14 May 2012

Selamat Membawa Api


Mari sejenak kita pura-pura lupa betapa buruknya pelayanan haji yang dilakukan Departemen Agama yang punya motto sangat bagus : “Ikhlas Beramal”. Redakan dulu protes kita tentang tragedi kelaparan, calon jemaah haji yang gagal berangkat, sampai korupsi yang konon tumbuh subur di departemen yang mestinya menjadi garda depan moral dan agama tersebut.

Tahun 2008, Indonesia Coruption Watch (ICW) menduga ada tindakan korupsi dalam penyelenggaraan haji. Hal itu dikatakan oleh Koordinator Monitoring Peradilan ICW Emerson Juntho pada wartawan usai menaruh laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar, korupsi yang ditemukan ICW adalah dalam bentuk biaya penerbangan, yang juga komponen terbesar dari biaya penyelenggaraan ibadah haji sebesar 50 persen dan sangat dipengaruhi harga avtur karena harga avtur meliputi 35-40 persen dari seluruh biaya operasi.

Di VIVAnews.com ICW kembali menyatakan bahwa Departemen Agama harus mengembalikan kelebihan biaya penyelenggaraan haji pada 2008-2009 sebesar Rp 1,2 triliun. Dana itu adalah biaya kelebihan biaya avtur. Ah, tapi mari kita pura-pura lupa dulu dengan hal itu.

Hari-hari ini ketika kloter pertama baru saja berangkat dari embarkasi Jakarta, ketika kita hampir lupa dan kemudian bertanya-tanya: selain untuk melengkapi rukun Islam, sebenarnya kebaikan apa yang telah ditebarkan oleh ibadah haji?

Waktu berdebat dan bersilang pendapat dengan para tokoh intelektual muslim seperti A. Hasan dan M. Natsir, Bung Karno seringkali berpesan, “Ambil apinya, jangan abunya.”

Muhammad Subarkah di Republika edisi Ahad, 2 Oktober 2011, menulis bahwa maksud dari pesan Bung Karno itu adalah: “Bung Karno menyebut kemunduran peradaban Islam karena umat ini gagal mengambil api ajaran agama ini dan lebih fokus pada 'abu ritual' yang acapkali yang tak jelas juntrungannya. Tokoh pejuang kemerdekaan lainnya, Hadji Agus Salim, juga pernah risau akan situasi yang 'dtudingkan' Soekarno itu.” 

Tak terkecuali dalam ibadah haji, semangat itu, api itu, seharusnya senantiasa menyala di setiap pelakunya. Barangkali kita harus tamasya sejarah untuk menghadirkan bukti di tengah-tengah kegalauan dan matinya “Api” Islam.

Di tanah suci, para ulama kita berinteraksi dengan para ulama dari negara-negara Islam yang lain, yang kemudian menularkan semangat PAN-Islamisme. Sejarah kemudian mencatat bahwa ibadah haji telah menumbuhkan semangat nasionalisme yang begitu dahsyat.

Pandangan penjajah Belanda terhadap para haji dikutip oleh Deliar Noer dari tulisan seorang missionaris terkenal di Jawa Tengah, Cornelis Poensen (Encyclopaedie van Nederlandsch Indie dalam Mekkagangers). 

Begini katanya: "Tanah Arab bukan saja merupakan pusat untuk menyatukan jemaah-jemaah haji yang taat, melainkan juga pusat untuk menyatukan politisi-politisi dan pemimpin-pemimpin berbagai bangsa-bangsa Islam yang berkumpul di sana dan yang juga membicarakan kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana politik mereka; di sanalah mereka tukar-menukar pendapat, dan jemaah-jemaah yang pulang pun dibekali dengan kitab-kitab yang meningkatkan perasaan agama dan kesadaran beragama. Hal-hal yang harus dianggap mencurigakan bagi kepentingan jaminan keamanan dan ketertiban di kalangan orang-orang Islam yang berada di bawah pemerintahan Kristen."

Tidak sedikit para haji (disebut ulama-haji), sepulang dari Makkah, menjadi pejuang-pejuang Islam yang begitu gigih melawan penjajahan Belanda. Inilah kekuatan yang dianggap bisa mengancam kekuasaan Pemerintah Belanda. Tokoh-tokoh ulama-haji yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda alangkah banyak, namanya berderet-deret dalam riwayat sejarah bangsa ini, baik yang tercatat dalam buku-buku pelajaran sejarah di bangku sekolah ataupun yang namanya jarang dikenal dan tidak tercatat dalam buku-buku formal.

Di Cilegon, sekitar tahun 1888, terjadi perlawanan terhadap Belanda yang dimotori oleh sejumlah ulama-haji seperti Haji Abdul Karim, Haji Marjuki, Kiai Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid. Bagi mereka, Pemerintahan Belanda adalah pemerintahan yang ilegal, sehingga perlu dijawab dengan jihad fi sabilillah. 

Di Minangkabau, sejumlah ulama-haji aktif dalam gerakan politik menentang kebijakan Pemerintah Belanda tentang guru dan sekolah yang dianggap tidak adil dan memusuhi Islam. Para pelopor penentang kebijakan itu adalah Haji Abdul Karim Amrullah (dikenal dengan sebutan Haji Rasul) dan Syaikh Djamil Djambek. 

Kita mundur, sekitar tahun 1804 Pemerintahan Belanda mengalami peristiwa pahit ketika tiga orang haji pulang kampung ke Minangkabau. Mereka adalah Haji Miskin Pandai Sikat dari luhak Agam, Haji Abdurrahman Piobang dari luhak Lima Puluh, dan Haji Sumanik alias Haji Muhammad Arif Tuanku Lintau dari luhak Tanah Datar. Mereka lalu menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, membangkitkan kesadaran akan penjajahan aqidah, fisik, ekonomi, dan pemikiran. Gerakan ketiga orang haji inilah yang kemudian berpuncak pada perlawanan besar-besaran oleh Tuanku Imam Bonjol. 

