Perawakannya kecil, dan hampir keluar dari fakultas kedokteran karena
tidak kuat berada di ruang laboratorium bedah mayat. Swee, begitu dia
akrab dipanggil. Dia lahir di Malaysia dan dibesarkan di Singapura.
Kedua orangtuanya bertemu ketika invasi Jepang berbahan bakar semangat
untuk mengusai dunia. Sebagai sama-sama orang yang kritis, kedua
orangtuanya ditangkap Jepang kemudian dijebloskan ke penjara. Barangkali
sikap kritis termasuk hal yang berhubungan dengan genetika, karena di
kemudian hari, Swee pun sama seperti kedua orangtuanya; seringkali
kritis terhadap keadaan di sekelilingnya.
Setelah menikah, dia bersama suaminya kemudian menetap di Inggris
yang menjalani pekerjaan sebagai seorang dokter bedah ortopedis. Suatu
hari di tahun 1982, Swee menonton televisi dan menyaksikan Israel
menyerang Beirut secara brutal. Tentu banyak korban berjatuhan, dan ini
langsung mengusik naluri kemanusiaannya, dan juga naluri pribadinya
sebagai seorang dokter. Keinginan untuk pergi ke medan yang banyak
jatuh korban tersebut mendapat dukungan suaminya. “Jangan ragu Swee,
pergilah. Kalau saja aku seorang dokter sepertimu, tentu aku pun akan
pergi,” kurang lebih begitu dukungan yang diberikan suaminya. Bersama
rombongan para sukarelawan yang lain, akhirnya Swee pun pergi meskipun
tentu keraguan itu masih ada karena harus meninggalkan suaminya
tercinta.
Pesawat yang membawa rombongan sukarelawan harus mendarat di Siprus
karena bandara Beirut telah ditutup oleh militer Israel. Keadaan
politik memang sedang rumit. Beirut Barat yang menjadi salahsatu tempat
mengungsi bangsa Palestina karena diusir dari kampung halamannya
menjadi target serang Israel yang cukup serius. Dengan dalih
menghancurkan para “teroris” PLO (Palestine Liberation Organization),
Israel terus menerus menghujani kamp-kamp pengungsi Palestina dengan
peluru dan bom. Ihwal stigma teroris ini, juga sempat membuat Swee
takut untuk pergi ke Beirut karena dalam bayangannya PLO adalah
kelompok yang sangat membahayakan kemanusiaan.
Dan waktu terus berjalan untuk akhirnya membawa Swee ke sebuah rumah
sakit di dekat kamp pengungsian Palestina, tepatnya di Rumah Sakit
Gaza. Di sana Swee disambut hangat oleh dokter dan paramedic yang
tergabung dalam PRCS (Palestine Red Crescent Society). Situasi politik
terus bergerak. Hasil dari sebuah kesepakatan akhirnya membuat para
pejuang PLO dievakuasi ke tempat lain, pergi meninggalkan kamp
pengungsi Palestina di Beirut Barat. Para lelaki dewasa dan pemuda
pergi meninggalkan keluarga tercinta dengan harapan Israel menghentikan
serangannya. Sementara di kamp, para istri, para manula, dan anak-anak
kecil dengan rela menyerahkan senjata api kepada aparat militer
dengan harapan sama bahwa kedamaian akan segera datang. Logika para
politisi sederhana; Israel menyerang kamp pengungsi di Beirut Barat
dengan alasan karena masih ada para pejuang PLO yang menjadi musuh
mereka.
Swee yang kemudian mengisi lembaran hidupnya di tengah-tengah pasien
korban perang sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa Arab dan mulai
mengakrabi budaya keseharian masyarakat di sekitar rumah sakit
tempatnya bekerja. Suatu hari temannya yang sama-sama bekerja di rumah
sakit dan berkebangsaan Palestina mengajaknya berjalan-jalan ke kamp
pengungsi yang tidak jauh dari Rumah Sakit Gaza. Swee di ajak ke kamp
pengungsi Shabra dan Shatila. Kejutan awal ditemui Swee, ternyata para
pengungsi tidak menyebut tempat itu sebagai “Kamp Pengungsi Palestina”,
mereka tidak mau bersikap diskriminatif karena dalam kenyataannya
mereka memang menerima siapa saja yang mau bergabung dan hidup bersama
di kamp pengungsi tersebut. Di dalamnya, selain warga Paestina, juga
ada warga Lebanon, dan bahkan ada warga Yahudi Israel yang menentang
kebijakan pemerintahnya yang menyerang kamp pengungsi tersebut. Islam,
Kristen, dan Yahudi hidup bersama di kamp itu. Shabra Shatila bukan
tempat dengan pemandangan didominasi oleh tenda-tenda darurat khas
barak pengungsian, tapi sudah menjadi sebuah kampung yang berjalan
cukup dinamis. Ada pasar, ada lapangan sepakbola, dan rumah-rumah
sederhana yang dibangun oleh para pengungsi. Sisa-sisa serangan Israel
terlihat dengan jelas, tapi warga dengan penuh semangat, optimis, dan
berharap damai, bahu-membahu membangun kembali Shabra Shatila. Swee
kagum dengan spirit yang menyala dari manusia-manusia yang telah cukup
lama hidup dalam penderitaan tersebut.
Selang beberapa hari setelah Swee melihat kamp Shabra Shatila,
politik kembali menjadi panglima; serangan udara Israel menewaskan
presiden Lebanon. Swee khawatir dengan kondisi politik yang begitu
cepat berubah, dia khawatir jika kemudian Israel kembali menyerang
Beirut Barat, dan membombardir Shabra Shatila. Dan kekhawatiran Swee
menjadi kenyataan : Shabra Shatila yang telah ditinggalkan para pejuang
PLO dalam sekejap mejadi kuburan massal para pengungsi. Parade
penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan merajalela tanpa ada satu pihak
pun yang dapat menghentikannya. Suku-suku warga Lebanon yang bersekutu
dengan Israel membunuh hampir semua warga Palestina. Perempuan
diperkosa, anak-anak diledakkan dengan dinamit, orangtua ditembak,
rumah-rumah mereka diratakan dengan tanah. Orang-orang PRCS yang
notabene adalah para tenaga medis juga diburu dan dibunuh. Kenyataan
ini membuat Swee begitu tertekan. Fisik dan mentalnya tiba-tiba menjadi
sangat lelah. Naluri kemanusiaannya benar-benar terpukul. “Sebagai
seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel. Pengalamanku
di Shabra-Shatila menyadarkanku bahwa orang Palestina adalah manusia.
Kebodohan dan prasangka telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa
Palestina,” demikian kata Swee.
Swee sempat menulis beberapa kesaksian yang dikirimnya ke Inggris
dengan harapan dunia bisa melihat tragedy kemanusiaan yang tengah
terjadi di hadapannya. Tapi suaminya mengabarkan bahwa tidak ada
satupun media Inggris yang mau memuat kesaksiannya. Dalam satu kondisi
yang sangat lelah setelah berpuluh-puluh jam dengan hampir tanpa henti
menolong para korban pembantaian, Swee sempat menulis surat kepada
suaminya :
“Sayang. Aku merasakan kelelahan fisik datang dan pergi,
tetapi aku tidak takut, sejarah telah mengajarkan kita sebaliknya.
pernahkan terpikirkan oleh budak-budak di masa lalu bahwa suatu hari
mereka akan bebas dan di anggap sebagai manusia? namun inilah kesaksian
kami. Bahwa sejarah akan terus berulang dan kami akan menang. Mungkin
bukan hari ini, mungkin bukan besok, mungkin bukan generasi sekarang,
bahkan mungkin bukan generasi berikutnya - namun karena kami manusia,
suatu hari kami pasti menang. Ya, hal itu memang membutuhkan kegigihan,
disiplin, pengorbanan, dan harga yang sangat mahal - namun sesuatu
yang merupakan hak kita, pastilah suatu hari akan kita peroleh kembali.
Sayangku, kita hanyalah dua individu kecil
dalam sejarah pembebasan ini. Mungkin di suatu tempat kita akan
terhanyut, menjadi error margin terpinggirkan-tetapi kita tahu kemana
gelombang itu akan mengalir, dan tidak ada yang dapat menghentikannya.
Mungkin kedengarannya retoris-namun di segenap sejarah orang-orang yang
memperjuangkan keadilan, tidak ada yang terdengar retoris.
Aku menangis bagai seorang prajurit muda yang bersiap
bertempur di medan perang, tetapi tumbang sebelum pertempuran dimulai.
Meskipun demikian, aku tertawa, tertawa penuh kemenangan, karena aku
tahu masih ada jutaan orang lainnya yang akan melanjutkan perjuangan
itu sesudahku.
Aku sudah menatap wajah sang maut dan telah kulihat kekuatan
serta keburukannya, tetapi aku juga telah menatap ke dalam matanya,
dan kulihat ketakutannya. Anak-anak kami akan datang karenanya dan
mereka tidak takut.”
***
Enam tahun kemudian Swee membuat kesaksian dengan menuliskan genosida Shabra Shatila 1982 dalam buku yang berjudul Dari Beirut ke Jerusalem.
dr. Ang Swee Chai manusia. Para korban yang dibantai di Shabra Shatila
manusia. Para pembantai juga manusia. Dan buku ini mengisahkan tragedy
kemanusiaan yang mengoyak isu perdamaian, karena pembantaian tersebut
kemudian melahirkan gerakan Intifada yang pertama. “Perdamaian itu
tidak akan terwujud tanpa adanya keadilan dan rasa
kemanusiaan,” demikian kata Swee. Buku ini sempat beredar di AS, tapi
kemudian ditarik dari peredaran karena pemerintah AS marah atas
kesaksian Swee yang begitu telanjang menuliskan kejadian yang
sebenarnya.
Farid Gaban, seorang wartawan senior yang pernah meliput perang
Bosnia pada tahun 1993 menulis : “Saya menangis ketika membaca buku
ini untuk pertama kalinya. Ilmu kedokteran dan keterampilan sastra
menjadikan kesaksian ini begitu mengiris.” [ ]
ITP, 16/10/11
No comments:
Post a Comment