Ini keajaiban dunia
nomor delapan. Bahkan mengalahkan Pulau Komodo yang hanya bertahan
sebagai nominasi. Seumur-umur, tak pernah dia datang ke kostanku,
apalagi yang di Bandung. Tapi sore itu, dengan mengenakan celana jeans
hitam, t-shirt putih dan dibalut oleh cardigan hitam, dia datang ke
kostanku, di Bandung. Aku tengah duduk di teras kamar sambil membaca
buku Umar Kayam, waktu dia tiba-tiba datang menghambur dari arah pintu
gerbang. “Haaii…..,” wajahnya ceria sekali, padahal titik-titik hujan
menbasahi cardigannya. Asli, aku kaget bukan buatan.
“Tahu
kostan gw dari siapa lo?”, dia tak menjawab, malah membuka
cardigannya, lalu duduk di sebelahku. Nafasnya terdengar sedikit
memburu, mungkin karena tadi dia berlari. Mukanya sedikit berkeringat,
ini membuatku masuk ke dalam kamar dan membawa segelas air bening.
“Makasih..,” dan dia minum, kerongkongannya terlihat bergerak ketika air
melewatinya. “Gw ikut ke air dong, belum sholat nih,” lalu dia
berdiri. “Tuh, airnya di pojok, tapi gw ga punya mukena Pit,” /
“Gapapa, gw bawa kok.” Lalu dia berwudhu dan masuk ke kamarku. Pintu
kamar di tutup dan aku masih di luar, masih membaca “Para Priyayi”
karya Umar Kayam. Dan hujan masih titik-titk turun.
Tak
lama kepalanya muncul di balik pintu dengan dibalut mukena. Kalau saja
waktu itu sudah malam dan lampu di kostan mati, pasti aku kaget luar
biasa melihat kepala putih di balik pintu itu. “Kiblat ke mana?,” dia
bertanya letak Masjidil Haram. Kujawab, “ke barat”. “Gw juga tahu ke
barat, tapi arahnya ke mana bung??!,” nadanya terdengar semacam
jengkel. Lalu kutunjukkan arahnya, dan dia menutup pintu dari dalam. Tak
terdengar suara takbir, mungkin dia pelan sekali mengucapkannya. Buku
hampir tamat dan sore semakin redup.
Setelah sepuluh
menit (dengan asumsi sholatnya lumayan khusyu, dan ini agak aneh)
terdengar dia memanggil dari dalam, “Bung, masuk dong jangan di luar
mulu!!, jadi ga enak gw.” Nah loh, ini kamar siapa?, kok dia
nyuruh-nyuruh aku masuk segala, pakai teriak lagi. “Ngapain?!”, aku
jawab juga dengan teriak. “Sini deh lihat, bagus ga?,” / “males ah, lo
aja yang ke sini.” Lalu diam, tapi sebentar. Kemudian kepalanya muncul
lagi di balik pintu, dan masih dibalut mukena. “Masuk dong, bentaaar
aja!,” dia sedikit memohon, tapi aku menggelengkan kepala. Di akhirnya
keluar dan menarik tanganku. Aku di seret masuk ke kamar, dan dia
menutup pintu rapat sekali. Edan, ada apa gerangan?, dadaku gemuruh. Aku
mulai bersu’udzon, jangan-jangan dia akan memperlakukanku seperti
kelakuan Zulaikha mendzolimi Nabi Yusuf.
Tapi kemudian dia
kembali duduk di atas sajadah yang tadi dipakainya untuk sholat,
sementara akau duduk di kasur. Sambil membelakangiku, tiba-tiba dia
melepaskan mukena, dan (dadaku benar-benar bergemuruh seperti mau
pecah), dia melepaskan t-shirtnya!!. Aku melihat punggungnya yang
benar-benar putih dan, gila, dia bertato!!. Mukena dan t-shirt dia
pakai untuk menutupi piranti depan. Badanku menjadi panas dan gerah
sekali. Tidak mudah berduaan dengan perempuan dalam kamar yang tertutup
rapat, sementara perempuan itu memperlihatkan punggungnya yang mulus,
putih, dan bersih, meskipun perempuan itu adalah kawan sendiri, meskipun
dia duduk di atas sajadah dan memegang mukena; benda-benda yang
dipakai ketika menjalankan ritual mendekati-Nya. “Bagus ga?!,” dia
santai saja, seperti tidak menyadari keadaanku yang sudah panas dingin
tidak karuan.
“Kok diam aja sih lo?, bagus ga tato gw?!,”
dia bertanya lagi dengan nada yang mulai tinggi.
“Ba..ba..bag…bagus..bagus Pit,” aku tergagap dan sedikit gemetar. Norak
memang, tapi kenyataannya demikian, aku tidak bisa membasuh sedikit
pun bahwa aku adalah laki-laki konservatif. Tatonya bergambar sayap
elang, rapi, tercetak persis di bawah pundaknya, dan terlihat seperti
logo Dewa 19. Dia mungkin terinspirasi oleh iklan bank BNI 46 yang
versi sayap, atau mungkin juga terobsesi untuk terbang, aku tidak tahu.
“Keren kan tato gw?,” dia bertanya lagi yang pertanyaan menggiring,
bahwa aku harus menjawabnya dengan kata, “Iya, keren.”
Aku
masih setengah tidak percaya waktu dia menyuruhku mendekat, “Di lengan
juga masih ada bung. Sini deh lo nya mendekat.” Pelan-pelan aku
mendekat, berdebar, tubuhnya hanya tinggal berjarak satu meter saja,
aroma parfum terasa menampar hidung, dan mulai memperhatikan lengannya
yang sebelah kanan, lengan yang putih itu, sementara lengannya yang
sebelah kiri tetap kukuh menutup piranti depannya dengan mukena dan
t-shirt putih, dia memamerkan tatonya yang bertuliskan : “MIGHTY”.
Lama
aku terdiam, memperhatikan detail tatonya, lalu kembali ke tempat aku
duduk, menjauh dari tubuhnya. “Lo balik kanan dulu bung, gw mau pakai
baju,” kembali dia menyuruhku. “Tadi pas lo buka baju kok ga nyuruh gw
balik kanan?,” aku sedikit protes. “Ga usah banyak tanya, cepetan balik
kanan!!,” suaranya meninggi. Aku mengalah dan akhirnya balik kanan;
mengahadap tembok kamar. Tak lama dia menyuruhku kembali balik kanan,
kembali menghadapnya. Dan langsung kuserang dengan pertanyaan, “Udah
lama lo ditato?,” / “Baru sebulan,” / “Di mana bikinnya,” / “Di tempat
bikin tatolah, masa di toko buku!.”
Aku menuju pintu dan
membukanya, tak nyaman lama-lama berduaan dengan perempuan dalam kamar
yang tertutup rapat, sekuat apa sih imanku?, bahkan sholat pun
kadang-kadang aku lalaikan, aku takut terjadi apa yang terjadi, dan
bukan apa-apa, aku takut digerebek hansip, lagi pula sedari tadi aku
belum menghisap cigarette, asam betul mulut ini rasanya. Kusulut A
Mild, dan asap rerak berhamburan.
Aku menyerang lagi ,
“Emang lo ga tahu kalo tato itu haram?,” / “Hah, apa?, haram?!, kata
siapa?!,” / “Eh Pit, tato permanen alias yang dirajah, yang merekatkan
tinta dengan jarum mesin, seperti yang lo punya itu, tintanya
menghalangi air untuk masuk ke pori-pori, lo kalo wudhu jadi ga sah,
dan sholat lo pun otomatis jadi ga sah juga,” aku kira di akan diam
mendengarkan penjelasanku, tapi ternyata dia langsung menyerang balik.
“Nah ini yang lo belum paham. Hei bung, tidak semua tinta tato seperti
itu, tato gw ga menghalangi pori-pori kok, jadi ga ada masalah donk,”
dia rupanya berkelit dan melakukan pembelaan diri. Aku memang tidak
paham masalah bahan dan dunia per-tato-an, jadi aku terdiam. Tapi
kemudian aku membayangkan cara membuatnya. Tentu tato itu dikerjakan
oleh oranglain, tidak mungkin, sangat tidak mungkin kalau dikerjakan
oleh tangannya sendiri.