Sementara itu, di perkotaan Minangkabau, beberapa intelektual muda yang baru pulang dari Mesir dan Mekkah mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Organisasi yang dinyatakan dalam kongresnya pada 20-21 Mei 1930 itu diketuai oleh Haji Abdul Madjid dan beranggotakan Haji Ilyas Yacub, Haji Mukhtar Lutfi, Haji Mansur Daud, dan Haji Rasul Hamidi. 

Di Tasikmalaya, tentu kita tidak lupa bahwa KH Zainal Mustafa pernah melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintah Jepang. Spirit nasionalisme yang berujung pada perlawanan terhadap Pemerintah Kolonoalisme semakin sulit terbantahkan. Para ulama-haji terdahulu tidak terjebak dalam ritual semata, tapi mereka berhasil menerjemahkan api ajaran Islam yang mengejawantah dalam perlawanan terhadap kolonialisme yang dapat dikenang, di antaranya, oleh sebuah epic yang mendebarkan.

Perlawanan para ulama-haji tidak melulu di palagan pertempuran fisik, tapi juga di garis depan pendidikan. Terutama di pulau Jawa yang kebanyakan dari kelompok santri lebih senang bergelut di jalur pendidikan. 

KH Ahmad Dahlan (1868-1923) tercatat sebagai ulama-haji yang sangat berpengaruh dalam perubahan pendidikan dan kehidupan keagamaan di Indonesia. Sepulang melaksanakan ibadah haji yang kedua (1912), Dahlan mendirikan organisasi bernama Muhammadiyah. Organisasi ini bertujuan, menyebarkan pendidikan Islam di kalangan penduduk pribumi di daerah Yogyakarta dan memajukan kehidupan keagamaan untuk para anggotanya. 

Dengan organisasi itu, Dahlan berhasil mendirikan Pondok Muhammadiyah (1921). Pada 1923, berdirilah empat sekolah kelas II, yaitu Hollandsch Inlandsche School dan sekolah guru (kweekschool). Dahlan juga mendirikan Al-Madrasatul Wutsqo. 

Di Jombang, Jawa Timur, pada tahun 1899 KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng memakai sistem non-klasikal dengan metode sorogan dan bandongan. Kemudian atas inisiatif dari seorang menantunya yang bernama Maksum, Pesantren Tebuireng kemudian memakai sistem klasikal dan menambah pelajaran bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Dari pesantren ini, berdirilah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926. 

Di Ponorogo kita pun dapat menyisir sebuah sejarah. Almamater Ahmad Fuadi, pemuda Minang yang menulis novel Negeri 5 Menara, didirikan oleh tiga bersaudara : KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH Imam Zarkasy. Berlokasi di Gontor, Mlarak, Ponorogo, pada tahun 1926 tiga bersaudara tersebut mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Tarbiyatul Athfal. Lembaga pendidikan tersebut yang kelak popular dengan sebutan Pesantren Gontor.

Kalau saja jejak luhur dan heroik para haji terdahulu tersebut dipetakan dengan kondiri sekarang, maka akan terlihat angka yang sangat potensial. Muhammad Subarkah menyambung, “Perkembangan jamaah haji Indonesia yang kini mencapai jumlah 220 ribu orang per tahun dan dengan jumlah jamaah yang menunggu giliran pergi ke tanah suci mencapai 1,4 juta, kenyataan ini jelas mempunyai potensi besar ini untuk mengubah sejarah manusia ke arah yang lebih baik. Jangan sampai ritual haji tak mempunya bekas, misalnya dengan masih menjamurnya praktik korupsi dalam penyelenggaraan negara yang penduduknya mayoritas muslim ini.” 

Seperti yang dipaparkan di atas,  sejarah dengan teliti mencatat bahwa haji telah memberikan indikasi terhadap munculnya gairah perlawanan dan kebangkitan Islam di Nusantara.

Kita tentu berharap bahwa banjir ironi dan hujan basa-basi yang mengepung keseharian kita sekarang ini bisa dipulihkan, di antaranya oleh “sepak terjang” para haji yang lebih berdaya, baik secara moral maupun sosial. 

Kita sudah bosan menerima “para alumni” tanah suci yang pulang ke tanah air dengan tidak membawa apa-apa selain harapan yang diam-diam menelusup tersembunyi untuk menaikkan kelas sosial dengan gelar hajinya, kopiah dan sorban putih, serta beberapa jerigen air zamzam.

M Husnaini dalam Suara Karya Online menulis, “Ibadah haji harus melahirkan efek dahsyat bagi peradaban bangsa. Allah tidak mungkin mewajibkan haji kalau itu hanya sebatas tamasya atau pariwisata.” 

Juga tidak sekedar memberikan kesaksian atas keagungan Asma Allah belaka. Apalagi hanya sekadar ajang belanja atau jalan-jalan. Jika keberangkatannya adalah sebuah kerinduan seperti yang tergambar dalam film Le Grand Voyage, maka kepulangannya harus membawa pencerahan dan perbaikan, minimal di lingkungan terdekatnya.

Selamat jalan para tamu Allah. Kami tidak menunggu apapun dari kalian selain “Api Ibrahim” yang berdaya, yang mampu menyebarkan kebaikan dan berani membakar kemungkaran. (irf)

Itp, 5 Okt ‘11

3 comments:

Unknown said...

mang, punten upload photo meh bisa di pin di pinterest

Unknown said...

mang, punten upload photo di post na biar bisa di pin di pinterest

Irfan Teguh said...

di pinterest kumaha om?