganggapnya aneh.
Di luar ada bunyi, seperti bunyi keranjang sampah yang tumpah. Tapi
saya tak peduli. Udara masih panas, dan pintu kamar masih terbuka.
Dia senang sekali dengan tanaman suflir. Rajin betul dia
menyiramnya. Dia juga senang memandang mawar putih yang sedang merekah.
Apabila kuntum bunga itu baru saja disirami dan tetes-tetes air tampak
bergulir membasahi kelopaknya, maka dia seringkali---pada saat-saat
seperti itu---teringat pada Tuhan, dan dia merasa bahagia.
Sementara di luar ada bunyi lagi. Kali ini seperti suara bungkus
nasi yang diacak-acak. Barangkali tikus, begitu saya menyangka. Lalu
membaca lagi.
Suatu hari dia mendapati jejak kaki hewan di rumah kontrakannya.
Awalnya dia tak peduli. Sampai dia mendapati tanaman kesayangannya
rusak. Dan tersangkanya ternyata seekor kucing belang. Entah kucing
peliharaan siapa, yang jelas kucing belang itu akhirnya dia bunuh.
Kembang rusak nyawa kucing melayang. Lihat, benar-benar seperti
mendekati karakter-karakter tokoh dalam cerpen Budi darma.
Suara di luar semakin tak enak di dengar. Seperti ada yang
mengacak-ngacak keranjang sampah. Saya tidak berpikir yang lain, pasti
ini kelakuan kucing. Dan benar saja, waktu saya lihat perlahan dari
balik pintu, seekor kucing belang sedang asyik mengacak-ngacak
keranjang sampah demi mendapatkan tulang ikan dan sepenggal kepalanya.
Masih dengan perlahan, saya ambil sapu, lalu setengah mengendap saya
dekati kucing belang pengacau itu, dan beberapa detik sebelum kucing
belang itu menyadari kedatangan saya, gagang sapu sudah mendarat mulus
di kakinya. Dia lari menjauh sambil terpincang-pincang.
Di seberang rumah kontrakan si penulis, ada rumah yang dihuni oleh
seorang nenek dan anaknya yang selalu jarang berada di rumah karena
harus bekerja. Pergi pagi pulang malam. Dan nenek itu sepanjang hari
pasti akan terlihat sendirian, melamun di depan rumahnya. Si penulis
yang menyangka bahwa orang-orang akan menganggap dirinya aneh setiap
hari pasti melihat si nenek itu, karena pekerjaan dia memang menulis,
jadi waktunya banyak dia habiskan di rumah kontrakan. Berbeda dengan
hari-hari sebelumnya, kali ini si penulis melihat wajah si nenek tampak
murung dan sedih. Entah apa penyebabnya. Tapi dia, si penulis itu,
melihat perubahan air muka si nenek adalah sehari setelah dia membunuh
kucing belang yang telah merusak tanaman kesayangannya.
Setelah kucing belang itu berlari menjauh dengan terpincang-pincang,
saya lalu merapikan keranjang sampah yang berantakan. Saya masukkan
kembali pembungkus nasi yang sudah robek-robek ke dalam keranjang
sampah, kali ini tanpa tulang ikan dan sepenggal kepalanya karena telah
habis di makan kucing belang yang berlari menjauh terpincang-pincang
itu. Malam terus merayap, dan udara panas masih saja mengambang di
udara. Saya melihat ke langit, bulan sedang purnama, tapi saya tidak
melihat Nini Anteh dan kucingnya. [irf]
14 Des ‘11
Sumber Foto: merdeka.com
No comments:
Post a Comment