Éméh masih ingat dengan
baik peristiwa itu. Suatu hari pada 1958, pasukan DI/TII menghabisi beberapa
anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI dengan kata
“tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.
Setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi
ke balai desa. Malam adalah saat-saat tak aman, sebab gerombolan selalu datang
menyatroni kampung. Sebelum meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan
nasi dalam bakul untuk gerombolan. Mereka bukan mendukung gerombolan, melainkan
agar rumahnya tidak dirusak atau dibakar.
“Sangu disimpen di dapur, panto
dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak atanapi dirérab (Nasi
disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak atau
dibakar),” ujarnya.
Ia biasanya meninggalkan rumah setelah asar.
Namun hari itu agak terlambat. Ia baru pergi menjelang magrib, saat gelap mulai
membayang. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah, terdengar rentetan
senjata. Ia langsung tiarap.
Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke
jalan raya, ke sumber kegaduhan. Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara
menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani melihat lama. Pelan-pelan ia
bangun dan segera pergi ke balai desa.
Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan
raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi kurang lebih dua meter oleh Yonif 304
Kodam Siliwangi, bertuliskan:
“Di sini gugurnya
Letda Karim
Serda Makmur
Praka Sa’ari
Praka Kardi
Praka Sidik
Akibat keganasan DI/TII
Thn. 1958”
Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban,
Desa Cipedes, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh.
Saat itu Desa Cipedes memang salah satu daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir
setiap hari harus menyediakan nasi untuk gerombolan, juga menjalankan rutinitas
harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali ke rumah.
Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras
di balai desa yang dibagikan oleh kulisi (pegawai desa yang
bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk dirinya, melainkan
untuk gerombolan DI/TII.
“Tong poho asakan éta beas, améh imah teu
diduruk (Jangan lupa, masak berasnya, agar rumah [kalian] tidak
dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga, seperti disampaikan Éméh.
Situasi di balai desa cukup aman, sebab
dijaga kulisi dan beberapa orang anggota Organisasi Keamaan
Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas menjaga keamanan.
Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.
Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén
lahir pada 1924, sementara istrinya tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya,
catatan itu keliru, sebab usia kedua orang tuanya tidak terlalu berjauhan.
Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa
lembar foto yang diperlihatkan anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah
berseragam militer dengan logo Kodam Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya
tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi keriput.
“Nu di imah mah da sok mimilu Létnan Karim (yang
di rumah suka ikut Letnan Karim),” kata Éméh.
“Yang di rumah” maksudnya adalah suaminya, Émén.
Ia tak pernah memanggil nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan seorang
istri kepada suami. Hal itu, menurutnya, lantaran hubungan ia dan suaminya “teu
hadé” alias tidak baik.
“Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta mah (Persoalan
itu tidak usah disampaikan, Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja
membicarakan hubungan tersebut.
Saat saya temui, Éméh tengah berada di dapur
dekat perapian. Oleh anaknya ia dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia
sofa. Jalannya agak membungkuk, pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Saya
harus setengah berteriak setiap kali melontarkan pertanyaan.
Agak risi sebenarnya, sebab
pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu takut mengganggu para tetangganya
yang barangkali tengah tidur siang atau membangunkan bayi. Dan benar saja, tak
lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.
Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar,
pandangan Éméh selalu menerawang. Karena pendengarannya sudah tidak terlalu
prima, saya mesti mengulangi beberapa pertanyaan sampai dua atau tiga kali.
Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya, mata Éméh hidup kembali, dan
ia mulai bercerita.
Sekali waktu, ia
terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya dihajar popor
bedil sebanyak tiga kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah sadar,
ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit
bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis ditendangi. Setelah masak, nasi
segera ia suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.
“Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya,
bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada lagi di rumah),” ujarnya.
Dalam ingatannya, sejumlah ustaz dan kiai
kampung ikut dalam gerakan pemberontakan tersebut. Ia menyebutnya ada empat
orang, tapi hanya satu nama yang ia ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah
salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.
Menurutnya, waktu kecil ia belajar mengaji
kepada Mama Bustomi. Namun, ia kaget, saat DI/TII mengganas, ia melihat guru
ngajinya itu ikut bersama pasukan yang ia sebut “gerombolan”.
“Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot,
ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak tahu di mana Mama sekarang,
pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.
Belakangan, jauh setelah pemberontakan DI/TII
berakhir, anaknya berusaha mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi
Legiun Veteran, agar mendapatkan tunjungan. Namun sampai hari ini ia, yang
mengajukannya lewat calo, tak kunjung mendapatkan kabar gembira. Bahkan setelah
dana sebesar tiga juta lebih ia berikan kepada orang yang mengurus pengajuan
tersebut.
Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal
pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “Emak mah teu boga
nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu diangkat nepi anyeuna (Emak
tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara dalam penumpasan
DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’ tak
diangkat sampai sekarang),” ucapnya.
Mencari Kisah di Ciwangi
Dari rumah Éméh di Desa
Cipedes, saya menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa Cipaku. Barangkali
mereka mempunyai secuplik catatan tentang peristiwa penumpasan DI/TII di
wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih
menyarankan saya agar menemui para orang tua yang masih tersisa yang mengalami
peristiwa tersebut.
Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu
yang dibuat Kodam Siliwangi. Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih
TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya dalam menjaga keamanan.
Dua tahun lalu, saya bersama Komunitas Aleut
(komunitas sejarah di Kota Bandung) pernah menyambangi tugu tersebut dan
bertemu dengan Omay—mantan dalang wayang golek dan wayang orang—saat
mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku. Waktu itu
Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di Kampung Ciwangi.
Namun, saya tak segera mencari dan menemuinya
dengan pertimbangan bahwa orang tersebut tidak akan terlalu sulit dicari,
karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat.
Prajurit jaga Koramil Paseh lantas memanggil
seorang juru parkir untuk menunjukkan sejumlah rumah orang tua yang mengalami
zaman gerombolan. Barangkali karena tengah sibuk, juru parkir itu hanya
menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.
“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh
dari pabrik. Akang terus saja jalan ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah
mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.
Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya
saya menemukan rumah yang dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah
tampak sepi. Berkali-kali saya permisi, tapi tak juga ada jawaban dari dalam.
Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah Iwing sedang pergi ke majelis
taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.
Saya akhirnya pergi ke sebuah warung yang di
depannya terdapat beberapa tukang ojek, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di
antara mereka mengatakan, saya bisa menemui Haji Omon yang rumahnya dekat
pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.
Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya
Dari jalan raya, jalan
menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, tahi kuda berceceran. Saat
menemui saya, Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan kopiah
putih, barangkali habis salat zuhur.
Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu
baik. Ia mengaku kelahiran 1941. Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku,
Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak kampungnya agak ke atas, yang jika
terus disusuri ke atas akan bersambung dengan Kabupaten Garut.
Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah
perkampungan, usianya belum dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah
“dikunjungi” gerombolan sebanyak empat kali.
“Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan
kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan ukur bisa cicing (Empat kali
[gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka] mencari makanan. Bapak
dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.
Saat situasi semakin genting, ia dan orang
tuanya mengungsi ke Majalaya. Kakaknya adalah salah seorang anggota OKD—ia
menyebutnya hansip—yang diincar gerombolan karena nyalinya besar. Menurutnya,
para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-orang pemberani yang selalu
ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.
Namun, karena hal itulah mereka juga menjadi
incaran utama untuk dibunuh. Sial menimpa Onda, teman kakaknya sesama anggota
OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat warga menemukan jenazahnya, luka besar
menganga tampak pada bagian lehernya.
“Dipeuncit gorombolan (Digorok
gerombolan),” ujarnya.
Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut
dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam)
di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet, saat kekuatan DI/TII semakin lemah.
Setiap dua puluh meter, pos-pos penjagaan berupa pondok didirikan. Setiap pos
diisi lima orang yang bersenjatakan golok.
“Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi
eundeur (Banyak sekali yang ikut [operasi] Pagar Betis, [Gunung]
Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.
Rakyat bergantian menjaga pos. Omon kebagian
tiga hari. Saat ikut berjaga, rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur.
Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya mulai terbatas dan kelaparan mulai
mengganas, satu-persatu turun dari gunung lalu menyerahkan diri.
Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa
berderai-derai: saat berjaga dirinya enak makan dan enak tidur.
Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan
saat menceritakan pembakaran kampung-kampung yang dilakukan gerombolan, seperti
Kampung Cijengkol dan Kampung Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.
Markas Tentara dan Makam Keramat
Sebelum pamit, Omon
menyarankan saya untuk menemui Dalang Omay karena katanya mereka seangkatan,
sama-sama kelahiran 1941.
Tak lama mencari, akhirnya saya dapat menemukan
rumah Omay. Kini seluruh rambutnya telah memutih. Namun, pendengarannya masih
sangat baik. Dan barangkali karena ia telah puluhan tahun mendalang, kisah yang
dituturkannya pun mengalir lancar.
Menurut Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan
tak pernah pindah dari kampung halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil
Paseh, tempat yang dulu menjadi markas salah satu kompi dalam usaha pemadaman
pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin Letda Karim, tentara yang tewas
disergap gerombolan di Desa Cipedes.