“Terus yang bikinnya siapa?,” /
“Ya, tukang bikin tatolah, masa tukang gorengan!,” lihat, dia menjawab
seperti petasan cabe, memukul, reaktif, berloncatan. “Maksud gw, ce apa
co?, / “Cowok donk, mana ada tukang bikin tato ce.” Aku lihat
wajahnya, tak ada sedikit pun garis-garis muka yang menunjukkan bahwa
dia adalah seorang perempuan yang pasrah. Pasrah punggungnya
digerayangi tukang bikin tato, pasrah waktu lengan kanannya
dipegang-pegang oleh ahli bikin tato. “Waktu bikinnya lo ga risih
Pit?,” / “Maksud lo?!,” / “Punggung sama lengan lo dipegang-pegang sama
tukang bikin tato emang ga risih?,” dia diam sebentar, lalu menjawab,
“Risih juga sih, sedikit.”
Tak lama adzan maghrib
berkumandang, aku pergi ke mengambil wudhu, dan dia meengikuti. “Lo mau
sholat di mana?,” / “Di mesjid,” / “Di sini aja donk, kita berjamaah,
lo jadi imam ya,” / “Engga, gw ga mau jadi imam orang bertato!!,” /
“Emang kenapa sih kalo gw punya tato?, itu kan urusan gw, tugas lo cuma
jadi imam, lo kan cowok, masa gw yang jadi imam?!!.” Tapi aku tidak
peduli dengan argumennya, aku menyambar sarung dan peci putih, lalu
pergi ke mesjid.
Dia masih di kamar, sedang
mengacak-ngacak rak buku waktu aku kembali dari mesjid. Dia tak banyak
cakap, diam, tak ada dialog. Mungkin dia marah. Buku-buku sudah banyak
yang tergeletak di lantai, dan dia masih asyik mengacak-ngacak. Aku
diam saja dan pergi ke teras kamar, membakar cigarette, hujan telah
pergi, hanya jejaknya saja di tanah yang berlumpur. Tak lama dia muncul
dari balik pintu, tangannya penuh oleh buku; lima buka dan diantaranya
luamyan tebal. “Gw pinjem ya?”, aku tak percaya dengan ucapannya, yang
ku tahu, dia bukan seorang yang berminat pada buku. Mungkin lebih
cenderung kepada tato.
“Buku apa aja?, sini gw lihat
dulu,” aku tambah kaget. Gila, perempuan bertato ini, yang kutahu tak
pernah berminat sedikitpun pada buku, tiba-tiba mau pinjam lima buku
yang semuanya adalah buku tentang agama dengan ketebalan yang cukup
signifikan : Dialog Sunnah-Syi’ah (Syarafuddin Al-Musawi), Ma’alim Fi
Ath-Thariq (Sayyid Quthb), Majmu’ah Rasail (Hasan Al-Banna), Menjadi
Manusia Haji (Ali Syariati), dan Minhajul Muslim (Abu Bakar Jabir
Al-Jaza’iri). Wah, dalam rentang beberapa jam saja, perempuan ini sudah
membuat dua kejutan : Tato dan Buku!!.
“Ga salah nih?,
lo kan ga suka buka?,” / “Buat bokap.” / “Oohh….” / “Gw balik dulu ya,
udah malem nih,” / “Balik ke mana?, rumah lo kan di Jakarta, di Kelapa
Gading, besok aja, jam segini udah ga ada bis!”. Tapi dia tidak peduli
dengan ucapanku, dia telah berkemas. Tasku menjadi korban untuk membawa
buku yang dipinjamnya. Dia memang keras kepala. Langit telah gelap.
“Gw jalan dulu, makasih ya, Assalamu’alaikum!,” dan dia menghilang di
belokan. Dasar keras kepala. Aku masuk ke kamar dan menemukan
cardigannya tertinggal. Aku menghambur ke luar dan berusaha
mengejarnya, tapi jalanan sehabis hujan adalah tempat yang licin. Aku
tergelincir dan jatuh menghantam bumi. Dan tiba-tiba aku tersadar, aku
menemukan diriku tengah memegang kepala yang sakit karena membentur
tembok kamar. Aku masih terbaring di atas tempat tidur. [ ]
16/03/2011 - [ A Curious Dream ]