14 May 2012

Seluloid

Apa yang tidak sengaja diwariskan oleh bapak adalah nonton film dan makan roti. Setiap generasi punya bahasanya masing-masing. Dulu, setiapkali mengambil gaji ke kota, bioskop kadaluarsa itu kerap didatanginya, untuk sekadar khatam jagoan-jagoan berotot atau para ranger dari negeri koboy. Dalam perjalanan pulang ke rumah, roti kopyor itu meringkuk di tas hitamnya, lalu pagi dengan khidmat  mengaduk roti dengan liong bulan. Begitu setiap bulan, selama bertahun-tahun. Dan kebiasaan mengalir perlahan ke dalam anak rantingnya sendiri.

Dalam ruangan berpendingin dan gelap, saya mendapati diri tengah bersolo karir mengikuti kisah Tionghoa Kebon Jeruk. Layar perak bukan soal popcorn, nachos, dan monuman bersoda, tapi transfer emosional yang dilakukan dengan baik oleh pita seluloid. Rutinitas menemukan titik hentinya di situ, di perjalanan Reda dengan ayahnya yang berangkat ke tanah Haram menggunakan mobil dari Prancis. Adzan yang berkumandang di layar seperti makhluk asing yang menentramkan, padahal dari balik jendela dan ventilasi udara, setiap hari suara itu merambat menemui jiwa-jiwa kosong. Jiwa-jiwa yang sibuk berjejaring atau sekadar merampungkan power point yang tinggal satu grafik untuk laporan hari senin.

Saya butuh banyak tissue waktu emak berjulan kue demi menambah tabungan haji. Uang lima ribu dikumpulkan sedikit demi sedikit, yang bahkan sebelum semuanya terkumpul emak sudah semkain tua. Waktu sangat disiplin  mencopoti kekuatan fisiknya satu-persatu. Di sepotong senja, anaknya menghibur emak dengan getir, mengajak emak untuk pergi haji dengan memakai perahu nelayan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan. Pertaruhan emak seperti tumbal sosial di tengah ironi, sebab tetangganya sudah berkali-kali menikmati ONH Plus.

Masahiro Motoki tercenung di depan sebuah rumah tua. Dia bertanya-tanya : inikah kantornya?. Keberangkatan di iklan lowongan pekerjaan ternyata bukan agen perjalanan, tapi perias bagi mayat yang akan segera "berangkat". Setelah karir cellonya terhenti, dia berjuang mencari pekerjaan. Siapa yang bercita-cita menjadi perias mayat, tak seorang pun.  Bahkan istrinya yang cantik minggat ke rumah orangtuanya setelah tahu bahwa suaminya bekerja seperti itu. Tapi pekerjaan harus dinikmati, di mana letak rahmat jika kerja setiap hari dipanen oleh keluh dan umpat?. Motoki jalan terus, dan kesungguhannya berhasil mengembalikan sang istri ke pangkuan.

Bapak bukan seorang ahli resensi, bahkan sering lupa dengan nama-nama tokohnya. Sekali waktu bapak memberi saya sebuah DVD bajakan : The Song of Sparrows. Dan tiba-tiba saya merasa beruntung mendapati bapak bukan seorang tukang ojeg.

Cerita mengelupas menjadi toples gula. Memantulkan pesan dengan gambar yang harus dicermati seksama. Film bukanlah seorang kahin yang tersesat dalam syair-syair jin. Di baliknya ada penggarapan yang serius, dibumbui dana dan idealisme. Takarannya harus pas, tidak boleh terlalu banyak ampas. Presisi memang bisa ditoleransi, tapi bukan mengorbankannya demi pundi-pundi.

Tumpukan DVD bajakan itu kini mulai berdebu. Selera entah terbang ke mana. Sekali-kali saya ubah rute angkot dan berhenti di depan mall. Barangkali ada yang bisa membasuh bosan, atau sekedar merapikan debu-debu kesibukan. Tapi bioskop telah menjadi kuburan. Para penjual setan berkolaborasi dengan bintang-bintang JAV. Garuda menang di tangan sutradara. di kursi nomor D 29, di bawah guyuran AC dan lampu sangat temaram, saya tertidur dan berkembang : Dukuh Paruk, Edensor, Gontor, Belitong, apartemen Ladya Cheryl, gedung tua Ray Sahetapi, sekolah Denias, dan Semeru, semuanya telah diduduki kawanan pocong, kuntilanak, dan hantu tanpa definisi. [ ]

Sumur Batu, 25 Des 2011.

No comments: