Dari Bandara Sepinggan dia menaruh nyawanya di cabin pesawat. Di Soekarno-Hatta, Cengkareng, baru dia mengambil lagi nyawanya itu. Di udara dan di tengah laut, kekuasaan manusia seperti hilang binasa, padahal tidak, karena manusia tidak pernah kehilangan kekuasaan, sebab dia tidak pernah punya kekuasaan.
Sama seperti naik kora-kora dan tornado, nyawa seperti dipermainkan di wahana permainan, dan berteriak histeris sambil sesekali ingat Tuhan. Tapi tak usah kita bicara banyak-banyak tentang hal itu, saya hanya ingin menulis bahwa tadi pagi, kawan saya yang meluncur dari Sepinggan itu, telah sampai di Bandung, di kaki Gunung Manglayang, buktinya tadi pagi dia sudah bisa chatting di FB dan berkata, “Ini baru hidup.”
Waktu saya tanya, “Apakah ada lagu dan buku baru yang mantap?” dia langsung menjawab, “'Provocateur' masih juara Bung!” Maksudnya, lagu 'Provocateur' yang dinyanyikan oleh The Sigit masih tetap juara buat dia. Ini saya kasih sedikit potongan liriknya:
“You’ve been shouting for your right / you are losing all your sight / hold on to the bright light / his might tonight.”
Saya setuju saja, karena saya juga sering menikmati lagu itu.
Property Cash Machine, itu adalah judul buku yang tengah dibacanya. Saya bilang, saya tidak suka yang berbau teknik, tapi waktu lihat di mas Google, ternyata isinya tentang jurus-jurus jitu di bidang properti.
“Sudah beranjak tua, saya harus menyerempet macam hal-hal demikian Bung,” begitu komentar saya setelah selintas membaca sedikit resensi buku tersebut.
“Iya, Sastra tak bisa memberi kita rumah Bung,” demikian jawabnya.
Saya tambahkan lagi, ”Sudah banyak contohnya, kere semua!”
“Hahaha…,” dia tertawa.
“Tadinya saya mau ngomong gitu. Kadang-kadang hidup harus realistis Bung,” ucapnya.
Lalu kami, saya dan lelaki yang pernah menaruh nyawanya di cabin pesawat itu menjadi banyak cakap oleh hal-hal bagus yang enak untuk diobrokan. Saya diberinya banyak tautan tentang t-shirt band.
“Kemarin saya baru beli kaos Pure Saturday dan Efek Rumah Kaca,” dia semacam mengumumkan kepemilikan dua kaos bersablon band-band keren.
Lalu saya buka link tersebut, dan banyaklah desain t-shirt di sana: Alone at Last, Rosemary, Seringai, Siksakubur, dan macam sebagainya. Saya cari The Sigit, ternyata sedang kosong.
“Selain kerja, sekarang sedang fokus apa kau Bung?”
Dan langsung dia jawab, “Sedang fokus mengumpulkan uang, mencari jati diri, dan mencari sampingan.”
Kemudian dia melempar wacana, “Bisnislah kita Bung, tapi jangan bisnis eceng gondok,” / “Apa dong,” / “Lele, bagaimana,” / “Jangan yang basah-basah,” / “Clothing, saya semacam ingin membauat kaos-kaos bertema social,” / “Saya lulusan marketing, tapi malas jualan, entah kenapa,” / “Hahaha…,” dan obrolan mengenai bisnis kami sudahi.
Tema obrolan kemudian bergeser ke masalah gunung. Ini bukan mengenai gunung kembar yang menjadi logo baru City Bank, tapi tentang kawan kami, Bung Joni, yang akan segera naik Gunung Gede beserta 25 pendaki lainnya.
Dia bertanya duluan, “Kau ikut Bung?” / “Ah, tidak, terimakasih, semakin tua semakin malas untuk bersenang-senang,” / “Sama saya juga” / “Tapi katanya Bung Joni terkena gejala typus,” / “Oh, kasihan sekali dia” / “Iya, masih mahasiswa penyakitan pula” / “Hahahah…,” lihatlah kami pagi itu, Ya Alloh…masih pagi tapi sudah beroleh nikmat dari banyaknya obrolan yang membuat kami tertawa lepas.
Dan setelah itu pintu koneksi internet di kaki Gunung Manglayang tiba-tiba ditutup, mungkin dia ingin tidur, atau ingin bermalas-malasan saja setelah beberapa hari dibantai beban kerja yang seringkali mengancam nyawa. Baru-baru tiga orang kawannya tewas berbarengan, karena napasnya disumbat gas-gas beracun yang namanya susah diucapkan. Apa kira-kira balasan untuk orang-orang yang meninggal dunia ketika bekerja mencari nafkah?
