Koper dan ransel bervolume 40 liter dikosongkan. Yang dibawa hanya
beberapa lembar baju ganti, celana selutut, sandang dalam, dan sebuah
kamera entah berlensa apa. Kereta berjalan perlahan meninggalkan kota
yang mulai bernuansa merah flamboyan. Dia duduk di dekat lorong,
sedangkan istrinya, ya istrinya, duduk di sebelah jendela. Percakapan
setengah nada. Tak elok bersuara keras di muka publik, lagi pula malam
mulai merambati lorong kereta.
Seminggu yang lalu dia telah berhasil merebut perempuan yang duduk di
sebelah dari tangan orangtuanya. Dari bermilyar yang ada, hanya
perempuan itu yang akhirnya bersedia menemani siang-malamnya,
panas-dinginnya, dan segala yang permanen di dirinya. Rayuan hanyalah
riasan menor yang dilekatkan pada kanvas putih. Istrinya tahu itu, tapi
ia juga serupa kembang gula yang bermanfaat menumpas segala pahit di
rongga mulut.
Dia, dan juga istrinya, belum paham apa yang pernah ditulis Eco
tentang Tamasya Dalam Hiperealitas. Malam itu keduanya membicarakan
Umberto Eco, Ali Syariati, Camus, Tolstoy, dan Murakami. Membacai arus
budaya dan cerita adalah kembang yang bermekaran sejak pagar berdiri
kokoh dan akhirnya roboh. Tak mudah bagi radar menemukan penyusup yang
bergerak melintas batas demarkasi, maka pertemuan dengan istrinya—dulu,
kini, dan nanti—adalah sesuatu yang patut disyukuri, dia tahu ihwal itu.
Sementara organ pendengar berbagi awan-awan gloomy dari musikalisasi
puisi Sapardi. Lampu redup, dan kereta terus melaju konstan dalam
pelukan malam, maka nikmat mana lagi yang akan mereka dustakan? Istrinya tahu belaka, dia seperti punya kebiasaan akut: sedang berduaan
pada suasana romantik sekalipun, dia selalu berbicara tentang
kawan-kawannya.
“Mereka sudara-sudara saya,” begitu katanya. Ya,
sodara-saudara-sudara: kata itu berasal dari se-susu dan se-darah. Maka
ritus perkawanan sesungguhnya melebihi jargon solidaritas dan
kekariban. Ada perasaan intim yang melekat di lereng ingatan, tentang
kenangan, impian, ambisi, cita-cita, maupun masadepan yang tengah dan
telah dibangun. Kontra definisi terjadi ketika ritus itu akhirnya
bergradasi dan kabur. Hidup seperti melesat pada rel dan gerbong yang
berlainan dan tak saling kenal. Itu kekhawatirannya. Maka sedapat-dapat,
pada istrinya, dia kerap berbicara tentang sudara-sudaranya. Tentang
brother dan ikhwah-nya.
Di Yogja, para kamerad perbukuan telah menunggu mereka. Di sebuah
station radio berjejaring sosial mereka siap mengudara dan diarsiapkan: inilah honeymoon pertama berbumbu labirin kata-kata.
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu. Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya. Gelisah tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu. Entah kapan kau bisa kutangkap….
Kata-kata Sapardi menemani mereka tidur.
***
Muhidin namanya. Dia seorang kerani, dia adalah yang mula-mula
menyambut sepasang suami-istri baru itu. Kopi dihidangkan dan
pembicaraan datang bergelombang, seperti kawan lama yang baru bertemu
kembali. “Bung dan nyonya sudah siap?” kata produser yang datang
tiba-tiba. Seorang penyiar muda dan cantik sudah menunggu. Si Bung yang
baru punya istri itu panggil saja Fidel. Dan acara dimulai, laku
literasi mereka utarakan.
“Belum terlampau lama sebetulnya, ada sekira
enam bulan sebelum saya mengambil perempuan ini dari bapaknya.”
Mulanya Fidel hijrah ke Cibitung, melaksanakan kewajiban. Dia memilih
pekerjaan yang lebih baik. Kemudian di tengah segala urusan kantor, dia
membereskan kembali buku-bukunya yang berjumlah lima box besar, entah
berapa judul, dia lupa menghitungnya. Kontrakannya dekat pohon mangga
yang rimbun, tak jauh dari mesjid. Anak-anak tetangga menelan masa kanak
dengan gembira. Sebelum dan setelah sholat mereka bermain di pekarangan
mesjid. Gaduh memang, namun harap maklum, begitulah laku anak-anak,
kewajibannya hanya bermain. Sekolah sesungguhnya adalah sampingan, hanya
mengisi waktu luang di pagi hari, biar tidak diledek burung dan ayam
jantan yang bersahutan sedari pagi.
Apakah anak-anak itu suka membaca buku? Sekali waktu Fidel bertanya
pada dirinya. Namun kemudian ada sedikit keluh, dia tak punya barang
sebiji pun buku cerita anak-anak. Kalau buku-buku politik dan novel
dewasa dia punya banyak, tapi apa gunanya buku-buku demikian bagi jiwa
bocah yang sedang rakus menelan jatah hidup gembira? Namun tak lama
kemudian lampu terang menyala dalam kepalanya; dia hendak mendongeng
saja. Maka sekali waktu, sehabis sholat, dia duduk dulu di teras mesjid.
Seorang bocah duduk di dekatnya, istirahat dari berlari-lari. “Kamu mau
mendengarkan dongeng alien yang berkelahi dengan keong racun?”
Percobaan pertama gagal, bocah itu menggeleng sambil tersenyum, dan
berlari lagi mengejar temannya.
Tak lama datang lagi seorang bocah. Percobaan kedua, “Kamu tahu bajak
laut?” Ada anggukan. Kemudian menyusul, “Tahu ga kalo bajak laut itu
sebenarnya bukan manusia, tapi burung pemakan bangkai?” Diam. “Kamu mau
mendengarkan ceritanya?” Bocah pergi. Percobaan kedua gagal.
Mendung menyerang, langit seperti orang yang belum mencuci muka. Awan
gelap bergulung-gulung. Hujan membubarkan anak-anak yang sedang bermain
di pekarangan. Fidel beringsut ke dinding mesjid, hampir menempel
dengan jendela. Lupakan bocah-bocah miskin imajinasi itu, karena waktu
menendangnya ke minggu ketiga di pekerjaan baru.
Ke Krawang dia hanya lewat, namun ke Bekasi (akhirnya) sering datang.
Namun dia tak pernah menjumpai Chairil yang menyadur Krawang-Bekasi.
Kalaupun penyair bohemian itu masih hidup dan tak pernah tua; paling
sedang sibuk mengunjungi gadis-gadis seperti kelakuannya dari dulu. Usia
27 memang terlampau muda untuk meninggal dunia, Chairil tahu. Dan dia
kalah terlalu dini, sebelum (barangkali) beberapa maksud sempat
diucapkan. “Hidup hanya menunda kekalahan. Dan tahu, ada yang tetap
tidak diucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah”
Seperti air yang mengalir dan berhenti pada sebuah ceruk, cinta juga
rupanya diciptakan demikian. Selalu ada halte terakhir yang mendorong
kondektur bus untuk membangunkan penumpang yang pulas tertidur atau
sibuk dengan gadgetnya. Dalam kedaulatan sepasang manusia yang telah
berikrar, bus yang berhenti kemudian melaju lagi membawa dua planet
besar, memikul dua ego yang dijaga bersama agar tidak saling
bertabrakan. Maka demikianlah, pada sebuah petang yang biasa, Fidel
(akhirnya) bertemu dengan perempuan itu.
“Bukan. Saya bukan asli Bekasi. Ari-ari dan banyak kenangan masa
kecil ditanam di Bandung. Pekerjaan ayah yang membawa saya ke sini.”
Fidel hanya diam. Perempuan itu meneruskan, “Suatu saat saya akan
kembali ke Bandung, ke cinta yang sesungguhnya.” Shock therapy pertama.
