15 May 2012

Membaca Njoto, Membaca Sejarah yang Diliputi Kabut

“Jangse mengalir
Kepalku menghilir
Dari Cangking ke Wuhan
Kejelajahi haridepan
Kujelajahi haridepan”

***

Menghadirkan kembali tokoh-tokoh PKI dalam sebuah buku tentu saja masih selalu mengundang kontroversi, meskipun reformasi sudah berjalan hampir tigabelas tahun semenjak Orde Baru jatuh. Di jalanan kadang-kadang terlihat spanduk yang memasang tulisan “ Awas Bahaya Laten Komunis!!”. Komunisme dan PKI ternyata masih menjadi hantu yang menakutkan, terutama setelah gempa politik 1965. Ruang sejarah yang seharusnya menulis peristiwa dari berbagai perspektif, ternyata masih saja memberikan sedikit ruang bagi penulisan kembali sejarah “gelap” yang selama ini memojokkan salah satu pelakonnya. Tapi sebenarnya kondisi sekarang lebih mulai terbuka daripada beberapa puluh tahun ke belakang, ketika buku-buku sejarah, terutama yang dipelajari di sekolah, ditulis menjadi dua blok : penjahat dan pahlawan. Penulisan sejarah digiring oleh kepentingan penguasa yang takut oleh kemungkinan-kemungkinan fakta yang sebenarnya bisa saja dihadirkan secara seimbang.

Adalah majalah TEMPO yang pada tahun 1994 sempat dibredel dan kembali hadir di tengah ruang public yang mencoba menghadirkan penulisan sejarah dengan pendekatan jurnalistik. Dalam kata pengantarnya, yang ditulis oleh Arif Zulkifli (Redaktur Eksekutif Majalah TEMPO), menulis : “Kami sadar bahwa kami bukan sejarawan. Edisi khusus yang kini diterbitkan dalam versi buku tidak berpretensi untuk menguji masa lalu dengan metodologi sejarah yang ketat. Dalam pendekatan jurnalistik, yang diharapkan muncul adalah pesona sejarah---meski tidak berarti fakta disajikan serampangan dan tanpa verifikasi. Tujuan jurnalisme adalah mengetengahkan fakta dengan menarik, dramatic tanpa mengabaikan presisi.”

Seri buku TEMPO, setidaknya yang sudah beredar di toko buku, “baru” hadir tiga pembagian besar : Bapak Bangsa (Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir), Tokoh Islam Awal Kemerdekaan (Daud Beureuh, Sekar Maridjan Kertosuwirjo, Mohammad Natsir, Wahid Hasyim), dan Orang Kiri Indonesia (Dipa Nusantara Aidit, Muso, Njoto, Sjam Kamaruzaman). Kata “baru” dimaksudkan sebagai sebuah harapan pribadi, harapan saya yang masih menantikan buku-buku lainnya tentang sejarah yang ditulis oleh TEMPO. Salah satu yang menarik dari seri buku ini adalah penulisannya yang cerdas; ditulis dengan angle lain dan pemilihan diksi yang “bertenaga”, sebagai ciri khas tulisan waratawan. Dalam kata pengantar buku Bapak Bangsa, hal ini diakui oleh TEMPO : “Menulis para tokoh punya kompleksitasnya sendiri, kami harus pandai-pandai mencari sudut pandang yang tak dilihat media atau penulis lain. Padahal buku, artikel, dan hasil studi tentang empat tokoh ini (Bapak Bangsa) sudah setumpuk. Kami tentu bisa mengutip mereka, tapi kami tak bisa melulu mengunyah-ngunyah informasi lama.”

Dari ketiga seri buku yang telah terbit, menulis kembali Orang Kiri Indonesia mempunyai tantangannya tersendiri, bahkan sejak dari awal. Seorang pensiunan letnan jenderal Angkatan Darat, seperti dituturkan Arif Zulkifli, dalam acara silaturahmi Idul Fitri di kantor TEMPO sempat berkata setengah menghardik, “Kalian tak mengerti sejarah!”, waktu tahu bahwa TEMPO akan menerbitkan buku Orang Kiri Indonseia yang salah satu tokohnya adalah D.N. Aidit. Dalam pandangannya, Aidit tak selayaknya ditulis panjang lebar dalam sebuah laporan utama yang kemudian menjadi buku. Sebagai sebuah tangkisan kepada pandangan purnawirawan Angkatan Darat tersebut, TEMPO menulis : “Sesungguhnya tak ada fatwa yang mengharamkan media massa menulis tentang orang yang paling jahat sekalipun. Dasar media menulis adalah kemenarikan suatu peristiwa. Di atas itu ada hak public untuk tahu. Dalam hal tiga sosok orang kiri Indonesia, informasi yang diterima public kebanyakan berselimut kabut. Sang jenderal menganggap orang-orang kiri Indonesia berkhianat kepada republic dank arena itu wajib ditumpas. Segi-segi detail tentang sosok itu tak perlu dibahas. Juga cerita dia sebagai manusia. Padahal cerita tentang Aidit misalnya, mestinya diletakkan dalam sebuah bingkai yang lebih utuh. Inilah kisah tentang tragedy anak manusia. Tentang seorang yang punya cita-cita---betapapun sepakat/tak sepakatnya kita pada cita-cita itu dan cara mewujudkannya.”

Saya sebenarnya ingin menulis semacam resensi untuk semua buku tersebut, tapi yang mula-mula akan dihadirkan di sini adalah Njoto, salah satu orang kiri Indonesia yang bukunya dengan mudah dapat ditemui di toko buku besar. Hal ini mungkin dipengaruhi olah gaya menulis TEMPO yang menyebutnya sebagai seorang komunis yang tak biasa. Selain itu, Njoto juga dalam pembendaharaan pengetahuan saya yang sangat sedikit termasuk tokoh komunis yang sangat jarang terdengar. Tidak seperti Aidit dan Muso, Njoto sangat jarang ditulis dalam buku-buku sejarah mainstream. Sedangkan TEMPO menulisnya seperti ini : “Njoto, yang namanya nyaris tak menyimpan pesona, adalah seorang berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai nermain biola dan saksofon. Ia menimati music simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu ‘pro-rakyat’ dan menggelorakan ‘semangat perjuangan’. Ia menghapus The Old Man and The Sea---film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway---dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ‘kapitalis’ harus selalu dimusuhi.”

Menyusuri Njoto, dalam buku yang ditulis para wartawan TEMPO ini, kita mula-mula diajak ke masa kecilnya di Jember. Njoto adalah anak Raden Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya.  Njoto kecil sudah “nyentrik”. Di usia 12 tahun, Njoto terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. Njoto kecil tumbuh dengan cita-cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk mengusai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis. Selain itu, seperti sudah digariskan pada awalnya, Njoto sejak kecil tidak menyukai struktur social yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasatak nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa di rumah orangtuanya.

Dalam sejarah yang terus bergulir, Njoto beranjak besar dan pada sebuah relativitas waktu, Njoto  akhirnya bertemu dengan Aidit dan Lukman---orang-orang muda yang bergiat di PKI. Njoto bersama Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus bidang Agraria, Lukman awalnya di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan. Ketika pemberontakan PKI Madiun pecah, partai limbung, tercerai-berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Tokoh-tokoh muda ini kemudian berhasil menggusur tokoh-tokoh tua dan akhirnya mengambil alih kepemimpinan partai, dan semunya “habis” tidak lama setelah G30S pecah.

Tentu semua orang faham belaka, bahwa semua orang PKI, dari para elite sampai simpatisannya, baik di kota maupun di daerah,  habis di babat semenjak gempa politik 1965, tak terkecuali Njoto. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak.

Sebagai sebuah ikhtiar mengumpulkan bahan penulisan, juga untuk melacak yang selama ini tak terlacak, TEMPO menyempatkan berkunjung ke keluarga besarnya. Dari Soetarni, istrinya, didapat informasi bahwa Njoto merayu calon istrinya itu dengan puisi cinta. Jarak yang menjauhkan antara dirinya dan Soetarni dia lipat dengan surat yang amat panjang, lengkap dengan berbaris-baris puisi cintanya. “Itu surat apa koran?,” kata ayah Soetarni waktu itu. Selain itu, minat Njoto pada sastra pun begitu besar. Mantan pemimpin redaksi Harian Rakjat itu berminat pada karya-karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan. Bahkan dia juga menyukai karya H.B. Jassin dan HAMKA. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, sekitar bulan September 2008 sempat mengumpulkan beberapa puisi Njoto dan menerbitkannya dalam buku Gugur Merah : Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965. Salah satu puisinya adalah seperti yang saya kutip di awal tulisan ini yang ditulisnya pada tanggal 14 Oktober 1959.

Beberapa waktu sebelumnya peristiwa 30 September 1965, Njoto yang sering pergi ke Moskow unutk berkomunikasi dengan partai komunis internasional, dikabarkan berselingkuh dan hendak menikahi seorang gadis yang kuliah di jurusan sastra Indonesia Universitas di Moskow yang bernama Rita. Hal ini yang kemudian membuat Aidit marah dan mempreteli jabatan Njoto. Tapi walaupun begitu, bagi Soetarni, kesetiaan Njoto telah teruji. Apa pun kata orang tentang elegy cinta Njoto-Rita, baginya itu hanyalah dongeng. Pada masa kelam, tatkala dia dipenjara selama 11 tahun, tercerai-berai, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang tak tentu rimbanya, dia yakin Njoto adalah kekasihnya yang dulu. Njoto tetaplah lelaki pemujanya, yang mengiriminya berlaksa-laksa surat hingga mereka menikah dan dikaruniai tujuh anak.

Seri buku TEMPO ini, selain mengetengahkan aktivitas politik juga menghadirkan sisi personal tokoh-tokohnya, tak terkecuali Njoto. Hal ini barangkali, membuat siapapun yang membaca sejarah, tidak melulu melihatnya dari segi hitam-putih saja. “Menulis Njoto adalah ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda. Njoto salah satunya,” demikian kata TEMPO. Tapi bukan berarti buku ini tanpa kekurangan, selain tidak mengujinya dengan metodologi sejarah yang ketat, juga para penulis pun senantiasa dikejar-kejar waktu deadline sebagai wartawan. “Idealnya, kami mengembangkan versi buku dengan pendalaman liputan. Tapi kami tak bisa menaklukkan waktu. Kesibukan sebagai wartawan majalah berita membuat yang ideal untuk sementara harus masuk laci. Kami sadar kami harus bergegas sehingga---untuk sementara---tak bisa menukik lebih dalam. Dalam hal kami harus berendah hati : makanan yang kami masak barulah sebatas hidangan siap saji,” begitu kata Arif Zulkifli.

Dan saya sendiri, yang menulis catatan ini dengan hanya bermodalkan minat pada buku, tentu tak hendak menawarkan sebuah referensi sejarah yang utuh dan lengkap, melainkan hanya membagi apa yang telah dan tengah saya baca. [ ]

4 Juni ‘11     

No comments: