14 May 2012

Ini Jalanan, Bung!

Pagi-pagi belum lengkap jika belum tersedak oleh kabar yang memancar dari huruf-huruf yang menyala. Sepotong berita seperti ranjau darat yang meledak tiba-tiba. Tapi jika kau berpikir bahwa jejaring sosial tidak lebih ganas daripada koran dan surat kabar elektronik, maka siap-siaplah untuk gulung tikar, berkemas, dan ucapkan selamat tinggal. Media cetak mampu membabat tulisan yang memadat menjadi buku hanya lewat resensi yang bergerak dua arah dalam ritme waktu yang lambat. Resensi harus melewati dulu meja redaksi yang ketat, dicetak, lalu sampailah ke objek tembak. Respon diterima setelah melewati dimensi waktu yang cukup lama. Tapi jejaring sosial mampu bergerak dua arah dalam hitungan detik. Ketika tarikan nafasmu belum selesai, tulisanmu sudah diberaki komentar yang menyesakkan. Tapi inilah jalanan. Di sini adalah tempat belajar bagi yang mau belajar, tempat ekshibisi bagi yang mau pameran, tempat yang panjang dan berliku bagi para pejalan jauh, dan semuanya senantiasa diliputi oleh tikungan tajam, badai, sanjung-puja, cibiran, dan serapah. Langit tidak selamanya cerah, kawan. Bahkan ajang Indonesian Idol pun punya pisau pemenggal yang bernama eliminasi.

Tapi yang namanya karya, sekecil apa pun, seburuk apa pun, harus tetap dilepas ke alam bebas. Karena karya, sebagaimana kata Dewi lestari : “Adalah anak jiwa, dan ia sepatutnya hidup di alam terbuka. Ia akan lebih sehat dan kuat di sana, daripada dibekam dalam format bahasa biner.” Lalu pertanyaannya, bagaimana anak jiwa itu mau sehat dan kuat, jika setiap hari hanya dinutrisi oleh sanjungan dan pujian, ia sesekali harus dikritisi, diberi imunisasi dengan cara yang menyakitkan. Ini soal tempat penampungan, kawan. Petatah-petitih telah lama mengajarkan; Jika segenggam garam ditaburkan ke dalam sebuah gelas yang berisi air, maka asin yang sangat akan menawan air itu. Tapi jika segenggam garam itu ditaburkan ke dalam kolam, maka rasa asin akan menyebar luas, lalu lenyap ditelan air. Jadi ke mana perginya kembang gula yang sering kau tebar lewat kata-kata itu, jika tak mampu menjadi perisai dari godaan untuk tiba-tiba merasa tidak berguna, merasa menjadi sampah, hanya karena dihamtam sebuah tarikan pelatuk.

Ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tamparan Muhidin yang dia layangkan dalam buku terbarunya. Di menulis, “Kasus Seno Gumira Ajidarma dan Tolstoy itu pun kita tahu kemudian mereda dengan cepat, lalu melenyap. Tak ada kelanjutan. Mungkin sekadar sport agar media sosial itu tak hanya berisi keluh-kesah, ‘status’ personal dan sehari-hari, dan sesekali puisi-puisi pendek atau cerita pendek yang diposting tergesa-gesa untuk meraup sesegera mungkin pujian antar kenalan.”

“Meraup sesegera mungkin pujian antar kenalan”, ya, memang itu tidak salah, sebab inilah jejaring, kau bebas menjaring apa saja yang kau inginkan. Tapi ini juga sekaligus jalanan, tempat berderapnya lalu-lintas komunikasi sosial yang terkadang kau tak bisa menghindar dari sesuatu yang kau anggap “polusi”. Sederat kalimat barangkali bisa kau ambil dari ‘blog neraka’, di mana pemilik account blognya menulis : “ ‘AkuBuku’ adalah 'blog neraka' yg berisi sehimpun review atau komentar atas apa-apa yang pernah kubuat dan kutuliskan sekian waktu dalam beberapa buku, baik fiksi atau nonfiksi. Wadah ini adalah sebentuk ruang bagaimana ‘anak-anak ruhani’ itu lepas-hidup dan dimaknai kehadirannya di jalanan kota pembaca yang kerap sengit, ganas, dan amat jarang berbelas kasih. Tapi inilah hidup. Ini neraka. Ini bukan surga. Di sini, perkelahian selalu berlaku. Maka bertahanlah secara kreatif. Jangan merunduk. Kalaupun merunduk, janganlah terlalu terbenam. Kalaupun terbenam, janganlah terlalu lama.”

Angin tidak selamanya bergerak ke satu arah, kawan. Betapa pun hujan pujian dan sanjungan melumuri kafilah Laskar pelangi, betapa pun menginspirasinya novel terrsebut, tapi tetap saja akan selalu ada orang seperti Nurhadi Sirimorok yang menguliti dan menghujamkan kritiknya tepat ke jantung Modernitas yang dengan megah menjadi tema novel sejuta umat itu. Dia bukan sekedar iseng “mengganggu” ketenaran seorang Andrea Hirata, tapi mendudukkan pandangannya secara jelas dan tajam. Pandangannya seumpama ikan salmon yang bergerak melawan arus mayoritas, karena dia sadar bahwa kritik tetap dibutuhkan. Dan inilah darah daging yang sudah semakin langka di tengah bermunculannya karya-karya fiksi di jagat perbukuan kita. Maka, meskipun “hanya” catatan di jejaring sosial, teruslah bersiap untuk setiap tantangan adegan “perkelahian”.

Orang-orang yang menulis karya fiksi, lalu bergenit dengan kata-kata yang mengeksplorasi sensualitas tubuh, kemudian sebagian masyarakat melabelinya sebagai Sastra Selangkangan, betapa pun begitu, mereka terus saja menulis, melawan stigma dengan karya. Ada pula kafilah penulis yang istiqomah mengusung tema hitam-putih, lalu distempel sebagai Sastra Ibadah, sama saja, mereka juga tak bosan-bosan melahirkan tulisan. Melawan mestinya bukan dengan jalan merengek, sebab itu hanya mempertontonkan kelemahan. Samarkan pelurumu jika kau tidak menyukai sesuatu yang vulgar. [ ]


30 Des ‘11

No comments: