27 June 2021

Gutta-percha dari Sukabumi Mengembara Hingga ke Eropa

Kapal Miyazaki Maru milik Jepang karam dihajar kapal selam U-88 Jerman, gutta-percha dari Tjipetir yang diangkut kapal tersebut tercecer di perairan Eropa.

Pada salah satu hari di musim panas 2012, Tracey Williams menemukan benda persegi terdampar di pantai dekat rumahnya di Cornwall, Inggris. Ketika disentuh, ia merasakan benda tersebut kenyal dan ada tulisan huful kapital: “TJIPETIR”.

Beberapa minggu kemudian ia menemukan lagi benda serupa. Karena penasaran, Williams kemudian mencari tahu ihwal tulisan tersebut. Informasi yang ia dapat, ternyata tulisan di benda itu adalah nama sebuah pabrik di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi.

Setelah diunggah di salah satu akun media sosial miliknya, banyak yang mengaku menemukan benda serupa. Orang-orang yang berada di Spanyol, Prancis, Belanda, Jerman, Norwegia, Swedia, dan Denmark pun menemukan benda yang sama. Hal ini kemudian mengundang banyak perhatian dari berbagai media, baik dalam maupun luar negeri.

Semula sebuah koran Prancis memberitakan benda persegi bertekstur kenyal ini diangkut kapal Titanic. Williams lalu memeriksa manifes kapal Titanic dan menemukan bahwa kapal tersebut pernah membawa benda seperti karet.

“Spekulasi pun berkembang setelah berita ini tersiar,” ujar Williams seperti dilansir bbc.com

Setahun setelah menemukan benda tersebut, Williams mendapatkan informasi baru bahwa blok bertuliskan “TJIPETIR” itu dulunya diangkut kapal Miyazaki Maru milik Jepang yang ditenggelamkan kapal selam U-88, milik Jerman yang dipimpin Kapten Walther Schwirger pada 31 Mei 1917.

Miyazaki Maru karam 241 kilometer sebelah barat Kepulauan Scilly, antara Inggris dan Perancis. Temuan Williams ini diperkuat informasi dari Alison Kentuck, pejabat Inggris yang menangani kapal karam di perairan Inggris.


Mengenal Gutta-percha

Benda persegi kenyal atau blok betuliskan “TJIPETIR” itu terbuat dari getah gutta-percha (Palaquium gutta). Getah ini sempat menjadi komoditas yang menguntungkan karena diburu banyak negara saat Perang Dunia II. Menurut catatan jurnalasia.com, getah gutta-percha bagus untuk bahan insulasi kabel dasar laut, pelapis bola golf, campuran gips untuk pembalut tulang, perawatan gigi, pembuatan gigi palsu, dan untuk bahan pembuatan perlengkapan rumah.

Gutta-percha adalah tanaman tropika yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara sampai Australia Utara. Dari Taiwan Utara sampai Kepulauan Solomon Selatan. Di beberapa tempat, gutta-percha punya sejumlah nama lain, seperti Getah Merah, Isonandra Gutta, Gutta Soh, Gutta Seak, dan Red Makassar.

Gutta-perca diperoleh dengan cara ekstraksi daun dan penyadapan pohon. Tanaman ini secara ilmiah termasuk Kerajaan Plantae, Ordo Ericale, Family Sapotaceae, dan Genus Palaquium Blanco. Ketinggiannya sekitar 5-30 meter, berdiameter lebih dari 1 meter. Gutta-percha berdaun rimbun berwarna hijau kekuningan. Bunganya berwarna putih kecil-kecil dalam satu kuntum. Sementara buahnya berukuran 3-7 cm yang berisi 1-4 biji.

Pada suhu biasa, gutta-percha adalah benda keras. Namun jika dipanaskan pada suhu 65 derajat celcius, benda ini akan melunak dan dapat dikepal-kepal tangan untuk dibentuk sesuka hati.

Tanaman ini pertama kali diperkenalkan ke Eropa pada 1843 oleh William Montgomey, dan mulai masuk pasaran dunia pada 1856. Sampai 1896, gutta-percha yang digunakan untuk insulasi kabel dasar laut mencapai 16.000 ton yang terentang sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan pantai barat Afrika.



Gutta-percha di Tjipetir

Karena kebutuhan pasar dunia tinggi, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai melakukan penelitian gutta-percha di Perkebunan Cipetir, Sukabumi, pada 1885. Salah satu tindakannya adalah menanam beberapa varietas pohon gutta-percha untuk diseleksi.

Di laman 
PTPN VIII dijelaskan bahwa mulai 1901 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta Percha Cipetir. Dalam rentang lima tahun sampai 1906, terjadi penambahan luas lahan tanaman produksi menjadi 1000 hektar. Tahun 1919 luas lahan ditambah lagi 250 hektar. Saat itu total area gutta-percha di Perkebunan Cipetir seluas 1.322 hektar.

Pabrik pengolahan gutta-percha Cipetir mulai dibangun tahun 1914. Namun selama tujuh tahun pembangunan tersebut mangkrak. Baru pada 1921 pembangunan pabrik tersebut dapat dirampungkan oleh H. Van Lennep, Administratur Perkebunan Cipetir.

Tedi Tarunawijaya, yang pada 2011 menjabat sebagai Administratur Perkebunan Sukamaju, menjelaskan bahwa untuk membuat gutta-percha dibutuhkan daun dan ranting kecil pohon tersebut.

“Penggilingan daun dan ranting membutuhkan dua batu bulat besar menyerupai ban dengan berat masing-masing sekitar empat ton. Batu itu adalah batu granit yang didatangkan dari Italia. Saat ini, terdapat delapan batu yang tersimpan di pabrik Cipetir, dan yang berfungsi hanya tinggal empat batu. Tanpa bantuan batu tersebut, gutta-percha tidak bisa diproses,” 
ujar Tedi.

Tedi menambahkan bahwa saat batu-batu tersebut dikirim ke Cipetir, yang terangkut lancar hanya tujuh batu. Sementara satu batu lagi membutuhkan waktu lama. Kuda yang mengangkut batu terakhir ngadat, dan mau berjalan hanya jika disajikan tarian ronggeng. Kalau tarian ronggeng berhenti, kuda pun ikut berhenti bekerja.

“Karena itu batu terakhir ini sering disebut Si Ronggeng,” tambahnya.


Cipetir Kiwari

15 Februari 2015, Republika menurunkan laporan perjalanan mengunjungi pabrik Cipetir yang berada di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi. 600 meter jelang pabrik, jalanannya berbatu. Sebuah bangunan besar berdiri di tengah-tengah komplek pabrik yang terbuat dari seng yang kondisinya sudah berkarat.

Total bangunan yang ada di komplek pabrik berjumlah enam, dan terdapat dua lapangan sepakbola. Meski tampak sepi, tapi proses produksi tetap berjalan.

Budi Prayudi, penanggung jawab sekaligus mandor pabrik, menjelaskan bahwa gutta-percha menyimpan banyak getah yang dapat diolah menjadi macam-macam benda seperti bola golf, sambungan akar gigi, dan pelapis kabel keras.

Ia menambahkan bahwa dulu gutta-percha diekspor untuk keperluan medis karena di Eropa sedang banyak terjadi perang.

“Saat dikirim ke sana, kapal pengangkutnya mengalami karam, imbasnya benda-benda ini mengapung tak karuan selama lebih dari seratus tahun,” ujarnya. (irf)

26 June 2021

Digorok Gerombolan: Kesaksian Penyintas Kekejaman DI/TII di Bandung

Éméh masih ingat dengan baik peristiwa itu. Suatu hari pada 1958, pasukan DI/TII menghabisi beberapa anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI dengan kata “tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.

Setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi ke balai desa. Malam adalah saat-saat tak aman, sebab gerombolan selalu datang menyatroni kampung. Sebelum meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan nasi dalam bakul untuk gerombolan. Mereka bukan mendukung gerombolan, melainkan agar rumahnya tidak dirusak atau dibakar.

Sangu disimpen di dapur, panto dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak atanapi dirérab (Nasi disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak atau dibakar),” ujarnya.

Ia biasanya meninggalkan rumah setelah asar. Namun hari itu agak terlambat. Ia baru pergi menjelang magrib, saat gelap mulai membayang. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah, terdengar rentetan senjata. Ia langsung tiarap.

Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke jalan raya, ke sumber kegaduhan. Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani melihat lama. Pelan-pelan ia bangun dan segera pergi ke balai desa.

Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi kurang lebih dua meter oleh Yonif 304 Kodam Siliwangi, bertuliskan:

“Di sini gugurnya

Letda Karim

Serda Makmur

Praka Sa’ari

Praka Kardi

Praka Sidik

Akibat keganasan DI/TII

Thn. 1958”

Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban, Desa Cipedes, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh. Saat itu Desa Cipedes memang salah satu daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk gerombolan, juga menjalankan rutinitas harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali ke rumah.

Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras di balai desa yang dibagikan oleh kulisi (pegawai desa yang bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk dirinya, melainkan untuk gerombolan DI/TII.

Tong poho asakan éta beas, améh imah teu diduruk (Jangan lupa, masak berasnya, agar rumah [kalian] tidak dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga, seperti disampaikan Éméh.

Situasi di balai desa cukup aman, sebab dijaga kulisi dan beberapa orang anggota Organisasi Keamaan Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas menjaga keamanan. Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.

Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén lahir pada 1924, sementara istrinya tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya, catatan itu keliru, sebab usia kedua orang tuanya tidak terlalu berjauhan.

Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa lembar foto yang diperlihatkan anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah berseragam militer dengan logo Kodam Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi keriput.

Nu di imah mah da sok mimilu Létnan Karim (yang di rumah suka ikut Letnan Karim),” kata Éméh.

“Yang di rumah” maksudnya adalah suaminya, Émén. Ia tak pernah memanggil nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan seorang istri kepada suami. Hal itu, menurutnya, lantaran hubungan ia dan suaminya “teu hadé” alias tidak baik.

Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta mah (Persoalan itu tidak usah disampaikan, Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja membicarakan hubungan tersebut.

Saat saya temui, Éméh tengah berada di dapur dekat perapian. Oleh anaknya ia dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia sofa. Jalannya agak membungkuk, pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Saya harus setengah berteriak setiap kali melontarkan pertanyaan.

Agak risi sebenarnya, sebab pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu takut mengganggu para tetangganya yang barangkali tengah tidur siang atau membangunkan bayi. Dan benar saja, tak lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.

Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar, pandangan Éméh selalu menerawang. Karena pendengarannya sudah tidak terlalu prima, saya mesti mengulangi beberapa pertanyaan sampai dua atau tiga kali. Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya, mata Éméh hidup kembali, dan ia mulai bercerita.

Sekali waktu, ia terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya dihajar popor bedil sebanyak tiga kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah sadar, ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis ditendangi. Setelah masak, nasi segera ia suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.

Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya, bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada lagi di rumah),” ujarnya.

Dalam ingatannya, sejumlah ustaz dan kiai kampung ikut dalam gerakan pemberontakan tersebut. Ia menyebutnya ada empat orang, tapi hanya satu nama yang ia ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.

Menurutnya, waktu kecil ia belajar mengaji kepada Mama Bustomi. Namun, ia kaget, saat DI/TII mengganas, ia melihat guru ngajinya itu ikut bersama pasukan yang ia sebut “gerombolan”.

Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot, ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak tahu di mana Mama sekarang, pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.

Belakangan, jauh setelah pemberontakan DI/TII berakhir, anaknya berusaha mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi Legiun Veteran, agar mendapatkan tunjungan. Namun sampai hari ini ia, yang mengajukannya lewat calo, tak kunjung mendapatkan kabar gembira. Bahkan setelah dana sebesar tiga juta lebih ia berikan kepada orang yang mengurus pengajuan tersebut.

Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “Emak mah teu boga nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu diangkat nepi anyeuna (Emak tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara dalam penumpasan DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’ tak diangkat sampai sekarang),” ucapnya.


Mencari Kisah di Ciwangi

Dari rumah Éméh di Desa Cipedes, saya menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa Cipaku. Barangkali mereka mempunyai secuplik catatan tentang peristiwa penumpasan DI/TII di wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih menyarankan saya agar menemui para orang tua yang masih tersisa yang mengalami peristiwa tersebut.

Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu yang dibuat Kodam Siliwangi. Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya dalam menjaga keamanan.

Dua tahun lalu, saya bersama Komunitas Aleut (komunitas sejarah di Kota Bandung) pernah menyambangi tugu tersebut dan bertemu dengan Omay—mantan dalang wayang golek dan wayang orang—saat mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku. Waktu itu Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di Kampung Ciwangi.

Namun, saya tak segera mencari dan menemuinya dengan pertimbangan bahwa orang tersebut tidak akan terlalu sulit dicari, karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat.

Prajurit jaga Koramil Paseh lantas memanggil seorang juru parkir untuk menunjukkan sejumlah rumah orang tua yang mengalami zaman gerombolan. Barangkali karena tengah sibuk, juru parkir itu hanya menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.

“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh dari pabrik. Akang terus saja jalan ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.

Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya saya menemukan rumah yang dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah tampak sepi. Berkali-kali saya permisi, tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah Iwing sedang pergi ke majelis taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.

Saya akhirnya pergi ke sebuah warung yang di depannya terdapat beberapa tukang ojek, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di antara mereka mengatakan, saya bisa menemui Haji Omon yang rumahnya dekat pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.


Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya

Dari jalan raya, jalan menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, tahi kuda berceceran. Saat menemui saya, Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan kopiah putih, barangkali habis salat zuhur.

Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu baik. Ia mengaku kelahiran 1941. Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak kampungnya agak ke atas, yang jika terus disusuri ke atas akan bersambung dengan Kabupaten Garut.

Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah perkampungan, usianya belum dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah “dikunjungi” gerombolan sebanyak empat kali.

Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan ukur bisa cicing (Empat kali [gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka] mencari makanan. Bapak dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.

Saat situasi semakin genting, ia dan orang tuanya mengungsi ke Majalaya. Kakaknya adalah salah seorang anggota OKD—ia menyebutnya hansip—yang diincar gerombolan karena nyalinya besar. Menurutnya, para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-orang pemberani yang selalu ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.

Namun, karena hal itulah mereka juga menjadi incaran utama untuk dibunuh. Sial menimpa Onda, teman kakaknya sesama anggota OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat warga menemukan jenazahnya, luka besar menganga tampak pada bagian lehernya.

Dipeuncit gorombolan (Digorok gerombolan),” ujarnya.

Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam) di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet, saat kekuatan DI/TII semakin lemah. Setiap dua puluh meter, pos-pos penjagaan berupa pondok didirikan. Setiap pos diisi lima orang yang bersenjatakan golok.

Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi eundeur (Banyak sekali yang ikut [operasi] Pagar Betis, [Gunung] Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.

Rakyat bergantian menjaga pos. Omon kebagian tiga hari. Saat ikut berjaga, rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur. Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya mulai terbatas dan kelaparan mulai mengganas, satu-persatu turun dari gunung lalu menyerahkan diri.

Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa berderai-derai: saat berjaga dirinya enak makan dan enak tidur.

Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan saat menceritakan pembakaran kampung-kampung yang dilakukan gerombolan, seperti Kampung Cijengkol dan Kampung Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.


Markas Tentara dan Makam Keramat

Sebelum pamit, Omon menyarankan saya untuk menemui Dalang Omay karena katanya mereka seangkatan, sama-sama kelahiran 1941.

Tak lama mencari, akhirnya saya dapat menemukan rumah Omay. Kini seluruh rambutnya telah memutih. Namun, pendengarannya masih sangat baik. Dan barangkali karena ia telah puluhan tahun mendalang, kisah yang dituturkannya pun mengalir lancar.

Menurut Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan tak pernah pindah dari kampung halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil Paseh, tempat yang dulu menjadi markas salah satu kompi dalam usaha pemadaman pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin Letda Karim, tentara yang tewas disergap gerombolan di Desa Cipedes.

Omay menuturkan, berbeda dengan komandan-komandan kompi yang lain, yang membuat rakyat menjaga jarak karena merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi yang disegani sekaligus dekat dengan rakyat.

Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa yang disampaikan Éméh tentang suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda Karim.

Letnan Karim memang caket pisan sareng rahayat (Letnan Karim memang sangat dekat dengan rakyat),” ujarnya.

Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim beserta beberapa anggotanya, menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab ia masih ditakdirkan hidup sampai sekarang.

Sekali waktu, saat ia bersiap pergi ke Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk mendalang dalam pertunjukan wayang orang, Letda Karim mengajaknya berpatroli ke Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang jauh-jauh hari telah ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung jentaka itu.

Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena menjadi markas tentara, juga karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal sampai akhir pemberontakan DI/TII tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.

Percanten teu percanten, tapi sigana makom éta gé nu janten sabab gorombolan teu tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi penyebab gerombolan tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya.

Ia menyaksikan dua peristiwa berdarah yang menimpa gerombolan yang berhasil ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar lima sampai enam gerombolan ditangkap dan tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya. Lubang kuburan telah tersedia. Di tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung masuk ke lubang kuburan.

Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan. Dua gedung sekolah dasar di Cipaku saat itu dijadikan tempat untuk mengurung dua puluh satu gerombolan yang tertangkap. Sekali waktu, saat kompi dipecah ke dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara yang berada di markas tidak terlalu besar.

Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan oleh teriakan-teriakan dari kejauhan, tanda gerombolan hendak menyerbu markas. Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil menembus markas dan meloloskan para tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang menyerbu, tentara terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri darah. Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.

Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan mayit ka kuburan (Saya dan warga lainnya bahu-membahu membawa mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.

Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan yang pura-pura mati berusaha meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar batu oleh seorang warga yang bernama Sadma—terkenal bernyali besar—hingga tewas.

Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para tahanan yang tewas itu digali tak terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga akhirnya membuat lubang baru yang dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.

Sebagai seorang dalang, saat pemberontakan DI/TII berkecamuk, Omay pernah berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah mendalang di sebuah kampung yang ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan kompi markas tentara di Kecamatan Ibun menganggapnya sebagai bagian dari gerombolan.

Beruntung, saat ia menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor Halim dari Kompi Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari gerombolan sehingga ia akhirnya selamat.

Meski kampungnya dijadikan markas tentara, tapi hari-hari genting tak pernah absen. Tutur kata amat dijaga, sebab gerombolan kerap menyamar menjadi pedagang, atau bahkan warga kampung sendiri bagian dari gerombolan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang hari beraktivitas seperti biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke pergunungan bergabung dengan gerombolan.

Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa Sindangsari datang ke kampungnya untuk suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat belanja ke warung ibunya dan dengan penuh kesal berkata bahwa gerombolan harus ditumpas.

Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di diserang gorombolan (Esoknya, ia—Kepala Desa Sindangsari—meninggal. Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang kawannya yang bernama Démé, yang penah menjadi “camat gerombolan”—pimpinan yang disegani di kalangan pasukan DI/TII—menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia diampuni dan kembali ke masyarakat seperti sedia kala.

Démé telah meninggal tiga tahun lalu. Saat ia masih hidup, Omay suka menggodanya dengan memanggilnya “camat”.

Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman baheula, nu enggeus mah enggeus wé (Ah, jangan memanggil camat, itu zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé seperti diceritakan Omay.


Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam

Dalam sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon, dan Omay kisahkan sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.

Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang disusun Tempo, terdapat sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang bernama Cipaku—yang membuat pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit.

“Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak,” tulis Tempo.

Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam Siliwangi—dulu Divisi Siliwangi—terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari 13.129 personel dengan perlengkapan 3.000 senjata api, termasuk bren dan mortir.

Kekuatan tersebut paling besar berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa Barat bukan berarti tak kuat.

Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor pun terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga membuat daerah-daerah tersebut tidak aman.

“Di sebelah timur Bandung, Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya. (irf)


Tayang pertama kali di Tirto.id pada 8 Maret 2019

23 June 2021

Ua Haji Dulhamid (1): Ronggéng Sajajagat


Pada tahun 1980-an, majalah Manglé pernah membuat angket. Hasilnya, Ahmad Bakri terpilih sebagai pengarang favorit. Salah satu karyanya yang pernah dimuat di majalah tersebut adalah serial Ua Haji Dulhamid.

Tulisan-tulisan tentang Ua Haji Dulhamid itu kemudian diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama menjadi 5 jilid: (1) Ronggéng Sajajagat, (2) Leumpeuh Yuni, (3) Cobék Belut, (4) Cécéndét Mandé Kiara, (5) Jaman Cacing Dua Saduit. Tiap judul diambil dari salah satu cerita yang dimuat dalam buku bersangkutan.

Jilid pertama terdiri dari 10 cerita, atau lebih tepatnya 10 obrolan Ua Haji Dulhamid dengan orang-orang di sekitarnya.

“Wa Haji téh ngaran lengkepna mah Haji Abdul Hamid. Atmaja méméh ka Mekah mah. Ngaran-budakna mah Duyéh, nénéhna tina Abdullah,” tulis Ahmad Bakri.

Siapa dia sebenarnya? Beliau adalah warga biasa yang gemar berkisah. Cerita-ceritanya bersumber dari pengalaman hidupnya sendiri. Pengalamannya sangat kaya, apalagi dia pernah menjalani hidup sesuka hati, maklum anak orang kaya. Simak bagaimana Ahmad Bakri menggambarkan masa kecil Wa Haji:

“Bubuhan anak nu beunghar bari jeung nunggal, diogo diengkeun-engkeun ti lelembut, pagegedé mesat kana bangor, sagala merekedeweng mawa karep sorangan. Harakna deuih udubilah. Babaturanana sapantar pada gigis, da sautak-saeutik téh kana pigeluteun waé. Cék pantun téa mah bedegul budi aduan bosongot budi amprotan, budak ludeung ku paneunggeul, budak daék ku pangadék.”

Menginjak usia dewasa, kelakuannya kian menjadi-jadi. Gemar “bermalam” bersama perempuan cantik nan bahenol dan doyan bermain judi:   

“Nincak kana bubujangan beuki angot, sagala daék sagala osok, di mana nu geulis meuting, di mana nu dénok mondok bari jeung resep maén, sintir cekén teu kalarung. Cacak mun teu kaburu kakenyed kadalina mah ku kolot-kolotna, kumaha boa pakokolotna. Cék paribasana diyasinkeun ditahajudkeun bisana lilir téh,” imbuh Ahmad Bakri.

Namun sekali lagi, pengalamannya itulah yang menjadi mata air tak habis-habis, bahan cerita melimpah, cermin bagi orang-orang yang gemar mendengarkannya:

“Tapi pengalaman babangoran keur ngora téh jadi eunteung dina nindak umah-umah, jadi luang pakokolot. Meujeuhna rék disebut genténg-kadék legok-tapak téh, da sagala lain béja, kaalaman-karandapan ku sorangan,” tulis Ahmad Bakri.


Jiwa Pendidik Tak Pernah Luntur

“Ronggéng Sajajagat” merupakan obrolan ke-3 dalam buku ini. Lewat Ua Haji, Ahmad Bakri mengungkapkan kritiknya terhadap banjet, kesenian daerah yang kiwari dinormalisasi. Padahal menurutnya, berdasarkan pengalamannya sewaktu muda, kesenian itu—yang para penarinya disebut ronggeng—berakar dari tradisi lucah yang menyeret para pelakunya ke jurang kehinaan.

Para ronggeng, imbuh Ua Haji, setelah pagelaran usai biasa tidur bersama para laki-laki yang ikut nari bersamanya, yang tentu saja mampu membayarnya. Ua Haji pun mengaku bahwa dia pernah tidur bersama seorang ronggeng yang bernama Anis. 

“Ua gé ari bubaran nu mamarung téh sok tuluy milu ka tempatna, ngendong di si Anis, balik-balik isuk wéh. Lalakon ma’siat wungkul cék anyeuna mah geus éling. Tapi harita mah digambreng ku indung ku bapa téh asa bener aing salah nu ngagambréng, teu ngingetkeun kana karesep nu ngora. Kitu cék pikiran harita mah…,” ungkapnya.

Kiwari, ia melihat sejumlah anak perawan tampil menari dalam acara peresmian kantor Balai Desa. Gerakan-gerakan tarian itu, juga lagu serta musiknya, menurutnya sama persis dengan banjet. Beberapa orang pendengarnya mengatakan bahwa tarian tersebut adalah jaipongan.

“Igel kitu nu baheula disebut banjét, dogér atawa longsér téa, nu dibara’idkeun diangirmandikeun téa. [Kiwari] di papaésan ku basa kesenian jadi logor ka pendopo ogé tuluy nerekab. Barudak sakola, ibu-ibu guru, istri-istri para pajabat béjana réa nu sok ngersakeun ngabaranjét. Nyao kilang kitu gé. Cék nu ngaromong waé. Malah kungsi diaménkeun ka luar nagri sagala rupa cenah…,” ungkap Ua Haji.

Nah, karena konon tarian ini pernah ditampilkan di luar negeri, maka seorang pendengar ceritanya berkata bahwa sekarang sedunia telah menjadi ronggeng atau ronggeng sajajagat.     

“Heueuh… Ngan moal daraékeun ari disebut ronggéng mah. Naon geuning disebutna anyeuna mah… Seniwati, lain?” tanya Ua Haji. Jawabannya juga mengandung kesinisan Ahmad Bakri terhadap kesenian tradisional yang berakar dari masa lalu, yang secara moral baheula tidak sesuai dengan kebanyakan masyarakat.

Berdekatan dengan “Ronggéng Sajajagat”, yakni obrolan ke-4: berjudul “Rampog Kawasén”. Isi obrolan ini sangat relevan dengan kondisi kiwari di Indonesia, yaitu korupsi yang dilakukan para pejabat negara. Ahmad Bakri menyampaikannya dengan metafora tempat lokal.

Kawasén adalah nama sebuah desa di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Pembentukan kata “kawasén” barangkali dari kata “kakawasaan (kekuasaan)”. Hal ini bisa dibandingkan dengan kata “pasantren” yang terbentuk dari kata “pasantrian”, atau “pasékon” dari kata “pasikuan”.

Ua Haji menyebutkan bahwa Kawasén dahulu adalah sebuah negara, tempat para menak tinggal. Artinya, tempat kekuasaan bersemayam.

Sedangkan “rampog” dalam bahasa Indonesia berarti “rampok/perampok”. Maka “Rampog Kawasén” adalah perampok dari Kawasen, atau kiwari bisa diartikan sebagai perampok yang menggunakan kekuasaannya alias para pejabat.

“Jaga cenah, geus deukeut kana kiamah baris aya rampog Kawasén, datangna ti Panulisan. Galakna kabina-bina. Ngagalaksak sakuliah jagat. Ti nu gedé nyomot, ti nu leutik nyiwit, huap kolot disoro, huap budak diasaan sabéakna.”

Dari mana datangnya para perampok itu? Dari Panulisan. Artinya bukan datang dari Kampung Panulisan, tapi merampok lewat tulisan. Merampok dengan cara menilap atau menggelapkan.

“Ngarugal-rigel tulisan, ngarugal-rigel angka dina buku! Sapuluh juta ditulis saratus juta, nu salapan puluh juta nyao los ka mendi… Kana saku nu ngarugal-rigel meureun. Lain ngarampog ari kitu?” ungkap Ua Haji.

Dua obrolan Ua Haji Dulhamid di atas jelas memperlihatkan bagaimana Ahmad Bakri memunculkan jiwanya sebagai pendidik. Soal ronggeng masih bisa diperdebatkan, kita boleh saja menganggap Ahmad Bakri terlalu moralis. Tapi perkara korupsi yang dilakukan para pejabat, saya kira kita bisa bersepakat.

Seturut catatan Ajip Rosidi dalam pengantarnya di buku ini, nasihat-nasihat yang disampaikan Ahmad Bakri sebetulnya adalah nasihat-nasihat yang sudah basi karena telah sering disampaikan oleh para orang tua. Namun, karena dia menyampaikannya lewat obrolan Ua Haji Dulhamid dan teman-teman bicaranya, maka nasihat-nasihat itu tak terasa alias disampaikan secara halus dan mengalir.   

“Nya katapis ngadongeng jeung kaparigelan nyarita jadi salah sahiji kapunjul Ahmad Bakri dibandingkeun jeung para pangarang Sunda lainna,” imbuh Ajip Rosidi.

Pantas saja Ahmad Bakri pernah terpilih sebagai pengarang favorit! (irf)

22 June 2021

Menjadi Pengantin lewat Kematian


Sejauh saya membaca karya-karya fiksi berbahasa Sunda, sangat jarang yang mengangkat tema krisis kejiwaan kaum remaja. Dan sekali ini saya menemukan tema itu yang ditulis oleh Deden Abdul Aziz setebal 56 halaman. Buku tipis ini saya beli di “toko buku” Laris di Pasar Dayeuhkolot, Kab. Bandung.

Kenapa toko buku saya kasih tanda kutip? Sebab sebetulnya hanya toko ATK. Sejumlah novel remaja dan beberapa roman berbahasa Sunda, yang semuanya tipis-tipis, sangat sedikit.

Pangantén (pengantin) terbit pertama kali tahun 2003. Latar kisah di Kota Bandung. Gaya penulisan dan pemilihan kosakata disesuaikan dengan bahasa pergaulan kontemporer. Mak tak heran cerita ini banyak memakai bahasa Sunda sehari-hari atau bahasa Sunda loma, bahkan menjurus kasar. Juga banyak disisipi bahasa Inggris sebagai penekanan bahwa lakon ini adalah tentang remaja.

Adalah Rinrin, tokoh utama yang hidup berdua dengan ibunya yang ia panggil Emih. Hubungan keduanya cenderung bebas dan demokratis. Ibu-anak ini sama-sama perokok dan sesekali menenggak minuman beralkohol. Tak saling mengganggu privasi masing-masing. Meski Rinrin jarang pulang, Emih tak ambil pusing. Baginya, anak perempuannya itu sudah dewasa, sudah dapat menentukan pilihannya sendiri.

Namun relasi mereka tak berarti kering. Keduanya kerap terlibat dalam obrolan intim dan lama, sembari merokok dan minum martini. Sekali waktu, Rinrin mengutarakan keinginannya pada Emih: ingin menikah.

“Sama siapa?”

“Sudah ada pasangannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu dijawab oleh Rinrin. Keinginan Rinrin memang sejatinya tidak berangkat dari landasan sederhana, ihwal pernikahan biasa. Namun berpangkal dari krisis kejiwaannya yang rumit.

Ia perempuan tomboi, atau setidaknya lebih sering bergaul dengan laki-laki daripada dengan perempuan. Rinrin muak dengan lingkungan pertemanan perempuan yang menurutnya: “babarengan jeung batur papada awéwé leuwih pikacuaeun, sarébu kali pikageuleuheun.”       

Sebaliknya, meski banyak bergaul dengan laki-laki, sebetulnya dia juga menyimpan kebencian yang sama. Simak pengakuannya, “Naon anu pangdipikasieunna ku awéwé, mahluk nu mémang sabenerna, kanyatanana lemes, lemah? Ngadéngé omongan nu sugal garihal, ningali batur nu sasama awéwé deui diobrolkeun bari dijejeléh, ngadéngé lalaki tingsaruit atawa ngahéotan awéwé bari tingcakakak teu uni. Cua. Ngéwa, jero-jerona mah, teu rido.”

Di tengah situasi perang batin seperti itulah Rinrin jatuh cinta pada Gumilang yang ia panggil Iyang, kawannya. Sejumlah alasan ia kemukakan kenapa suka kepada kawannya itu. Intinya, menurut dia, laki-laki lebih sportif, simple, dan tak suka banyak bacot. Contohnya dalam memperlakukan sesama jenisnya yang doyan gibah.

“Lalaki mah tara ngumbar kagoréngan baturna, sanajan éta kagoréngan téh nampeu. Lamun aya lalaki nu boga biwir siga awéwé, resep nyaritakeun kagoréngan batur, tong nungguan sapoé dua poé, harita kénéh gé pasti dijarauhan. Lalaki mah umumna tara loba unak-anik. Simple,” ungkapnya.

Sebagaimana dirinya, Iyang juga ternyata mengalami krisis kejiwaan. Ujungnya dia tewas overdosis di Cipanas, setelah sebelumnya mengatakan bahwa dia ingin menikah.  

Sepeninggal Iyang, Rinrin semakin jarang pulang. Ia lebih sering tinggal di kontrakan kawan laki-lakinya, Ben, yang juga kawan Iyang. Atau di parténon di Jalan Solontongan—tongkrongan tempat ia dan kawan-kawan laki-lakinya menghabiskan waktu.

Namun, belakangan tongkrongan itu hanya kerap disinggahi oleh Rinrin dan Suminar—perempuan baru dalam lingkungan laki-laki. Mula-mula hubungan keduanya dingin. Rinrin merasa terganggu, merasa ruang privasinya dijarah orang. Seiring waktu, hubungan itu berangsur baik, bahkan keduanya semakin erat dan tenggelam dalam petualangan sebagai pengutil.

Dan lagi-lagi hubungan itu tak berlangsung lama. Suatu hari Suminar curhat kepada Rinrin bahwa dirinya tengah mengandung. Namun ia tak mau menyebutkan siapa yang telah menghamilinya. Yang terjadi kemudian: Suminar meninggal setelah menjalani aborsi. Rinrin semakin terbenam dalam kesepian. Sebelum meninggal, sebagaimana Iyang, Suminar juga mengungkapkan bahwa dirinya akan kawin.

Kisah ini juga dipungkas, lagi-lagi, oleh kematian. Kali ini Rinrin yang ingin menikah dan menjadi “pengantin”.

“Urang maké baju bodas. Makuta keretas. Karémbong sutra kayas. Digantélan roncé malati nyacas. Urang tulus jadi pangantén. Hawar-hawar sora nu ngaderes Yasin. Sora nu sumegruk. Urang didangdanan. Geus kumpul kabéh, gerentes haté! Tinggal hiji. Tinggal hiji deui. Tapi naha Emih dianggoan hideung-hideung? Éh, kapan urang keur dirapalan.”

Selama membaca Pangantén, saya teringat cerita-cerita yang ditulis Haruki Murakami. Cerita-cerita yang juga tentang krisis kejiwaan para remaja di Jepang. Maka setelah menamatkan buku ini, saya membaca kembali Dengarlah Nyanyian Angin. (irf)

20 June 2021

Melancong ke Situ Cileunca di Pangalengan


Sejak Jumat saya cuti. Lima hari, sisa tahun 2020. Ya, di kantor saya cuti tahunan bisa diakumulasi ke tahun berikutnya. Pandemi menggila lagi. Seharian hanya di rumah: baca buku, menulis, dan membersihkan rantai sepeda. Berhari-hari cuaca Bandung terus mendung. Sore hujan deras. Besoknya mendung lagi.

Ahad datang. Saya memanaskan motor. Lalu tancap gas ke selatan, ke Pangalengan. Jalanan sepi. Kabut. Udara sebenar dingin. Kurang dari satu jam sudah sampai di Situ Cileunca, tak jauh dari bundaran Pangalengan.

Warung-warung sepi dan dingin. Sarapan terbaik adalah mie rebus, gorengan, cabe rawit, dan dipungkas oleh Gudang Garam Filter. Tapi saya sudah berhenti merokok. Hanya uap dingin yang berembus dari mulut, seperti di film-film Barat.   

Saya datang ke Situ Cileunca dengan pikiran yang dijauhkan dari soal-soal sejarah. Entah pemberontakan PETA Cileunca, ataupun perahu Belanda yang tenggelam di perairan itu. Hanya sunyi yang mengepung. Namun sesekali ditebas suara motor yang melintas.

Satu dua remaja lari-lari kecil di pinggir situ, mengejar-ngejar sehat alias olah raga. Seorang remaja putri duduk termenung sembari berjemur, tanpa kawan. Tiga bapak-bapak pesepeda gunung melintas. Sepasang kekasih jalan santai sambil membidikkan kamera hp ke banyak sudut.

Empat orang atlet kano sedang berlatih di kejauhan. Sementara “perahu turis” tengah bersandar: pengemudinya sarapan. Dua orang remaja dekil setengah mengendap-ngendap, mencari pojok yang pas buat merokok. Saat asap sigaret mereka mengepul, saya teringat lagi masa-masa jaya ketika merokok pada suhu udara rendah begitu nikmat. Lima tahun lalu, juga di sisi Situ Cileunca.

Pukul delapan pagi sinar mentari nyaris tak terasa. Hangat sedikit, sisanya gigil. Tak jauh sari situ, tepatnya di perkampungan yang terletak di bawah, orang-orang tengah menjemur kopi. Aromanya menguar dan tercium bau masam, barangkali arabika. Dua ekor anjing berkejaran. Masih di bawah, satu dua motor semenjana menggilas jalanan butut.        

Sebuah jembatan panjang membelah situ. Menghubungkan dua kampung, dapat dilalui motor. Temboknya berwarna merah, sementara bilah-bilah yang menyambungkan tembok berwarna putih, bukan besi tapi pipa plastik yang biasa dipakai untuk saluran air. Jelas kurang aman.  

Kiwari, masyarakat semakin tak kreatif. Konon jembatan itu dinamai “jembatan cinta”. Di mana-mana begitu. Tempat wisata dipenuhi tulisan “love”. Kembang dibentuk hati, bambu dibentuk hati, rumput dibentuk hati, kawat dibentuk hati. Alih-alih keren, yang nyata adalah kumuh.

Berkali-kali motor melintas di jembatan itu. Jarak dipangkas, ekonomi lebih cepat berdenyut. Saya kira, jembatan ini lebih cocok dinamai Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Ya, warga tak usah lagi memutar. Antar kampung lebih cepat terhubung.

Sedap sekali berjalan di pinggir Situ Cileunca: sepi, dingin, sedikit hangat, pandangan jauh ke perbukitan dan gunung-gunung. Juga awan, membentuk sedemikian rupa, serupa kapas beterbangan. Ketika mentari kian hangat, saya duduk berlama-lama di tembok, di pinggir situ. Diam. Hanya diam. Melihat kemilau air. Sementara istri meloncat-loncat seperti sedang olah raga. Dia menyebutnya peregangan.

Saat-saat seperti itu seperti sering terjadi delapan tahun lalu, saat saya masih bekerja di Pulogadung. Pagi-pagi membelah Jakarta. Duduk di mikrolet, Homicide di telinga. Macet, copet, klakson, debu, panas, umpatan, semuanya tak menggoyahkan. Saya anteng mendengarkan rima-rima cepat dan pampat.

Di Cileunca yang tenang, tidak ada bebek kayuh. Tak ada pedagang keliling. Tak ada ormas di area parkir. Tak ada sales Jenius. Tak ada bocah dekil penjaja tisu. Juga tak ada pengamen.

Matahari rakus memandikan punggung dengan cahayanya. Saat mulai terasa terik, saya beranjak.

Pandemi kembali menggila. Belasan tetangga terinfeksi. Rumah sakit penuh. Pasar tumpah diliburkan. Saya kembali mengurung diri. (irf)   

33 Tahun Menjadi Bobotoh Belanda

Setiap orang yang menulis kehidupan masa kecilnya harus tahu, menulis masa bocah seolah dirinya keren adalah pekerjaan sia-sia. Menulis masa lalu harus dilihat dari pandangan masa lalu, bukan sebaliknya. Diri kita yang keren saat ini tak bisa diseret ke belakang, kecuali angka-angka.

Tahun 1988 saat itu. Setahun sebelum saya masuk sekolah dasar. Suatu malam, tiba-tiba saja final Piala Eropa telah datang: Uni Soviet vs Belanda. Paman saya (alm) pegang Soviet, sementara kami—saya dan keponakannya yang lain--pegang Belanda. Kesepakatan sederhana: siapa yang timnya kalah, wajib digetok.

Gullit dan Van Basten cetak gol. Kepala paman saya habis. Sejak itulah saya menjadi bobotoh atau pendukung Belanda. Saat Trio Belanda—Marco Van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard—ke AC Milan, klub ini juga jadi favorit saya, bertahun-tahun.

Menjadi bobotoh Belanda tak pernah mudah. Sejak 1988, Belanda tak pernah juara lagi. Kutukan Piala Dunia 1974 dan 1978 selalu datang berulang.

Kita sisir Piala Eropa dulu. Warsa 1992 digelar di Swedia. Saya baru kelas 3 SD. Belanda lolos ke semifinal, namun kalah oleh Denmark dalam drama adu pinalti. Pinalti Marco Van Basten gagal. Tim dari Skandinavia ini sebetulnya hanya cadangan. Mereka menggantikan Yugoslavia yang didera Perang Balkan. Namun mereka akhirnya jadi juara dan dijuluki “dinamit”.

Piala Eropa 1996 digelar di Inggris. Saya kelas 1 SMP. Kala itu ramai istilah “Football’s Coming Home”. Nyatanya Inggris terlalu overrated. Bagaimana dengan Belanda? Tersingkir lagi dalam adu pinalti. Kali ini yang gagal mencetak gol adalah Clarence Seedorf.

Empat tahun kemudian Piala Eropa digelar di dua negara: Belanda dan Belgia. Waktu itu saya telah kelas 2 SMA. Tabloid Bola pernah menulis headline berjudul “No Frontier”, sepak bola tanpa batas. Belanda tampil begitu meyakinkan dan lolos ke semifinal, tapi lagi-lagi kalah dalam adu pinalti. Diganjal Italia dengan skor 1-3, padahal sejak menit ke-34 Italia bermain dengan 10 pemain.

Empat warsa setelahnya, atau setahun sebelum saya lulus kuliah, giliran Portugal jadi tuan rumah Piala Eropa. Di perempat final Belanda mengalahkan Swedia lewat adu pinalti, tumben. Namun di semifinal ditekuk Portugal 2-1. Kali ini yang jadi juara Yunani: sangat mengejutkan.

Piala Eropa 2008—digelar di Austria dan Swiss—adalah salah satu episode yang paling menjengkelkan. Di babak penyisihan, Belanda sangat perkasa. Italia dibantai 3-0, Prancis dilumat 4-1, dan menghajar Rumania 2-0. Namun saat berhadapan dengan Rusia di perempat final, Belanda begitu loyo, diobrak-abrik Arshavin cs hingga kalah 1-3.

Edisi berikutnya Piala Eropa digelar di Polandia dan Ukraina. Apa yang terjadi dengan Belanda pada pesta akbar sepakbola tahun 2012 itu? Sampah belaka. Mereka jadi juru kunci setelah ditekuk Denmark 0-1, dikalahkan Jerman 1-2, dan dipermalukan Portugal 2-1. Angkat kaki lebih awal.

Kemudian tahun 2016 pun datang. Kali ini Piala Eropa digelar di Prancis. Belanda lebih dari sampah. Mereka tak lolos setelah hanya finish di urutan ke-4 dalam kualifikasi. Menang 4 kali, imbang 1 kali, dan kalah 5 kali. Di klasemen akhir berada di atas Kazakhtan dan Latvia, tetapi di bawah Turki, Islandia, dan Ceko. Benar-benar busuk!

 

Piala Dunia Lebih Menyakitkan  

Piala Dunia 1990 yang digelar di Italia menjadi Piala Dunia pertama yang diikuti Belanda sejak saya menjadi penggemarnya. Sebagai juara bertahan Piala Eropa dua tahun sebelumnya, dan diperkuat sejumlah pemain bintang, Belanda tentu saja diunggulkan.

Namun, prestasi yang ditunjukkan sebaliknya. Tiga pertandingan dalam babak penyisihan semuanya berakhir imbang: vs Mesir 1-1, vs Inggris 0-0, dan vs Republik Irlandia 1-1. Untung masih lolos ke perdelapan final gara-gara menjadi salah satu tim peringkat ketiga terbaik.

Di babak ini langsung bertemu Jerman Barat yang akhirnya menjadi juara setelah mengalahkan Argentina 1-0. Maradona menangis. Dalam partai itu Frank Rijkaard meludahi Rudi Voeller.

Piala Dunia berikutnya digelar di Amerika Serikat. Terjadi gegar budaya. Penonton Indonesia yang biasanya menyaksikan sepak bola Eropa pada malam atau dini hari, kali ini harus menontonnya pagi hari. Kala itu saya masih kelas 5 sekolah dasar.

Setelah lolos dari Grup F bersama Arab Saudi dan Belgia, Belanda harus berhadapan dengan Republik Irlandia. Berhasil melewati tim semenjana itu, kemudian Brazil telah menanti. Saat itu Romario dan Bebeto tengah menggila. Setelah Aron Winter berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2 pada menit ke-76, Branco akhirnya membawa Brazil ke semifinal lewat gol dari jarak jauh pada menit ke-81. Belanda pulang.

Saya masuk SMA pada tahun 1998, saat Prancis mendapat giliran menjadi tuan rumah Piala Dunia. Mulai merantau, mulai jauh dari orang tua. Saya lupa, entah di mana saya bisa nonton Piala Dunia, sebab saat itu saya indekos dan tak punya tv.  Induk semang memang punya tv, tapi saya sangat malu untuk ikut menonton sepak bola.

Singkat cerita, Belanda lolos ke perdelapan final lalu menghajar Yugoslavia 2-1. Kemudian membenamkan Argentina di perempat final 2-1 setelah Dennis Bergkamp mencetak gol cantik di menit ke-89. Di semifinal lagi-lagi diadang Brazil dan tersingkir lewat adu pinalti. Phillip Cocu dan Ronald De Boer gagal mencetak gol.

Empat tahun berikutnya Belanda gagal lolos ke Korea Selatan-Jepang. Kalah bersaing di kualifikasi Grup 2 Eropa. Mereka hanya finish di peringkat tiga di bawah Republik Irlandia dan Portugal. Saat itu saya tengah menganggur: sudah lulus SMA tapi tak lolos UMPTN.

Kemudian 2006 datang. Piala Dunia kembali digelar. Jerman menjadi tuan rumah. Saya sudah lulus kuliah dan baru sebulan kerja di sebuah travel di Bandara Sukarno-Hatta. Belanda lolos sih, juga sanggup ke perdelapan final, tapi keburu dihajar Portugal 1-0. Tak istimewa.

Dan saat yang paling menyakitkan pun tiba. 2010 Piala Dunia datang ke Afrika Selatan. Ya, “Waka Waka”, “This Time for Africa”. Saya sudah pindah kerja ke Pulogadung. Di penyisihan grup Belanda sapu bersih: vs Denmark 2-0, vs Jepang 1-0, dan vs Kamerun 2-1. Juara grup.

Slovakia dihajar 2-1 di perdelapan final. Selanjutnya Brazil. Tim yang biasanya mengganjal Belanda itu tak berdaya, ditekuk 2-1 di perempat final. Belanda kian perkasa. Di semifinal giliran Uruguay yang digebuk 3-2. Giovanni Van Bronckhorst cetak gol spektakuler.

Spanyol sudah menunggu di final. Saya nonton di kamar si Jun, kawan indekos yang sehari-hari jualan di ITC Cempaka Mas. Deg-degan sejak menit pertama. Barangkali inilah saatnya menebus kekelahan pada tahun 1974 dan 1978. Arjen Robben berkali-kali mendapat pelung, namun semuanya gagal. Pertandingan dilanjutkan lewat perpanjangan waktu. Dan petaka pun datang pada menit ke-116. Iniesta menjebol gawang Stekelenburg!

Saya tertegun setelah menghamburkan kata anjing.

Besoknya bangun kesiangan. Tiba di kantor hampir pukul 10. Tapi bos tak banyak cincong. Hanya tersenyum. Dia tahu saya bobotoh Belanda.

Empat tahun kemudian di Brazil, dendam terbalaskan. Spanyol dibantai 5-1 di babak penyisihan. Lolos ke perdelapan final sebagai juara grup, Belanda menekuk Meksiko 2-1. Di perempat final ditantang Kosta Rika: menang lewat adu pinalti. Tim Krul tampil cemerlang. Sayang, di semifinal yang lagi-lagi harus diakhiri dengan adu pinalti, Louis Van Gaal tak menurunkan Tim Krul. Dia malah memasang Jasper Cillessen. Belanda pun tersingkir setelah kalah dari Argentina.

Tahun 2018, Belanda mengulang mimpi buruk 2002: kembali tak lolos. Di kualifikasi Grup A zona Eropa, Belanda hanya finish di urutan ke-3. Di bawah Swedia dan Prancis, dan hanya di atas Bulgaria, Luksemburg, dan Belarus.


Piala Eropa 2020 dan Piala Dunia 2022  

Piala Eropa 2020 tengah berlangsung. Ya, gara-gara pandemi, gelaran akbar itu diundur satu tahun. Setelah mengalahkan Ukraina (3-2) dan Austria (2-0), Belanda akan menjalani partai ke-3 besok malam melawan Makedonia Utara. Saya kira tak akan menemui kendala berarti. Belanda telah lolos sebagai juara grup, tinggal menanti lawan berikutnya. Semoga Mola TV tidak terus-terusan menjadi medioker.

Pada kualifikasi Piala Dunia 2022, Belanda sementara berada di urutan ke-2, di bawah Turki. Apakah akan lolos? Saya sih optimis. Tapi kita lihat saja.

Waktu berlalu, masa berganti, generasi berubah. Marco Van Basten, Dennis Bergkamp, dan Robin van Persie telah pensiun. Kini saya menonton generasi Denzel Dumfries, Donyell Malen, dan Matthijs de Ligt.

33 tahun hati saya selalu oranye, dan selamanya. (irf)