15 May 2012

Sigi

Saya tunggu lagi dia; perempuan berambut pendek, berkacamata, dan giginya memakai behel. “Lo ganti selera?”, kawan saya bertanya, seperti ingin menyamakan perempuan dengan objek wisata kuliner. Ada apa dengan langit, kenapa tiba-tiba hamil oleh awan yang mengandung air hujan, seperti sebuah konspirasi untuk menghambat jalan perempuan berambut pendek itu. Sigi, sebut saja dia begitu. Kemarin pagi, kira-kira jam tujuh lewat lima, saya melihatnya ketika keluar dari gerbang rumah, dia melintas di depan, saya perhatikan dia, dan matanya sedikit melirik, tapi dia jalan terus. Saya kejar dan menangkapnya dengan sebuah basa-basi. Cantik?, tentu saja, itu sebabnya saya kejar. Di ujung gang saya tinggalkan dia, “Aku duluan ya, sorry buru-buru,” dan saya memepercepat langkah, lalu menghilang ditelan mikrolet. Dari balik jendela mobil, dia masih tercecer di belakang.

Sekarang sudah sepuluh menit saya menunggunya, sengaja keluar dari rumah lebih awal. Hujan mulai titik-titik turun, dan dia muncul dari belokan. Kalau saja pagi itu kamu duduk dengan saya, maka dapat kamu lihat dia tersenyum bagus sekali, behelnya terlihat seperti pagar kelurahan menyambut 17 Agustus. Dan titik-titk hujan mulai membawa teman-temannya, mereka mengeroyok bumi, tapi saya dan Sigi jalan terus. Dia tidak terlalu banyak bicara, bahkan cenderung seperlunya saja.

Dan hujan sudah tidak bisa dilawan, dia menyerang dengan pasukan air sebesar buah kelapa yang sudah dihaluskan. Kami menepi di depan sebuah toko kelontong. Celana panjang saya sudah naik beberapa centi demi menghindari genangan air, dan saya tidak membayangkan bagaimana jika seandainya rok yang dipakai Sigi naik beberapa centi dari lututnya. Tidak, atau mungkin belum. Saya belum sempat membayangkan hal yang dapat membuat badan menjadi panas-dingin. Saya dan dia sama-sama tidak membawa jaket, apalagi payung. Tapi kami harus melawan dingin, suhu perlahan turun, dan saya sedikit merapatkan diri ke arahnya. Dia bergeser menjauh. Lama-lama dia juga kedinginan, dan sekarang giliran dia berusaha merapat, saya diam saja. Lewat lima menit, saya menjauh juga. Dan dia merapat lagi, kali ini saya langsung menjauh. Dia diam, pandangannya lurus ke depan. Saya genggam tangannya, dan lihat itu, dia tersenyum bersamaan dengan hujan yang mulai reda, behelnya terlihat rapi. Sisa hujan akhirnya kami terobos. Saya tinggalkan dia di ujung jalan, saya lagi-lagi ditelan mikrolet.

Dalam seminggu, kalau sudah malam, saya hujani dia dengan sms. Dan memasuki hari ke delapan, hujan sms saya berhenti. Giliran dia yang menyerang, saya balas saja seperlunya. Dan hari-hari selanjutnya saya seperti menjadi anak muda kembali. Darah mengalir lancar dalam kanal-kanal tubuh yang tak terlihat. Sigi sudah seperti udara yang setiap hari saya hirup. Sesekali saya menghantamnya dengan kejutan yang membuat dia limbung kehilangan keseimbangan, sebelum dia jatuh, saya sudah menyelamatkannya. Dia memaksa ingin ikut ke rumah (kostan red), tapi saya selalu melarangnya, “Jangan ikut, di tempatku banyak buaya, “ / “Gapapa, kata kamu buaya kan baik,” / “Itu dia, yang ini buayanya sedang sakit,” dan dia tak pernah lagi ingin ikut ke rumah.

Dia suka sekali dengan anak-anak, sesuatu yang malah menurut saya kurang menarik. Pusing kalau berurusan dengan anak-anak; berisik dan selalu banyak gerak, seolah-olah mereka adalah makhluk yang harus dijinakkan. Adiknya dua orang, masih kecil, dan dia baik sekali kepada mereka. Kalau dia lagi mandi, dua orang adiknya sengaja main di ruang tamu, banyak gerak, banyak suara, dan banyak gangguan. Kalau terdesak, saya pindah ke kursi yang ada di depan rumah, tak jauh dari pohon mangga besar yang rimbun, yang berdiri tegap bagai monster yang malas bercukur. Siwalan!, adik-adiknya ikut juga ke depan dan melanjutkan gangguan. Emosi naik, saya siapkan kuda-kuda untuk mencubit keduanya, tapi Sigi keburu berdiri di ambang pintu; cantik, wangi, dan senyumnya itu….aduh, selalu saja membuat saya awet muda.

Dia memang baik, disangkanya saya akrab dan senang ditemani oleh kedua orang adiknya. Itu karena saya sedikit demonstratif, sebelum pergi dengannya, saya mencium kening kedua orang adiknya yang menyebalkan itu. Padahal saya lebih ingin mencium Sigi, tapi nanti saja, belum waktunya, di mana-mana orang harus sabar. Orang sabar disayang Sigi. Dan kami pergi, ada film bagus di Blitz; Biutipul. Pemain utamanya Javier Bardem, si flamboyan yang juga bermain di film Vicky Cristina Barcelona, No Country for Old Men, Love in the Time of Cholera, Collateral, Mondays in the Sun, dan masih banyak lagi.

“Pulangnya jangan terlalu malam,” / “Iya Pah,” / “Iya Om,” kalau kamu pintar, pasti dapat dengan mudah menebak, itu adalah suara ayahnya Sigi, Sigi, dan saya—entah siapanya Sigi. Saya memang belum melepaskan peluru AK 47, nanti saja, sabar, di mana-mana orang harus sabar. Orang sabar disayang Sigi yang cantik dan wangi. Tapi entah kenapa, siang ini, tiba-tiba saya malas melanjutkan cerita. Ini pasti gara-gara cuaca di luar sangat panas, yang membuat saya menjadi sangat ngantuk. Sudah ah. [ ]

No comments: