Apa yang tidak sengaja diwariskan oleh bapak adalah nonton film dan
makan roti. Setiap generasi punya bahasanya masing-masing. Dulu,
setiapkali mengambil gaji ke kota, bioskop kadaluarsa itu kerap
didatanginya, untuk sekadar khatam jagoan-jagoan berotot atau para
ranger dari negeri koboy. Dalam perjalanan pulang ke rumah, roti kopyor
itu meringkuk di tas hitamnya, lalu pagi dengan khidmat mengaduk roti
dengan liong bulan. Begitu setiap bulan, selama bertahun-tahun. Dan
kebiasaan mengalir perlahan ke dalam anak rantingnya sendiri.
Dalam ruangan berpendingin dan gelap, saya mendapati diri tengah
bersolo karir mengikuti kisah Tionghoa Kebon Jeruk. Layar perak bukan
soal popcorn, nachos, dan monuman bersoda, tapi transfer emosional yang
dilakukan dengan baik oleh pita seluloid. Rutinitas menemukan titik
hentinya di situ, di perjalanan Reda dengan ayahnya yang berangkat ke
tanah Haram menggunakan mobil dari Prancis. Adzan yang berkumandang di
layar seperti makhluk asing yang menentramkan, padahal dari balik
jendela dan ventilasi udara, setiap hari suara itu merambat menemui
jiwa-jiwa kosong. Jiwa-jiwa yang sibuk berjejaring atau sekadar
merampungkan power point yang tinggal satu grafik untuk laporan hari
senin.
Saya butuh banyak tissue waktu emak berjulan kue demi menambah
tabungan haji. Uang lima ribu dikumpulkan sedikit demi sedikit, yang
bahkan sebelum semuanya terkumpul emak sudah semkain tua. Waktu sangat
disiplin mencopoti kekuatan fisiknya satu-persatu. Di sepotong senja,
anaknya menghibur emak dengan getir, mengajak emak untuk pergi haji
dengan memakai perahu nelayan yang biasa digunakan untuk menangkap ikan.
Pertaruhan emak seperti tumbal sosial di tengah ironi, sebab
tetangganya sudah berkali-kali menikmati ONH Plus.
Masahiro Motoki tercenung di depan sebuah rumah tua. Dia
bertanya-tanya : inikah kantornya?. Keberangkatan di iklan lowongan
pekerjaan ternyata bukan agen perjalanan, tapi perias bagi mayat yang
akan segera "berangkat". Setelah karir cellonya terhenti, dia berjuang
mencari pekerjaan. Siapa yang bercita-cita menjadi perias mayat, tak
seorang pun. Bahkan istrinya yang cantik minggat ke rumah orangtuanya
setelah tahu bahwa suaminya bekerja seperti itu. Tapi pekerjaan harus
dinikmati, di mana letak rahmat jika kerja setiap hari dipanen oleh
keluh dan umpat?. Motoki jalan terus, dan kesungguhannya berhasil
mengembalikan sang istri ke pangkuan.
Bapak bukan seorang ahli resensi, bahkan sering lupa dengan nama-nama
tokohnya. Sekali waktu bapak memberi saya sebuah DVD bajakan : The Song
of Sparrows. Dan tiba-tiba saya merasa beruntung mendapati bapak bukan
seorang tukang ojeg.
Cerita mengelupas menjadi toples gula. Memantulkan pesan dengan
gambar yang harus dicermati seksama. Film bukanlah seorang kahin yang
tersesat dalam syair-syair jin. Di baliknya ada penggarapan yang serius,
dibumbui dana dan idealisme. Takarannya harus pas, tidak boleh terlalu
banyak ampas. Presisi memang bisa ditoleransi, tapi bukan
mengorbankannya demi pundi-pundi.
Tumpukan DVD bajakan itu kini mulai berdebu. Selera entah terbang ke
mana. Sekali-kali saya ubah rute angkot dan berhenti di depan mall.
Barangkali ada yang bisa membasuh bosan, atau sekedar merapikan
debu-debu kesibukan. Tapi bioskop telah menjadi kuburan. Para penjual
setan berkolaborasi dengan bintang-bintang JAV. Garuda menang di tangan
sutradara. di kursi nomor D 29, di bawah guyuran AC dan lampu sangat
temaram, saya tertidur dan berkembang : Dukuh Paruk, Edensor, Gontor,
Belitong, apartemen Ladya Cheryl, gedung tua Ray Sahetapi, sekolah
Denias, dan Semeru, semuanya telah diduduki kawanan pocong, kuntilanak,
dan hantu tanpa definisi. [ ]
Sumur Batu, 25 Des 2011.
No comments:
Post a Comment