Apa maksudnya dengan ‘cinta yang sesungguhnya?’ Sementara harapan tengah
ditabur dan ditanam kepada perempuan itu. Begitulah kodratnya,
laki-laki mesti diberi tantangan, seperti layangan yang terbang
menentang angin.
Pendek kata panjang perihal, setelah menaklukkan tantangan yang tak
sedikit, Fidel akhirnya berhasil merebut perempuan itu dari ayahnya.
Enam bulan sebelum ikrar yang teguh diucapkan, Fidel pernah meminta,
“Saya belum mampu menjinakkan anak-anak di sekitar kontrakan, kau tentu
mau membantunya, bukan?” Hanya dibalas anggukan. Dalam darah yang
mengalir di diri perempuan, selalu ada rumah-rumah kecil yang imut milik
para kurcaci, juga ada sekawanan liliput yang tengah menggotong seorang
putri cantik yang hendak diculik raja zalim, namun kemudian
diselamatkan pangeran berkuda putih. Ya, dengan caranya sendiri
perempuan seringkali pandai menaklukkan bocah-bocah yang liar sekalipun.
Maka buku-buku kemudian ditata ulang, cerita-cerita anak yang
sebelumnya tiada berangsur dikumpulkan. Perempuannya mendongeng, ada
juga sebagian anak yang duduk di teras sambil membaca, sementara Fidel
sibuk membuat bangku dari kayu demi disimpan di bawah pohon mangga yang
semakin rimbun. Istri Fidel tentu punya nama, tapi saya tak mau
buru-buru menyebutnya, sementara ini cukup dengan ‘perempuan’ saja.
Laju literasi menggoncang kampung sejak Fidel mengenal perempuannya. Dan
kini setelah menjadi istri, bendera semakin tinggi dan berkibar.
***
“Besok lusa atau entah kapan, kalau Bung sudah pulang, pastikan kita
tetap berkabar, ya.” Kemudian mereka bersalaman. Fidel dan istrinya
kembali ke penginapan, meninggalkan Muhidin dan para kerani perbukuan.
Tidak langsung pulang ke penginapan sebenarnya, sebab lihatlah mereka
tengah menyusuri Malioboro, lalu singgah di tenda roti bakar. Di kota
yang terlanjur manis oleh cerita-cerita, lima orang pengamen kemudian
menghampiri. Beberapa lagu lama dibawakan untuk ditukar dengan sedikit
uang. Ada pelangi yang tak hendak beranjak dari langit jiwa pasangan
itu, namun saya tak pandai menggambarkannya.
Menjelang dini hari mereka pulang. Di balkon, masih tersisa
percakapan setengan nada; tentang sahabat, buku, dan madu. Ada waktu
yang bergelombang di belakang, ada jejak yang terserak di setapak jalan
yang telah masing-masing lalui. Cinta yang menenteramkan adalah yang
mampu memasukkan masalalu ke dalam karung, diikat dan disimpan di
gudang. Detak detik tak berjalan surut ke belakang, sementara kehidupan
melaju ke depan mendekati titik akhir. Itu normatifnya. Namun siapa yang
kuat ketika visual-visual masalalu yang bertentangan dengan suasana
jiwa tiba-tiba menghampar di kepala? Pada sebuah titik akhirnya Fidel
dan istrinya bersepakat untuk bersama-sama tak pernah membuka ikatan
karung yang telah disimpan di gudang. Dan percakapan dilanjutkan di
tempat tidur, dengan lebih lirih tentu saja.
Ketika pagi kembali datang, mereka kembali menikmati suasana kota.
Yang paling lama menenggelamkan tentu saja pusat penjualan buku. Itu
rumah mereka, bau kertas mencucuk hidung dan perasaan yang lepas
menderas, larut bersama kata-kata. “Sayang, sudah sore. Hendak ke mana
kita setelah ini?” Tarikan tangan adalah ajakan mencegat mobil bak
terbuka yang hendak pergi ke selatan: arah pantai.
Maka demi kota yang tengah mandi cahaya, mereka terlentang di atas
mobil bak terbuka dan pandangan tegas ke langit. Madu memeleh di situ,
di bawah cahaya rembulan Yogya. [irf]