Tak lama ponsel saya berbunyi, pasti sms, karena jarang sekali ada telpon nyasar masuk ke nomor M3 yang sudah saya pelihara sejak tahun 2006 itu. Benar saja, Bung Joni berkirim pesan pendek, “Mohon do’anya Bung, besok saya naik ke Gede.”
Tapi ponsel saya sedang puasa pulsa, lalu saya berbuat korupsi, menghubungi Bung Joni pakai telpon kantor. Tidak terlalu banyak yang kami bicarakan di udara, dia hanya meminta saya meramaikan kembali group [REPUBLIK BULUBABI], dan olok-olok standar tentang saya yang dibilangnya sudah tua, sudah tidak keren, beranjak buncit, rentan sakit, serta sudah kehabian tenaga hanya untuk menaklukkan Gunung Gede.
Saya hanya tertawa, sedap betul saling mengejek dengan kawan. Katanya nanti, setelah sampai di puncak, dia akan menulis puisi, macam yang dilakukan Soe Hok Gie waktu berada di Mandalawangi. “Okelah Bung, semoga sukses, hati-hati di jalan!” dan percakapan mati di udara.
Tak ada yang lebih keras menyidir selain kata-kata Casey Stoner yang dihantamkan kepada Valentino Rossi, beberapa saat setelah mereka sama-sama terjatuh di sirkuit Jerez, Spanyol, “Ambisimu melebihi bakatmu!” tapi Rossi berlalu, dia seperti paham, bahwa dalam keadaan emosi, kata-kata bisa setajam bisa.
Tapi sebenarnya bukan balapan Moto GP yang ingin saya tonton, tapi film yang dibintangi Robin Williams, Dead Poets Society. Sayang sekali memang, sampai saat ini keping DVD bajakannya belum saya dapatkan. Tapi bolehlah membaca sedikit resensinya yang ditulis oleh mas Wiki, Wikipedia maksudnya:
“Tujuh anak lelaki, Neil Perry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke), Knox Overstreet (Josh Charles), Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) dan Gerard Pitts (James Waterston) baru saja masuk Akademi Welton. Sekolah ini adalah sekolah berasrama yang menganut prinsip Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan Prestasi.
Pada awal dimulainya kelas, seorang guru pengganti bahasa Inggris, Pak Keating (dimainkan oleh Robin Williams), baru saja memulai pelajaran. Seorang siswa membaca pengantar buku tentang puisi, yang menyebutkan bagaimana mengukur kualitas sebuah puisi, yang dapat diukur dan diberi skala, proses ini sudah umum dalam literatur klasik waktu itu. Keating, sebaliknya menyuruh muridnya merobek halaman pengantar puisi di buku tersebut. Seluruh film ini adalah proses penyadaran, para murid (dan juga pemirsa) melihat bahwa otoritas lembaga (seperti sekolah) dapat dan selalu berupaya menjadi pengarah, tapi hanya diri kita sendiri yang dapat mengetahui siapa diri kita.
Pemikiran bebas seperti ini menjadi sebuah masalah ketika Neil, seorang murid yang memutuskan belajar drama daripada dokter (yang disarankan orang tuanya). Neil akhirnya bunuh diri di ruang kerja ayahnya setelah penampilan perdana dramanya di sekolah gagal menyenangkan orang tuanya.”
Tapi mas Bill Gates pernah berkata dalam sebuah film documenter; Waiting for Superman, “Murid-murid sekolah harus pintar matematika dan sains, sebab bangsa yang kuat adalah bangsa yang mengusai matematika dan sains.”
Cara pandang bos Microsoft itu seperti obat nyamuk bakar yang membuat hewan yang bermula dari jentik-jentik, menjadi kehilangan keseimbangan, tapi terbatas hanya yang kurang pede saja, sebab yang telah memilih jalan istiqomah akan tetap berjalan pada jalurnya.
Sepertinya banyak hal sederhana yang telah lama menderita, telah lama dibuat pusing oleh cara pandang manusia yang sangat kompleks. Tapi memang begitulah, harus banyak tanda tanya yang sulit untuk dipecahkan, harus banyak teka-teki yang menggoda untuk dicari jawabannya, biar hidup tidak berjalan membosankan.
Tapi ketika hidup mulai membosankan, maka jalan keluarnya adalah menulis. Tapi jangan mudah percaya, bertahanlah dengan keyakinanmu. Semakin susah kamu ditaklukkan, maka akan terlihat semakin keren. Dan kamu boleh untuk tidak setuju. Oh, carpe diem quam minimum credula postero. Selamat sore kawan. (irf)
14/04/2011