Omay menuturkan, berbeda dengan
komandan-komandan kompi yang lain, yang membuat rakyat menjaga jarak karena
merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi yang disegani sekaligus dekat
dengan rakyat.
Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa
yang disampaikan Éméh tentang suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda
Karim.
“Letnan Karim memang caket pisan sareng
rahayat (Letnan Karim memang sangat dekat dengan rakyat),” ujarnya.
Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim
beserta beberapa anggotanya, menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab
ia masih ditakdirkan hidup sampai sekarang.
Sekali waktu, saat ia bersiap pergi ke Desa
Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk mendalang dalam pertunjukan wayang orang,
Letda Karim mengajaknya berpatroli ke Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak
hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang jauh-jauh hari telah
ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung jentaka itu.
Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena
menjadi markas tentara, juga karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal
sampai akhir pemberontakan DI/TII tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.
“Percanten teu percanten, tapi sigana makom
éta gé nu janten sabab gorombolan teu tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya
gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi penyebab gerombolan
tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya.
Ia menyaksikan dua peristiwa berdarah yang
menimpa gerombolan yang berhasil ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar lima
sampai enam gerombolan ditangkap dan tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka
dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya. Lubang kuburan telah tersedia. Di
tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung masuk ke lubang kuburan.
Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan.
Dua gedung sekolah dasar di Cipaku saat itu dijadikan tempat untuk mengurung
dua puluh satu gerombolan yang tertangkap. Sekali waktu, saat kompi dipecah ke
dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara yang berada di markas
tidak terlalu besar.
Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan
oleh teriakan-teriakan dari kejauhan, tanda gerombolan hendak menyerbu markas.
Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil menembus markas dan meloloskan para
tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk menghindari kemungkinan
tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang menyerbu, tentara
terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri darah.
Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.
“Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan
mayit ka kuburan (Saya dan warga lainnya bahu-membahu membawa
mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.
Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan
yang pura-pura mati berusaha meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar
batu oleh seorang warga yang bernama Sadma—terkenal bernyali besar—hingga
tewas.
Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para
tahanan yang tewas itu digali tak terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau
busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga akhirnya membuat lubang baru yang
dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.
Sebagai seorang dalang, saat pemberontakan
DI/TII berkecamuk, Omay pernah berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah
mendalang di sebuah kampung yang ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan
kompi markas tentara di Kecamatan Ibun menganggapnya sebagai bagian dari
gerombolan.
Beruntung, saat ia
menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor Halim dari Kompi
Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari gerombolan
sehingga ia akhirnya selamat.
Meski kampungnya dijadikan markas tentara, tapi
hari-hari genting tak pernah absen. Tutur kata amat dijaga, sebab gerombolan
kerap menyamar menjadi pedagang, atau bahkan warga kampung sendiri bagian dari
gerombolan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang hari beraktivitas seperti
biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke pergunungan
bergabung dengan gerombolan.
Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa
Sindangsari datang ke kampungnya untuk suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat
belanja ke warung ibunya dan dengan penuh kesal berkata bahwa gerombolan harus
ditumpas.
“Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di
diserang gorombolan (Esoknya, ia—Kepala Desa Sindangsari—meninggal.
Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.
Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang
kawannya yang bernama Démé, yang penah menjadi “camat gerombolan”—pimpinan yang
disegani di kalangan pasukan DI/TII—menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia
diampuni dan kembali ke masyarakat seperti sedia kala.
Démé telah meninggal tiga tahun lalu. Saat ia
masih hidup, Omay suka menggodanya dengan memanggilnya “camat”.
“Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman
baheula, nu enggeus mah enggeus wé (Ah, jangan memanggil camat, itu
zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé seperti diceritakan Omay.
Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam
Dalam
sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal pemberontakan DI/TII
di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon, dan Omay kisahkan
sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.
Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang
disusun Tempo, terdapat sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa
Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal
di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang bernama Cipaku—yang membuat
pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit.
“Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay,
sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki
sang imam kena tembak,” tulis Tempo.
Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul
Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam
Siliwangi—dulu Divisi Siliwangi—terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari
13.129 personel dengan perlengkapan 3.000 senjata api, termasuk bren dan
mortir.
Kekuatan tersebut paling besar berada di Kabupaten Garut, Kabupaten
Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa Barat bukan
berarti tak kuat.
Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor pun
terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga membuat
daerah-daerah tersebut tidak aman.
“Di sebelah timur Bandung, Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar
Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah
ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—melancarkan tujuh belas
serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya. (irf)
Tayang pertama kali di Tirto.id pada 8 Maret 2019